23 Desember, 2008

AKHLAK RASULULLAH SAW

Berbaik Hati Kepada Musuh

Beberapa tahun setelah berakhirnya perjanjian Hudaybiyah, Nabi bermaksud untuk memasuki Mekkah. Nabi bersama para sahabatnya melewati padang pasir dengan selamat hingga berhasil memasuki Mekkah dengan aman. Kemudian Nabi bertanya: ”Orang-orang Quraisy, menurut pendapat kalian, apa yang akan kuperbuat terhadap kalian sekarang?”
”Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu yang pemurah.”
”Pergilah kamu sekalian, sekarang kalian sudah bebas!”
Dengan ucapan itu, maka suku Quraisy dan seluruh penduduk Mekah telah diberikan pengampunan umum (amnesti).
Alangkah indahnya pengampunan pada saat itu, dikala Nabi mampu melumpuhkan mereka semua. Alangkah besarnya jiwa Nabi. Jiwa yang telah melampaui segala kebesaran, melampaui segala rasa dengki dan dendam di hati. Jiwa yang telah dapat menjauhi segala perasaan duniawi, telah mencapai segala yang di atas kemampuan insani. Orang-orang Quraisy, yang sudah dikenal betul oleh Muhammad. mereka yang pernah berkomplot hendak membunuhnya, yang telah menganiayanya dan menganiaya sahabat-sahabatnya dahulu, yang memeranginya di Badr dan di Uhud, yang dahulu mengepungnya dalam perang Khandaq. Mereka yang telah menghasut orang-orang Arab supaya melawannya, dan yang akan membunuhnya, mencabiknya sampai berkeping-keping kapan dan dimana saja, begitu ada kesempatan. Tapi sekarang, orang-orang Quraisy dalam genggaman tangan Muhammad, berada di bawah telapak kakinya. Perintahnya akan segera dilaksanakan terhadap mereka. Nyawa mereka semua kini tergantung hanya di ujung bibirnya dan pada wewenangnya atas ribuan bala tentara yang bersenjatakan lengkap, yang akan dapat mengikis habis Mekah dengan seluruh penduduknya dalam sekejap mata.
Namun, Muhammad bukanlah manusia yang mengenal permusuhan, atau yang akan membangkitkan permusuhan di kalangan umat manusia. Nabi bukan seorang raja yang sewenang-wenang, bukan mau menunjukkan sebagai orang yang berkuasa. Tuhan telah memberi keringanan kepadanya dalam menghadapi musuh, dan dalam kemampuannya itu beliau memberi pengampunan. Dengan itu, kepada seluruh dunia dan semua generasi, Nabi telah memberi teladan tentang kebaikan dan keteguhan menepati janji, tentang kebebasan jiwa yang belum pernah dicapai oleh siapa pun.
Hal ini sangat berbeda pada masa sekarang, orang cenderung untuk segera mempersenjatai diri begitu mendapat ancaman musuh. Ketika mereka kalah, mereka membela diri dengan mengatakan, bahwa mereka bukan golongan penyerang, musuhlah yang telah memancing permusuhan secara licik. Mereka tidak menyadari bahwa mengganti kekerasan bukan berarti harus tinggal diam ketika diperlakukan dengan kejam, melainkan tidak membiarkan diri terhanyut dalam hasutan, sekalipun hasutan itu dilakukan tepat di depan mata kita sendiri. Meskipun rasa benci terhadap musuh telah berakar dalam hati, kita tidak boleh membiarkan kebencian itu memicu atau merusak sikap kita.
Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup, bukan dengan jalan memerangi musuh. Hanya dengan pesona, seseorang dapat menaklukkan kebencian di dada musuhnya. Melakukan perlawanan karena sedikit hasutan, dan mengabaikan keutamaan membangun kekuatan diri, akan membawa seseorang ke dalam kehancuran.
Pada saat itu juga, mayoritas penduduk Mekah telah bersyahadat, kecuali Suhayl. Namun, setelah berlindung di rumahnya, ia mengirim pesan kepada putranya Abdullâh, memintanya menghadap Nabi atas namanya. Ia belum yakin, kalau Muhammad mengampuni kesalahan seluruh penduduk Mekah termasuk dirinya. Dalam benaknya, bahwa Muhammad sewaktu-waktu akan membunuhnya. Ketika Abdullâh berbicara kepada Rasulullah, beliau segera menjawab; “Ia aman di bawah perlindungan Allah, maka biarkan ia menghadap”.
Lalu meminta kepada semua orang, “Jika kalian bertemu dengan Suhayl, jangan ada perlakuan kasar terhadapnya. Biarkan ia keluar dengan aman. Selama hidupku, ia orang yang cerdas dan terhormat, bukan orang yang buta terhadap kebenaran Islam.” Suhayl pergi dengan bebas walaupun tidak masuk Islam.
Demikianlah perlakuan Nabi terhadap para musuhnya. Ia tidak senang adanya pertumpahan darah, apalagi di antara mereka masih satu keluarga. Begitu agungnya Islam mengajarkan hal ini. Apakah kita tidak bisa memaafkan orang yang telah menyakiti kita dengan ikhlas? Mereka adalah manusia, sama seperti kita juga. Yakinlah, kalau suatu saat nanti, mereka akan menjadi teman yang akan menolong kita disaat memerlukan pertolongan.
Rasulllah berkata, “Aku diutus oleh Allah untuk mengajarkan moral dan mengembangkan kesempurnaan. Yang terbaik diantara kalian adalah yang terbaik akhlaknya.” Oleh karena itu, berbahagialah wahai umat Muhammad! Penuhi prinsip hidupmu dengan kasih sayang dan saling menghargai! Dengan begitu, tujuan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam akan tercapai.
Sejak awal, Nabi telah membuang jauh-jauh rasa dendam. Dengan demikian, segala hal yang memungkinkan timbulnya reaksi merugikan dari kedudukannya sekarang terhapuskan. Karena, suatu negara yang kalah perang biasanya menyimpan penolakan yang tersembunyi. Dengan memberikan maaf secara umum, Nabi menekan penolakan ini hingga kuncup kembali. Kekuatan yang diperkirakan akan mencari-cari kesempatan menghancurkan benteng Islam, dengan demikian digunakan untuk membangun Islam itu sendiri.
Dari sekian banyak kaum kafir yang diampuni oleh Rasulullah, antara lain: Abdullah bin Sa’d yang kemudian menjadi penulis firman-firman Tuhan oleh Nabi; Quraibah, budak dari Abdullah bin Khatal. Ia sering memberikan puisi yang melecehkan Nabi dengan diiringi tarian seperti orang mabuk dengan gerakan-gerakan cabul; Ikrimah bin Abi Jahal dan budaknya, Sarah; Harits bin Hisyam; Zubair bin Abi Umayyah; Habbar bin al-Aswad, yang bertanggungjawab terhadap pembantaian besar-besaran umat Islam; Wahsyi bin Harb, yang bertanggungjawab atas kematian paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia juga yang membunuh Nabi palsu, Musailamah al-Kadzdzab dengan senjata yang sama ketika membunuh Hamzah; Ka’b bin Zuhair, seorang pujangga terkenal yang sering membuat puisi untuk melecehkan Nabi; Abdullah bin Zib’ari, seorang pujangga; dan Hindi binti Utbah, istri Abu Sufyan. Ia yang mencabut jantung Hamzah dan mengunyahnya.
Begitulah akhlak beliau terhadap sesama manusia, walaupun mereka dulunya merupakan orang-orang yang membencinya, bahkan akan membunuhnya. Namun, bukan balas dendam yang beliau utamakan, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah, justru sebaliknya, menambah kusutnya permasalahan.

































