25 Desember, 2008

Keajaiban-Keajaiban Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil

Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabi’ul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang “bidan” yang bernama Syifa’, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf.
“Bayimu laki-laki!”
Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan sebelumnya. Ya, bayi yang kemudian oleh kakeknya diberi nama Muhammad (Yang Terpuji) itu lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal di Yatsrib ketika beliau berusia tiga bulan dalam kandungan ibundanya.
Kelahiran yang yatim ini dituturkan dalam Al-Quran, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” — QS Adh-Dhuha (93): 6.
Aminah, janda beranak satu itu, hidup miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan disusukan kepada wanita lain. Khususnya kepada wanita dusun, supaya hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.
Ada hadits yang mengatakan, kebakuan bahasa warga Arab yang dusun lebih terjaga. Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.
Air Susu yang Melimpah
Beberapa hari kemudian, datanglah kafilah dari dusun Bani Sa’ad, dusun yang jauh dari kota Makkah. Mereka menaiki unta dan keledai. Di antara mereka ada sepasang suami-istri, Harits bin Abdul Uzza dan Halimah As-Sa’diyah. Harits menaiki unta betina tua renta dan Halimah menaiki keledai yang kurus kering. Keduanya sudah memacu kendaraannya melaju, tetapi tetap saja tertinggal dari teman-temannya.
Halimah dan wanita lainnya yang datang ke Makkah sedang mencari kerja memberi jasa menyusui bayi bangsawan Arab yang kaya. Sebagaimana dalam kehidupan modern, baby sitter akan mendapatkan bayaran yang tinggi bila dapat mengasuh bayi dari keluarga kaya.
Sampai di kota Makkah, Halimah menjadi cemas, sebab beberapa wanita Bani Sa’ad yang tiba lebih dulu sedang ancang-ancang mudik karena sudah berhasil membawa bayi asuh mereka.
Setelah ia ke sana-kemari, akhirnya ada juga seorang ibu, yaitu Aminah, yang menawarkan bayinya untuk disusui. Namun ketika mengetahui keadaan ibu muda yang miskin itu, Halimah langsung menampik.
Dia dan suaminya berkeliling kota Makkah, tetapi tidak ada satu pun ibu yang menyerahkan bayinya kepadanya untuk disusui. Ya, bagaimana mereka percaya, seorang ibu kurus yang naik keledai kurus pula akan mengasuh dengan baik bayi mereka?
Hampir saja Halimah putus asa, ditambah lagi suaminya sudah mengajaknya pulang meski tidak membawa bayi asuh. Namun, ia berkata kepada suaminya, “Aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Alangkah baiknya kalau kita mau mengambil anak yatim itu sambil berniat menolong.”
“Baiklah, kita bawa saja anak yatim itu, semoga Allah memberkahi kehidupan kita,” ujar suaminya. Setelah ada kesepakatan tentang harga upah menyusui, Muhammad kecil diberikan kepada Halimah. Wanita kurus kering itu pun mencoba memberikan puting susunya kepada bayi mungil tersebut.
Subhanallah! Kantung susunya membesar, dan kemudian air susu mengalir deras, sehingga sang bayi mengisapnya hingga kenyang. Dia heran, selama ini susunya sendiri sering kurang untuk diberikan kepada bayi kandungnya sendiri, tetapi sekarang kok justru berlimpah, sehingga cukup untuk diberikan kepada bayi kandung dan bayi asuhnya?
Berbarengan dengan keanehan yang dialami Halimah, suaminya juga dibuat heran, tak habis pikir, mengapa unta betina tua renta itu pun tiba-tiba kantung susunya membesar, penuh air susu.
Halimah turun dari. keledainya, dan terus memerah susu itu. Dia dan suaminya sudah dalam keadaan lapar dan dahaga. Mereka meminumnya sehingga kenyang dan puas. Semua keajaiban itu membuat mereka yakin, “Anak yatim ini benar-benar membawa berkah yang tak terduga.”
Halimah menaiki dan memacu keledainya. Ajaib! Keledai itu berhasil menyalip kendaraan temannya yang mudik lebih dulu.
“Halimah! Halimah! Alangkah gesit keledaimu. Bagaimana ia mampu melewati gurun pasir dengan cepat sekali, sedangkan waktu berangkat ke Makkah ia amat lamban,” temannya berseru. Halimah sendiri bingung, dan tidak bisa memberikan jawaban kepada teman-temannya.
Sampai di rumah pun, anak-anaknya senang, sebab orangtua mereka pulang lebih awal dari orang sekampungnya. Apalagi kemudian ayah mereka membawa air susu cukup banyak, yang tiada lain air susu unta tua renta yang kurus kering itu.
Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total. Dan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin tersebut hidup penuh kedamaian, kegembiraan, dan serba kecukupan.
Domba-domba yang mereka pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Keajaiban lagi!
Peternakan domba milik Halimah berkembang pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal rumput yang dimakan sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun hasilnya tetap saja sama, domba para tetangga
itu tetap kurus kering.
Pembelahan Dada
Muhammad kecil disusui Halimah sekitar dua tahun. Oleh Halimah, bayi itu dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Namun ibunya mengharapkan agar Muhammad tetap ikut dirinya, sebab ia khawatir bayi yang sehat dan montok tersebut menjadi terganggu kesehatannya jika hidup di Makkah, yang kering dan kotor.
Maka Muhammad kecil pun dibawa kembali oleh Halimah ke dusun Bani Sa’ad. Bayi itu menjadi balita, dan telah mampu mengikuti saudara-saudaranya menggembala domba. Ingat, hampir semua nabi pernah menjadi penggembala. Muhammad saat itu sudah berusia empat tahun dan dapat berlari-lari lepas di padang rumput gurun pasir. la, bersama Abdullah, anak kandung Halimah, menggembala domba-domba mereka agak jauh dari rumah.
Di siang hari yang terik itu, tiba-tiba datanglah dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa Muhammad, yang sedang sendirian, ke tempat yang agak jauh dari tempat penggembalaan. Abdullah pada waktu itu sedang pulang, mengambil bekal untuk dimakan bersama-sama dengan Muhammad, di tempat menggembala, karena mereka lupa membawa bekal.
Ketika Abdullah kembali, Muhammad sudah tidak ada. Seketika itu juga ia menangis dan berteriak-teriak minta tolong sambil berlari pulang ke rumahnya. Halimah dan suaminya pun segera keluar dari rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh mereka mencari Muhammad kesana-kemari. Beberapa saat kemudian, mereka mendapatinya sedang duduk termenung seorang diri di pinggir dusun tersebut.
Halimah langsung bertanya kepada Muhammad, “Mengapa engkau sampai berada di sini seorang diri?” Muhammad pun bercerita. “Mula-mula ada dua orang lelaki berpakaian serba putih datang mendekatiku. Salah seorang berkata kepada kawannya, ‘Inilah anaknya.’
Kawannya menyahut, `Ya, inilah dia!’ Sesudah itu, mereka membawaku ke sini. Di sini aku dibaringkan, dan salah seorang di antara mereka memegang tubuhku dengan kuatnya. Dadaku dibedahnya dengan pisau. Setelah itu, mereka mengambil suatu benda hitam dari dalam dadaku dan benda itu lalu dibuang. Aku tidak tahu apakah benda itu dan ke mana mereka membuangnya.
Setelah selesai, mereka pergi dengan segera. Aku pun tidak mengetahui ke mana mereka pergi, dan aku ditinggalkan di sini seorang diri.” Setelah kejadian itu, timbul kecemasan pada diri Halimah dan suaminya, kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap si kecil Muhammad. Karena itulah, keduanya menyerahkan dia kembali kepada Ibunda Amina. [infokito]
Wallahu a’lam


Dari Kitab Al-Mawahib Al-Qastallani [1]: Penciptaan
Ruh Nabi


Pengantar
Kitab Mawahibul Laduniyyah bil Minah al-Muhammadaniyyah (Karunia Ilahiah dalam Bentuk Karunia Muhammadaniyyah) ditulis oleh Imam Ahmad Shihabuddin ibn Muhammad ibn Abu Bakr al-Qastallani (wafat 923H/1517 M), seorang ahli hadits yang mengarang syarah Sahih Bukhari (Irsyad as-Sari). Kitab Mawahib karangan beliau ini adalah kitab yang berisi biografi Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam.