Bercinta dan Bersaudara Karena Allah

Cinta, apakah itu?
Saat ini kita sering mendengarkan kata cinta, terutama bagi kalangan ABG. Banyak judul film, sinetron, atau lagu yang mengangkat tentang cinta. Sementara itu, ketika mereka ditanya tentang apa arti cinta itu sendiri. Tidak sedikit yang menjawab bahwa, cinta yaitu menyenangi dan menyayangi kekasihya. Karena cinta, tidak jarang mereka akan mengorbankan apa saja hanya untuk membuat hati sang kekasihnya bahagia. Perasaan rela berkorban demi kebahagiaan sang kekasih tidak bisa dibayar dengan materi. Sungguh, betapa indahnya orang yang sedang dimabuk cinta. Namun, apakah ada ‘cinta’ dalam Islam itu?
Sebelum menjawabnya, mari kita lihat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “Ada tiga hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman; Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya. Mencintai dan tidak mencintai seseorang meliankan karena Allah. Dan dia enggan untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
Hadits di atas dengan jelas menyatakan bahwa bercinta harus karena Allah. Bukan karena harta, kecantikan, ketampanan atau jabatan. Lalu, bukankah mempunyai seorang kekasih yang cantik atau tampan, dapat menghilangkan rasa minder ketika kita berduaan di tempat-tempat umum?
Nah, di sinilah kita terjebak pada sesuatu yang bernuansa materi. Kecantikan atau ketampanan bisa mengalami perubahan karena faktor-faktor luar seperti, kosmetika dan usia. Seorang perempuan yang kurang cantik akan menutupi wajahnya dengan make-up yang membuat dia terlihat anggun, sehingga bisa menarik simpati laki-laki. Tapi berapa lamakah make-up itu menutupi wajahnya? Lagi pula dengan bertambahnya usia, kerutan di wajah akan mengendur termakan waktu dan usia. Dengan begitu, rasa cintanya akan berkurang seiring memudarnya pesona kecantikan atau ketampanan seseorang.
Begitu pula dengan cinta yang berdasarkan atas jabatan atau harta. Semakin berkurangnya harta, semakin memudarnya rasa cinta itu. Maka, tidaklah mengherankan jika mendengarkan berita sepasang suami istri yang bercerai karena hidupnya menjadi miskin, atau karena dipecat dari jabatannya.
Melihat kejadian di atas, jelaslah bahwa cinta dan persaudaraan yang berdasarkan materi tidak akan bertahan lama.
Jalinan ikatan dan hubungan seorang Muslim yang tulus dengan saudara-saudara dan teman-temannya berbeda dengan hubungan kekeluargaan dan ikatan sosial umat lainnya. Hal itu karena, ikatan dan hubungan yang dia bina adalah atas dasar persaudaraan karena Allah. Itulah ikatan yang terkuat antara yang satu dengan yang lainnya, baik laki-laki maupun perempuan. Itulah ikatan iman kepada Allah yang disambungkan-Nya kepada kaum muslimin seluruhnya. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurât [49]: 10)
Persaudaraan karena iman merupakan ikatan hati yang paling kuat, jalinan jiwa yang paling kokoh serta hubungan akal dan rohani yang paling tinggi.
Karena itu, seorang mukmin yang bersaudara karena Allah, memiliki ikatan hati yang sangat kuat, abadi selamanya. Rasa persaudaraan tersebut dibangun atas dasar cinta kepada Allah. Itulah cinta yang paling tinggi, suci, dan bersih dalam kehidupan manusia. Itulah cinta yang terlepas dari segala asas manfaat dan materi. Suci dari segala noda. Karena ikatan cinta yang suci dan jernih itu disinari oleh cahaya wahyu dan petunjuk nabawi.
Itulah cinta suci yang menyebabkan kaum muslimin dan muslimat dapat merasakan manisnya iman.
Dalam kehidupan Rasulullah, istri-istri beliau semuanya berstatus janda sebelum menjadi istrinya, hanya Siti Aisyah yang masih gadis. Ini merupakan bentuk penolakan atas kelompok orientalis yang mengatakan bahwa Rasulullah menikah dengan banyak istri karena materi dan kepuasan duniawi belaka. Namun sampai saat ini, dugaan ‘keji’ tersebut tidak terbukti kebenarannya. Justru sebaliknya, Rasulullah menikahi mereka karena petunjuk Allah dan untuk kemajuan dunia Islam, seperti Siti Khadijah, yang rela mengorbankan harta dan jiwanya demi tegaknya Islam. Ia berjuang mempertahankan keyakinan yang dianut oleh suaminya mulai dari pertama kali Nabi diberi wahyu, hingga menjelang hijrah ke Madinah.
Sebagai umat Nabi, kita bisa mencontoh keteladanan keluarga dan sahabat Nabi sebagai pedoman hidup. Merekalah yang dengan kecintaannya yang tulus memperjuangkan Islam dengan ikhlas dan istiqamah. Bisakah kita meneladani kehidupan mereka, atau orang-orang yang alim sebelum kita?




