===============================================
A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiimBismillahirrahmanirrahiimWassholatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiyaa-i wal Mursaliin SayyidinaMuhammadin wa ‘ala aalihi wasahbihi ajma’in
dariMawahib al-Laduniyyah bi al-Minah al-Muhammadaniyyah[*](Karunia Ilahiah dalam Bentuk Karunia Muhammadaniyyah)oleh Ahmad Shihab Al Deen Al Qastallani
Penciptaan Ruh Nabi Sall-Allahu ‘alayhi Wasallam
Saat Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan keputusan Ilahiah untuk mewujudkan makhluq, Ia pun menciptakan Haqiqat Muhammadaniyyah (Realitas Muhammad –Nuur Muhammad) dari Cahaya-Nya. Ia Subhanahu wa Ta’ala kemudian menciptakan dari Haqiqat ini keseluruhan alam, baik alam atas maupun bawah. Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian memberitahu Muhammad akan Kenabiannya, sementara saat itu Adam masih belum berbentuk apa-apa kecuali berupa ruh dan badan. Kemudian darinya (dari Muhammad) keluar tercipta sumber-sumber dari ruh, yang membuat beliau lebih luhur dibandingkan seluruh makhluq ciptaan lainnya, dan menjadikannya pula ayah dari semua makhluq yang wujud. Dalam Sahih Muslim, Nabi (SAW) bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis Taqdir seluruh makhluq lima puluh ribu tahun (dan tahun di sisi Allah adalah berbeda dari tahun manusia, peny.) sebelum Ia menciptakan Langit dan Bumi, dan `Arasy-Nya berada di atas Air, dan di antara hal-hal yang telah tertulis dalam ad-Dzikir, yang merupakan Umm al-Kitab (induk Kitab), adalah bahwa Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam adalah Penutup para Nabi. Al Irbadh ibn Sariya, berkata bahwa Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Menurut Allah, aku sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika Adam masih dalam bentuk tanah liat.”
Maysara al-Dhabbi (ra) berkata bahwa ia bertanya pada Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam menjawab, “Ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.”
Suhail bin Salih Al-Hamadani berkata, “Aku bertanya pada Abu Ja’far Muhammad ibn `Ali radiy-Allahu ‘anhu, `Bagaimanakah Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam bisa mendahului nabi-nabi lain sedangkan beliau akan diutus paling akhir?” Abu Ja’far radiy-Allahu ‘anhu menjawab bahwa ketika Allah menciptakan anak-anak Adam (manusia) dan menyuruh mereka bersaksi tentang Diri-Nya (menjawab pertanyaan-Nya, `Bukankah Aku ini Tuhanmu?’), Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam-lah yang pertama menjawab `Ya!’ Karena itu, beliau mendahului seluruh nabi-nabi, sekalipun beliau diutus paling akhir.”
Al-Syaikh Taqiyu d-Diin Al-Subki mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa karena Allah Ta’ala menciptakan arwah (jamak dari ruh) sebelum tubuh fisik, perkataan Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam “Aku adalah seorang Nabi,” ini mengacu pada ruh suci beliau, mengacu pada hakikat beliau; dan akal pikiran kita tak mampu memahami hakikat-hakikat ini. Tak seorang pun memahaminya kecuali Dia yang menciptakannya, dan mereka yang telah Allah dukung dengan Nur Ilahiah.