Berjiwa Toleransi

Kata toleransi sering terdengar di telinga kita, namun tahukah kamu apa maksud dari kata tersebut?
Toleransi yaitu menghargai kepercayaan yang berbeda atau bertentangan dengan pemahaman kita sendiri.
Rasulullah bersabda, “Perumpamaanku dan perumpamaan para nabi-nabi terdahulu, yaitu seperti seseorang yang membangun rumah lalu menyempurnakan dan memperindahnya, kecuali sebuah batu di bagian pojok rumah. Kemudian orang-orang mengelilingi dan mengagumi tempat tersebut. Mereka bertanya, kenapa batu itu tidak diletakkan? Rasulullah menjawab, “saya adalah batunya dan saya adalah penutup para Nabi.”
Hadits di atas merupakan salah satu pijakan penting dalam membangun toleransi dalam konteks agama-agama. Dalam menyikapi agama-agama sebelum Islam, Nabi Muhammad SAW menyebutkan, bahwa agama-agama ibarat sebuah rumah. Rumah tersebut sudah dibangun, bahkan megah dan mewah dengan penuh fasilitas. Kemudian, ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah tidak untuk merusak, apalagi menghancurkan rumah tersebut. Justru sebaliknya, Nabi membawa Islam untuk menyempurnakan dan memperindah agama-agama sebelumnya, sebagaimana yang diumpamakan sebuah rumah yang megah. Rasulullah datang dengan membawa sebuah batu yang diletakkan di pojok rumah. Hal ini menunjukkan bahwa, Rasulullah datang untuk meneguhkan pesan akan keesaan Allah dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam al-Qur’an, banyak sekali pesan-pesan toleransi, antara lain: kebebasan dalam iman dan agama (QS. al-Kâfirûn [109]: 6); tidak ada paksaan dalam beragama (QS. al-Baqarah [2]: 256); dan hidup berdampingan dan saling menghargai (QS. al-Hujurât [49]: 13). Lalu dalam mengukuhkan visi toleransi, Rasulullah dalam berdakwah senantiasa mengedepankan munculnya kesepakatan yang secara tegas menggariskan toleransi di atas nota kesepahaman. Misalnya, Piagam Madinah dan Perdamaian Hudaybiyah. Pada pemerintahan Umar bin Khattab juga muncul kesepakatan perdamaian yang dikenal dengan Perjanjian Umar (al-Uhdah al-Umariyyah). Sedangkan pada masa Ottoman, muncul Piagam Penaklukkan Konstantinopel (Watsîqah Fath al-Qanthanthîniyyah). Ini semua menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan penguasa Muslim di masa lalu mempunyai kehendak politik untuk memilih toleransi sebagai pilihan utama.
Dalam sebuah hadits diceritakan, “Pada suatu hari Rasulullah mendengar kematian Raja Kristen Neggus Abyssina, Rasulullah keluar kota dengan para sahabatnya. Beliau meminta mereka berbaris dan memimpin upacara pemakaman Raja Neguss di Absensia”. Dalam hadits lain, Rasulullah berdiri ketika peti mati melewatinya. Setelah lewat, para sahabat bertanya: “Bukankah tadi adalah peti mati orang Yahudi?” Rasulullah menjawab: “Dimanapun kamu melihat peti mati lewat, berdirilah, siapapun dia Muslim atau non-Muslim.” (HR. Bukhari)
Kedua hadits tersebut menggambarkan, betapa toleransinya Rasulullah terhadap perbedaan keyakinan yang dianut oleh umat lain. Namun, kenapa pada saat ini, nilai-nilai toleransi dalam beragama semakin tidak menentu, apakah karena kita telah terlampau jauh dari nilai-nilai Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah empat belas abad yang silam? Atau, kita enggan menerapkan rasa toleransi yang telah kita pelajari? Bukankah rasa toleransi telah ada sejak al-Qur’an masih dalam bentuk lembaran-lembaran?
Memang, Dunia kian berbeda, karakter manusia dan alam sekitarnya pun telah bergeser, tapi apakah rasa toleransi itu hilang seperti kita membakar sebuah kayu yang kemudian berubah menjadi abu? Tidak, toleransi harus hidup dan kekal selama manusia masih hidup di atas bumi. Tinggal kita yang mengolah dan melestarikan nilai-nilai toleransi tersebut yang disesuaikan dengan adat dan peraturan yang berlaku.
Perseteruan antar kelompok karena perbedaan keyakinan, sering terjadi. Kedua belah pihak, seakan-akan menganggap paling Islam daripada yang lain. Tuduhan murtad, kafir, musyrik, dan semacamnya telah menjamur di negeri kita. Saat ini, banyak orang yang sudah berubah menjadi ‘Tuhan’. Dengan keyakinan dan ilmu yang mereka miliki, berhak menghukum yang lain sesat atau semacamnya, sehingga harus dibubarkan karena melenceng dari ajaran Islam.
Perdebatan tentang perbedaan keyakinan ini, sudah ada sejak zaman sahabat. Mereka membentuk suatu aliran atau kelompok tertentu, seperti Syi’ah, Khawarij, Jabbariyah, Qadariyah, dll. Satu sama lain saling mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar dan akan masuk surga. Tahun berganti tahun, zamanpun sudah berubah, namun pola yang diterapkan oleh kelompok-kelompok tersebut mengakar sampai sekarang.
Dimanakah letak kesalahan ajaran para pendahulu kita? Kenapa mereka tidak mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaan keyakinan dan pemahaman dalam Islam? Bukankah mereka sama-sama menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama rujukan hukum mereka?
Dalam konteks Indonesia yang bukan negara Islam, rasa toleransi itu harus dipupuk berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Dengan begitu, semua agama dan keyakinan bisa menjalankan ritualnya sesuai dengan yang dianutnya. Oleh karena itu, marilah kita hidup berdampingan secara damai dengan mereka yang tidak sepaham dengan kita. Karena kita sadar, beda orang akan beda pendapat, yang secara otomatis akan berbeda keyakinan juga. Tapi, percayalah bahwa mereka mengakui akan keesaan Tuhan, hanya saja berbeda dalam tata cara ibadah untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta alam semesta ini. Karena pada hakekatnya, agama yang dicintai Allah adalah ajaran yang lurus dan toleran.





Berkata Benar dan Jujur

Beberapa tahun setelah kepergian Khadijah dan Abu Thalib, dua orang yang sangat di cintainya dan selalu membantunya di saat-saat pahit akibat cacian dan hasutan kaum kafir Quraisy, Rasulullah menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar dan Sauda, seorang janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah. Pada masa itulah Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu, Muhammad sedang berada di rumah saudara sepupunya, Hindun puteri Abu Thalib yang mendapat nama panggilan Umm Hani. Ketika itu, Hindun mengatakan: ”Malam itu, Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai shalat akhir malam, beliau tidur dan kamipun tidur. Pada waktu sebelum fajar, Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan ibadah pagi bersama-sama, Nabi berkata: ”Umm Hani, saya sudah shalat akhir malam bersama kamu sekalian seperti yang kau lihat di lembah ini. Kemudian, saya ke Baitul-Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang, saya sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kau lihat.”
”Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!”
”Tapi, saya harus menceritakannya kepada mereka.”
Dalam sebuah sejarah, dilukiskan kisah Isra’ Mi’raj ini, sebagai berikut:
Pada tengah malam yang sunyi dan hening, burung-burung malampun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar lagi. Ketika itu, Muhammad terbangun oleh suara yang memanggilnya: ”Hai orang yang sedang tidur, bangunlah!” Dan ketika beliau bangun, di hadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dari sekelilingnya, sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan. Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasulpun naik.
Maka, meluncurlah buraq itu seperti anak panah membubung di atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju ke utara. Dalam perjalanan itu, Nabi ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai, di tempat Tuhan berbicara dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Sesudah itu, kemudian meluncur di udara.
Sementara itu, ada suara-suara misterius yang mencoba menghentikan Nabi, orang yang begitu ikhlas menjalankan risalahnya. Ia melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan hewan itu di mana saja dikehendaki-Nya.
Sesampainya di Baitul-Maqdis, Muhammad mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil Sulaiman, ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa. Kemudian dibawakan tangga, lalu dipancangkan di atas batu Ya’qub. Dengan tangga itu, Muhammad cepat-cepat naik ke langit.
Langit pertama terbuat dari perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas. Tiap langit itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada syetan-syetan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah, Muhammad memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula, semua makhluk memuja dan memuji Allah. Pada keenam langit berikutnya, Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu, beliau melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya, jarak antara kedua matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaan Allah, maka yang berada di bawah perintah Izrail adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat nama-nama mereka yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku besar. Ia melihat juga Malaikat Air Mata, yang menangis karena dosa-dosa orang, Malaikat Dendam yang berwajah tembaga yang menguasai api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api. Dilihatnya juga ada malaikat yang luar biasa besarnya, separuh dari api dan separuh lagi dari salju, dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tidak henti-hentinya menyebut-nyebut nama Tuhan: ’Ya Allah, Engkau telah menyatukan salju dengan api, telah menyatukan semua hamba-Mu setia menurut takdir-Mu’.
Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya. Ia mempunyai tujuh puluh ribu kepala, tiap kepala mempunyai tujuh puluh ribu mulut, tiap mulut mempunyai tujuh puluh ribu lidah, tiap lidah dapat berbicara dalam tujuh puluh ribu bahasa, dan tiap bahasa dengan tujuh puluh ribu dialek. Semua itu memuja dan memuji serta mensucikan Allah.
Pada saat Nabi sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu, tiba-tiba ia membubung lagi sampai ke Sidratul-Muntaha yang terletak di sebelah kanan ’Arsy, menaungi berjuta-juta ruh malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap matapun ia sudah menyeberangi lautan-lautan yang begitu luas dan daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu bagian yang gelap gulita disertai berjuta-juta tabir kegelapan, api, air, udara, dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun perjalanan. Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan. Dibalik itu, terdapat tujuh puluh ribu kelompok malaikat yang bersujud, tidak bergerak dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.
Kemudian terasa lagi, ia membubung ke atas, ke tempat Yang Maha Tinggi. Rasulullah terpesona sekali. Tiba-tiba, bumi dan langit menjadi satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya, seolah-olah sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya sebesar biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas. Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.
Kemudian lagi, ia sudah berada di hadapan ’Arsy, sudah dekat sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di luar jangkauan otak manusia dapat menangkapnya. Maha Agung Tuhan mengulurkan sebelah tangan-Nya di dada Muhammad dan yang sebelah lagi di bahunya. Ketika itu, Nabi merasakan kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang, damai, lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.
Sesudah berbicara, Allah memerintahkan hamba-Nya supaya sembahyang lima puluh kali dalam sehari. Begitu Muhammad kembali turun dari langit, beliau bertemu dengan Musa. Musa berkata kepadanya: ”Bagaimana kamu harapkan pengikut-pengikutmu akan dapat melakukan shalat lima puluh kali tiap hari? Sebelum engkau, aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah dan kembali kepada Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.”
Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu dikurangi menjadi empat puluh lima. Tetapi, Musa menganggap itu masih di luar kemampuan orang. Disuruhnya lagi Nabi kembali kepada Allah berkali-kali sehingga berakhir dengan ketentuan yang lima kali.
Sekarang, Jibril membawa Nabi mengunjungi surga yang sudah disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang teguh iman. Kemudian, Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi. Buraqpun dilepaskan. Lalu beliau kembali dari Baitul-Maqdis ke Mekah mengendarai hewan bersayap.
Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua pengertian ini. Itulah sebabnya, tatkala kejadian isra’ itu oleh Muhammad disampaikan kepada mereka, merekapun menanggapinya dari bentuk materi -mungkin atau tidaknya isra’ itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan kesangsian juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang tadinya sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: ”Masalah ini sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin Muhammad melakukan perjalanan Yerussalem-Mekah hanya semalam?”
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu kemudian berbalik murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi Abu Bakar dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan bahan pembicaraan.
”Kalian berdusta,” kata Abu Bakar.
”Sungguh,” kata mereka. ”Dia di mesjid sedang berbicara dengan orang banyak.”
”Dan kalaupun itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakar lagi, ”tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan.”
Abu Bakar lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan Nabi melukiskan Baitul-Maqdis. Abu Bakar sudah pernah berkunjung ke kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakar berkata: ”Rasulullah, saya percaya.”
Sejak itu, Muhammad memanggil Abu Bakar dengan ”Ash-Shiddiq.”
Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang sangat fenomenal pada masa itu, hanya iman dan keyakinan yang bisa membenarkannya, sedangkan akal dan logika tidak bisa menjangkaunya. Mulai dari peristiwa inilah, Muhammad dikatakan pendusta. Apakah Rasulullah pendusta?
Sifat wajib bagi rasul diantaranya adalah shidiq yang berarti berkata benar atau jujur, jadi mustahil kalau rasul berbohong. Ini merupakan tuduhan yang keliru dan menyesatkan. Jadi, sifat bohong tidak akan pernah melekat dalam diri seorang utusan Allah. Coba kita renungkan kalau memang para rasul itu pendusta. Dunia akan kacau dan kejahatan akan merajalela. Kenapa? Karena bohong merupakan salah satu sumber kejahatan moral manusia.
Dalam sebuah hadits yang berbunyi: ”Katakanlah yang benar walau itu pahit”. Dari hadits tersebut, Rasulullah berkata apa adanya, walaupun beliau mengetahui resiko yang akan dihadapinya, namun keyakinannya yang kuat mengatakan bahwa kebenaran pasti akan menghancurkan kebathilan.
Jadi, kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW haruslah berkata sesuai dengan fakta dan kenyataan dan tidak ada perkataan yang dibuat-buat dan dikurangi atau dilebih-lebihkan.
Kebohongan tidak selamanya jelek dan merusak moral manusia, namun ada beberapa kebohongan yang bisa ditolelir bahkan mendapatkan pahala. Pertama, bohongnya seorang suami kepada istri atau sebaliknya yang diperuntukkan untuk kebahagiaan dan ketentraman keluarga. Kedua, bohongnya seseorang yang berniat untuk menyelamatkan jiwa atau nyawa orang lain. Dan terakhir, bohongnya seorang teman untuk mendamaikan kedua belah pihak yang sudah lama bertikai dan tidak mungkin untuk berdamai, kecuali dengan berbohong. Ketiga macam bohong itulah yang diperbolehkan oleh aturan agama. Tapi ingat, jangan sekali-kali menggunakan ’kebohongan’ untuk kepentingan pribadi yang bisa berakibat fatal bagi diri sendiri maupun orang-orang yang berada di sekitarnya, baik teman karib, keluarga, maupun tetangga!
Ingat! Sekali orang berkata bohong, selamanya masyarakat tidak akan mempercayai kabar atau informasi yang ia sampaikan. Dengan begitu, kerugian akan menimpa kita untuk selama-lamanya. Untuk itu, mulailah dari sekarang kita berkata jujur dan benar, sebelum orang-orang di sekitar kita mencap kita sebagai ’pembohong’.











Bijaksana dan Adil dalam Mengambil Keputusan

Terkadang, kita semua diposisikan sebagai orang yang dimintai pendapat dan orang yang mengambil pendapat. Dari sini akan terlihat keimanan, kedewasaan, dan ketakwaannya. Dalam mengambil keputusan, kita harus bijaksana, adil, tidak pilih kasih dan tidak berbuat dzalim dalam kondisi apapun, apalagi mengikuti nawa nafsu.
Apakah yang dimaksud dengan adil dan bijaksana?
Adil yaitu berpihak kepada yang benar dan tidak bertindak sewenang-wenang. Sedangkan bijaksana adalah cermat, teliti, dan selalu menggunakan akal budi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Dengan berlandaskan dua sifat tersebut, maka keputusan tidak akan merugikan salah satu pihak sehingga menimbulkan konflik antar sesama.
Keadilan yang dipahami oleh umat Islam adalah keadilan yang tulus, totalitas dan ikhlas, yang tidak tergoyahkan oleh cinta dan benci, yang tidak terpengaruh oleh persaudaraan, kekerabatan, keturunan, maupun kepentingan pribadi. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Mâidah [5]: 8) dan “Apabila kamu berkata hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu dan penuhilah janji Allah”. (QS. al-An’âm [6]: 152)
Mengenai kedailan, Rasulullah telah memberikan contoh. Ketika datang Usamah bin Zaid untuk meminta keringanan bagi wanita dari Bani Makhzumiyah yang mencuri, namun Rasulullah tetap berteguh hati untuk memotong tangan wanita tersebut, seraya berkata: “Apakah kamu akan meminta syafa’at pada hukum Allah? Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong tangannya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Keadilan itu beliau tegakkan, sehingga ‘yang lemah merasa kuat’ dan ‘yang kuat tidak dapat berlaku sewenang-wenang terhadap yang lemah’. Karena itu, beliau memulainya dari diri pribadi dan keluarga beliau sendiri, sebagaimana hadits di atas. “sesungguhnya kaum-kaum sebelum kalian dihancurkan Allah karena jika ada orang-orang miskin yang melakukan kejahatan, mereka menghukumnya, tetapi jika pelakunya bangsawan, mereka membebaskannya”.
Melihat hadits di atas, hukum milik kelompok tertentu. Oleh karena itu, menegakkan keadilan sangat berat. Tugas pemimpin dan hakim dari zaman sahabat hingga sekarang sangatlah berat. Kata adil mudah untuk diucapkan, namun susah untuk diterapkan. Itulah tantangan bagi mereka penegak keadilan.





Bukan Pedendam tapi Pemberi Maaf

Nabi Muhammad SAW berjalan menuju masjid, namun di tengah perjalanan beliau diludahi oleh orang kafir. Nabi tersenyum melihat tingkah orang tersebut. Keesokan harinya, Nabi kembali berjalan melewati jalan tersebut dan orang kafir itupun meludahinya lagi, begitulah setiap hari. Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW tidak berjumpa dengan orang yang tiap hari meludahinya. Nabi bertanya ke orang-orang di sekitarnya. Nabi mendapatkan kabar kalau orang yang biasa meludahinya sedang sakit. Nabi bergegas pulang ke rumah. Disuruhnya Fatimah untuk membungkus makanan. Dibawanya menuju rumah orang kafir tersebut. Sesampainya di rumah yang dituju, Nabi masuk dan orang kafir tersebut terkejut karena belum ada satupun teman dari golongannya yang menjenguk, tapi justru orang yang pertama menjenguknya adalah orang yang biasa ia ludahi setiap hari. Tertunduklah wajahnya, ia langsung meminta maaf dan menyatakan dirinya masuk Islam. Nabi Muhammad SAW mendoakannya agar cepat sembuh.
Cerita itu menggambarkan betapa besar jiwa Rasulullah. Dengan mudahnya, beliau memaafkan kesalahan orang yang membencinya. Bisakan kita bersikap seperti Rasulullah? Ya, minimal memberinya senyuman dan salam keselamatan.
Umumnya, bila seseorang mendapatkan perlakuan buruk dari musuhnya, ia akan memperhitungkan suatu balas dendam kepada musuhnya itu sesuai takarannya sendiri. Dan biasanya, orang akan melakukan balas dendam bila mendapat perlakuan buruk dari orang lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang Rasulullah ajarkan.
Bisakah kita memberi maaf kepada orang yang telah berbuat jahat terhadap kita? Bukankah Nabi Muhammad SAW mengajarkan hal tersebut? Adakah ayat dalam al-Qur’an dan hadits yang mengajarkan kita untuk balas dendam?
Dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 263, Allah bersabda: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima).” Dan dalam surat Al-A’râf [7] ayat 199, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Dari kedua ayat tersebut jelaslah bahwa, kita dilarang untuk balas dendam bahkan disuruh memberikan maaf terhadap orang lain, baik kepada musuh maupun sahabat kita. Maka, masih pantaskah kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW tidak memberikan maaf kepada teman kita hanya gara-gara masalah sepele? Sedangkan, Allah mengajarkan kita agar menjadi hamba yang pemaaf.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa: “Seseorang menemui Rasullah dan bertanya: “Ya Rasulullah seberapa seringkah saya harus memaafkan pembantuku? Rasulullah tidak menjawab pertanyaannya dan terdiam. Orang itu mengulangi pertanyaannya. Rasulullah berkata: “Tujuh kali setiap hari.”
Tujuh kali merupakan istilah dalam bahasa Arab yang menunjukkan makna banyak atau tidak terhingga dalam hitungan. Dalam bahasa Arab, kata jamak atau plural diistilahkan dengan angka ‘tiga’ dan ‘tujuh’. Angka ‘tiga’ diumpamakan pada hitungan yang banyak namun masih bisa dihitung atau ada batasannya. Sedangkan angka ‘tujuh’, merupakan hitungan yang tidak ada batasnya atau tidak teridentifikasi untuk hitungan selanjutnya. Jadi, maksud hadits ini yaitu kita disuruh untuk memberikan maaf kepada orang lain berkali-kali untuk selama-lamanya, atau tidak mengenal bosan dan tanpa ada batasnya.
Balas dendam merupakan salah satu perbuatan yang dibenci Allah dan disenangi Syetan. Untuk menghilangkan sifat dendam yang ada dalam diri kita, yaitu dengan mengubah prasangka kita. Islam menganjurkan kita untuk husnudzan (berprasangka baik) terhadap orang lain. Bukan malah kita memilih su’udzan (berprasangka buruk) terhadap tindakan orang lain terhadap kita.
Syetan dengan berbagai cara menghasut manusia untuk menjadi pendendam. Jadi, lawanlah hasutan syetan itu dengan lapang dada dan keikhlasan jiwa dan raga. Bukankah syetan itu selamanya musuh manusia yang nyata? Ya, sejak syetan turun ke bumi diusir oleh Allah dari surga karena tidak mau sujud kepada Nabi Adam AS. Syetan berusaha menjerumuskan anak cucu Adam ke jurang kehancuran dan kenistaan untuk selama-lamanya. Syetan merupakan makhluk ghaib yang tidak terlihat oleh kasat mata, tapi sifat dan karaktenya yang bisa dilihat melalui perantara tubuh manusia.
Dalam diri manusia tiga macam energi, yaitu energi fisik, energi mental dan energi spiritual. Energi mental dan spiritual lebih penting, karena dari alam sadar, kita bisa memperoleh kemampuan dan kekuatan besar ketika dibutuhkan. Manusia membutuhkan formula energi yang dinamis dalam hidupnya:
1) Menentukan tujuan yang jelas, karena tidak ada perkara yang dinamis tanpa maksud yang spesifik.
2) Menjaga tubuh agar segar selalu dalam keadaan fisik yang kuat. Ada sebuah pepatah yang sangat terkenal yaitu, “di dalam raga yang kuat terdapat jiwa yang sehat.” Oleh karena itu, kita harus makan dan minum yang mengandung gizi, vitamin, mineral, dan zat lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh kita.
3) Mencari kesempatan untuk menolong orang lain. Cara inilah yang bisa mengikis sifat angkuh dalam hati kita. Manusia pada hakekatnya sama, yaitu makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada satupun yang dapat membedakan manusia satu dengan manusia yang lainnya, kecuali amal perbuatan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, Pencipta alam raya.
4) Menunjukkan penghargaan dan kebaikan hati kita kepada orang lain. Sebagai makhluk sosial, kita harus saling menghargai dan menghormati perbuatan orang lain, seperti menyapa orang lain, mengucapkan terima kasih kepada pelayan atau pembantu, dan memaafkan kesalahan orang lain. Dengan begitu, citra Bangsa indonesia di mata dunia terkenal sebagai bangsa yang berbudaya luhur dan bermartabat tinggi.
5) Memunculkan energi baru pada saat keberhasilan. Kita akan merasakan kedamaian hati, pikiran, dan bathin disaat pekerjaan yang membebani kita selesai sesuai dengan target atau rencana sebelumnya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah berkata: “Seorang mukmin merupakan perwujudan cinta. Tidak ada kebaikan dalam dirinya yang tidak menunjukkan kasih sayang kepada yang lain dan kepada siapapun yang menunjukkan kebencian.”
Perbedaan pendapat atau perselisihan pemahaman adalah sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat merupakan rahmat. Jadi, perbedaan tersebut jangan sampai menjadi bumerang bagi kita untuk saling bermusuhan, sampai-sampai kita membuat kelompok, grup atau aliran sendiri-sendiri hanya karena curiga dan cemburu di antara kita. Nabi Muhammad SAW berkata bahwa “Dua sifatmu yang menyenangkan Allah. Pertama rasa pengendalian diri, dan yang kedua enggan bertindak dengan tergesa-gesa.”
Orang yang pikirannya picik akan berkata bahwa, orang yang meminta maaf pertama kali bisa menurunkan derajatnya. Pikiran seperti itu adalah salah kaprah. Justru sebaliknya, orang yang meminta maaf pertama kali setelah melakukan kesalahan dapat meninggikan rasa tawadhu’ serta mengikis sifat sombong yang melekat di hati kita. Dalam surat an-Nisâ [4] ayat 36, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” Dan dalam surat al-Isrâ [17] ayat 37, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” Ayat ini memberikan peringatan kepada kita untuk tidak berbuat sombong dalam keadaan apapun dan pada saat kapanpun.





















Bukan Pemalas

Rasulullah terlahir sebagai anak yatim dan hidup secara sederhana. Walaupun dalam keadaan seperti itu, beliau tidak bermalas-malas mengharapkan belas kasih dari orang lain. Justru, beliau bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan para saudaranya. Sebagai contoh, beliau pernah menggembalakan kambing dan berjualan di Syam. Hal ini menandakan bahwa Allah tidak menginginkan para utusan-Nya bermalas-malasan dalam mengarungi kehidupan dunia ini, justru mereka harus memberikan contoh kepada umatnya untuk bekerja keras dan bersabar setelah menerima wahyu dari Allah.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d [13]: 11)
Maksudnya, Allah tidak akan menurunkan kesuksesan, kejayaan, dan kemakmuran dari langit secara langsung tanpa adanya usaha dan kerja keras dari hamba-Nya. Namun di sisi lain, Allah juga tidak menginginkan hamba-Nya hidup dalam keterpurukan dan kesengsaraan. Oleh karenanya, Allah memberikan manusia akal, ilmu pengetahuan, dan wahyu yang disampaikan melalui keteladanan Rasulullah. Dengan begitu, manusia diharapkan sebagai makhluk yang paling baik diantara hewan, tumbuhan, dan syetan. Secara fisik dan aktifitas lahir, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mirip dengan hewan, seperti makan, minum, dan melakukan seks. Ini bisa dilihat dari sebuah pepatah, “manusia merupakan hewan yang berfikir.” Dari sini, ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain yaitu, berfikir dan bekerja.
Berlomba dalam kebaikan atau al-istibaq bi al-khair merupakan ajaran Islam yang mendorong kaum Muslimin untuk menjadi orang terdepan, sekaligus menunjukkan orientasinya pada hasil yang terbaik. Kata al-istibaq mengandung dua pengertian. Pertama, berlomba untuk menjadi yang terbaik dan terdepan. Ini menunjukkan bahwa seorang Muslim harus selalu berusaha memberikan yang terbaik, dan tidak hanya puas dengan apa yang ada. Dengan kata lain, dia harus memilih yang terbaik dari yang baik-baik. Kedua, berkompetisi dalam kebaikan pada posisi masing-masing dalam usaha merealisasikan cita-cita Islam. Dengan cara bekerjasama dalam memperjuangkan kebaikan. Kompetisi dalam kebaikan mengandung isyarat bahwa, kaum Muslimin haruslah menjadi pelopor dan pemberi teladan dalam mengerjakan kebaikan, dan bukan menjadi pengikut atau pengekor orang lain. Ia harus menjadi inisiatif atau pembuka lapangan kerja bukan sebagai buruh atau karyawan, dan menjadi produsen bukan konsumen.
Saat ini, kerja dan pekerjaan bukanlah sekedar sarana untuk mencari nafkah, yang dengan itu, seseorang dapat mempertahankan hidupnya, tetapi juga berkaitan dengan status sosial. Maksudnya, kemuliaan, martabat, dan status sosial seseorang ditentukan oleh jenis pekerjaannya. Bukan hanya sampai di situ, kebanyakan orang lebih mendewakan pekerjaannya. Karena, dengan begitu, mereka dapat hidup bermegah-megahan, bisa menggapai cita-citanya, dan memiliki kekuasaan.
Islam menginginkan agar semua pekerjaan diwujudkan dalam hal-hal yang baik dan bermanfaat, baik untuk pribadi, agama, maupun bangsa. Lalu bagaimanakah pekerjaan yang baik dan bermanfaat itu?
Suatu pekerjaan dinilai mengandung kebaikan dan manfaat (amal shalih) jika: pertama, pekerjaan itu membawa kebaikan dan manfaat, bukan keburukan dan kemadharatan. Yang kedua, pekerjaan itu sesuai dengan tuntutan dan petunjuk agama, baik secara alasan maupun tujuannya. Dengan demikian, di dalam suatu pekerjaan harus terkandung suatu nilai kesucian dari ujung hingga pangkal. Ia harus didasari oleh niat yang benar, dikerjakan dengan jalan yang benar, dan ditujukan untuk sesuatu yang benar. Oleh karenanya, cara bekerja merupakan hal yang penting. Mengapa? Karena, jika suatu pekerjaan dipandang memiliki nilai-nilai sakral, maka ia harus dikerjakan dengan cara yang suci, bersih, dan jujur. Yaitu, terhindar dari hal-hal yang merusak, dzalim, dan merugikan orang lain. Selanjutnya, karena pekerjaan merupakan ibadah, maka hasil yang diharapkan tidak saja pada urusan duniawi belaka, namun juga untuk membuat jalan menuju kehidupan abadi, yaitu akhirat. Rasulullah berkata, “Yang menjadi rizki kamu adalah apa yang engkau makan dan habis, dan apa yang engkau pakai dan usang.” Dengan begitu, yang terpenting bagi seorang muslim bukanlah semata-mata imbalan di dunia, tapi juga kita harus memikirkan akhirat. Syukur-syukur kalau hasil yang kita dapat selama bekerja bisa membawa kita kepada kebahagiaan di akhirat, seperti dengan bersedekah, berzakat, dan menyantuni anak yatim.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa, mencari pekerjaan yang haram saja susah, apalagi yang halal. Pendapat yang ‘sesat’ semacam ini telah menjamur dalam pemikiran kita. Baik disengaja maupun tidak, pemikiran semacam itu sudah kita praktekkan, seperti misalnya mencuri, memanipulasi data, korupsi dan membuat proposal-proposal yang fiktif. Metode ini kita kenal dengan istilah ‘menghalalkan segala cara’. Al-Qur’an menegaskan, “Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang baik dengan yang bathil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 42) Dari sinilah muncul etika kerja secara Islami, yaitu aturan dan norma-norma yang mengatur setiap kerja seorang Muslim.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja dan berhemat. Dengan begitu, mereka bisa membuat lapangan pekerjaan yang besar, bisa menyerap banyak pekerja dan juga menguasai pasar-pasar skala besar. Dengan demikian, kita akan leluasa memberikan zakat, infak, dan sedekah kepada orang lain, sehingga sebagai umat mayoritas tidak kalah dengan umat minoritas dalam bidang ekonomi dan pemberdayaan sumber daya manusia. Salahkah kalau kita berfikiran seperti itu? Maka dari itu, kita rubah sifat malas kita dengan giat bekerja dan berusaha. Sebuah pepatah indah mengatakan, “orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin dan orang yang rugi adalah orang yang hari ini tidak sebaik hari kemarin.”
Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, namun kenapa mereka kebanyakan hidup miskin. Sedangkan kita tahu bahwa ajaran Islam memiliki segala macam pondasi bagi kelangsungan hidup umatnya. Dari sini timbul pertanyaan, kalau begitu siapakah yang salah, apakah ajaran Islam atau umatnya?
Ajaran Islam yang keliru dipahami oleh umatnya dan harus diluruskan diantaranya, yaitu sifat qana’ah (menerima apa adanya), mereka memahami bahwa kita harus mensyukuri apa yang ada tanpa ada sebuah inovasi pemikiran untuk merubah keadaannya terlebih dahulu. Keberadaan Takdir Allah, bahwa apa yang mereka alami saat ini karena ketentuan Allah yang melahirkan kemalasan. Padahal, seharusnya dipahami bahwa kita harus bekerja semaksimal mungkin yang pada akhirnya segalanya akan kembali kepada ketentuan Allah.
Malas berkedok takdir itu su’udzan (berprasangka buruk) kepada Allah. Padahal kita harus husnudzan (berprasangka baik) kepada Allah. Kemudian bagaimana caranya? Caranya adalah dengan selalu berfikiran positif kepada Allah dengan doa yang harus selalu kita lakukan; ditambah lagi kerja keras dan disiplin yang menjadi syarat utamanya. Diri kitalah yang harus sanggup mengubahnya untuk meninggalkan kemiskinan dan berusaha keras untuk memperoleh kekayaan. Bukankah untuk merubah diri itu tidak gampang dan lagipula memakan waktu yang cukup lama? Memang, mengubah diri tidaklah mudah, tapi harus kerja keras yang dibarengi doa yang rajin pula. Sebagaimana kita tahu, pada dasarnya Islam mengajarkan kita harus kaya, ini dibuktikan dengan kewajiban mengeluarkan zakat yang terdapat dalam rukun Islam.
Oleh karenanya, mulai dari sekarang, marilah kita budayakan semangat bekerja dan kita kubur dalam-dalam sifat malas yang sudah berkarat itu. Jangan sampai kita disebut sebagai raksasa yang sedang tidur. Bangsa yang maju adalah bangsa yang cerdas, kreatif, dan bertanggungjawab dalam mengelola sumber daya alam dan manusianya secara optimal.
















Gemar Bersilaturrahmi

Tatkala turun ayat “Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Su’ara [26]: 214). Maka Rasulullah menyeru Quraisy untuk berkumpul, lalu mengajak ke jalan Islam dengan seruan yang bersifat umum dan khusus. “Wahai bani Ka’ab bin Luay, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai bani Murrah bin Ka’ab, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai bani ‘Abdi Syams, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai bani ‘Abdi Manaf, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai bani Abdul Muthalib, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Karena sesungguhnya aku tidak kuasa menolong kalian sedikitpun. Hanya saja kalian memiliki tali kekerabatan yang harus kusambungkan.” (HR. Muslim)
Dan sejatinya petunjuk Nabi telah didengar oleh kaum muslimin pada generasi awal, mereka telah merealisasikan