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengaruniakan kenabian pada ruh Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bahkan sebelum penciptaan Adam; yang Ia telah ciptakan ruh itu, dan Ia limpahkan barakah tak berhingga atas ciptaan ini, dengan menuliskan nama Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam pada `Arasy Ilahiah, dan memberitahu para Malaikat dan lainnya akan penghargaan-Nya yang tinggi bagi beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam). Dus, Haqiqat Nabi Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam telah wujud sejak saat itu, meski tubuh ragawinya baru diciptakan kemudian. Al Syi’bi meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau menjawab, “ketika Adam masih di antara ruh dan badannya, ketika janji dibuat atasku.” Karena itulah, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah yang pertama diciptakan di antara para Nabi, dan yang terakhir diutus.
Diriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah satu-satunya yang diciptakan keluar dari sulbi Adam sebelum ruh Adam ditiupkan pada badannya, karena beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah sebab dari diciptakannya manusia, beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah junjungan mereka, substansi mereka, ekstraksi mereka, dan mahkota dari kalung mereka.
`Ali ibn Abi Thalib karram-Allahu wajhahu dan Ibn `Abbas radiy-Allahu ‘anhu keduanya meriwayatkan bahwa Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) bersabda, “Allah tak pernah mengutus seorang nabi, dari Adam dan seterusnya, melainkan sang Nabi itu harus melakukan perjanjian dengan-Nya berkenaan dengan Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam): seandainya Muhammad (SAW) diutus di masa hidup sang Nabi itu, maka ia harus beriman pada beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan mendukung beliau (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), dan Nabi itu pun harus mengambil janji yang serupa dari ummatnya.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah SWT menciptakan Nur Nabi kita Muhammad sall-Allahu ‘alayhi wasallam, Ia Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan padanya untuk memandang pada nur-nur dari Nabi-nabi lainnya. Cahaya beliau melingkupi cahaya mereka semua, dan Allah SWT membuat mereka berbicara, dan mereka pun berkata, “Wahai, Tuhan kami, siapakah yang meliputi diri kami dengan cahayanya?” Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawab, “Ini adalah cahaya dari Muhammad ibn `Abdullah; jika kalian beriman padanya akan Kujadikan kalian sebagai nabi-nabi.” Mereka menjawab, “Kami beriman padanya dan pada kenabiannya.” Allah berfirman, “Apakah Aku menjadi saksimu?” Mereka menjawab, “Ya.” Allah berfirman, “Apakah kalian setuju, dan mengambil perjanjian dengan-Ku ini sebagai mengikat dirimu?” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Maka saksikanlah (hai para Nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersamamu.”(QS 3:81).
Inilah makna dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: `Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hukmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’” (QS 3:81).
Syaikh Taqiyyud Diin al-Subki mengatakan, “Dalam ayat mulia ini, tampak jelas penghormatan kepada Nabi (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) dan pujian atas kemuliaannya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa seandainya beliau diutus di zaman Nabi-nabi lain itu, maka risalah da’wah beliau pun harus diikuti oleh mereka. Karena itulah, kenabiannya dan risalahnya adalah universal dan umum bagi seluruh ciptaan dari masa Adam hingga hari Pembalasan, dan seluruh Nabi beserta ummat mereka adalah termasuk pula dalam ummat beliau sall-Allahu ‘alayhi wasallam. Jadi, sabda sayyidina Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam), “Aku telah diutus bagi seluruh ummat manusia,” bukan hanya ditujukan bagi orang-orang di zaman beliau hingga Hari Pembalasan, tapi juga meliputi mereka yang hidup sebelumnya. Hal ini menjelaskan lebih jauh perkataan beliau, “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.” Berpijak dari hal ini, Muhammad (sall-Allahu ‘alayhi wasallam) adalah Nabi dari para nabi, sebagaimana telah pula jelas saat malam Isra’ Mi’raj, saat mana para Nabi melakukan salat berjama’ah di belakang beliau (yang bertindak selaku Imam). Keunggulan beliau ini akan menjadi jelas nanti di Akhirat, saat seluruh Nabi akan berkumpul di bawah bendera beliau.
Allahumma salli afdalas salaati ‘ala habiibikal Mushtofa Sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wasahbihi wasallaam
Catatan Kaki:[*] diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari versi terjemahan bahasa Inggris di sunnah.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar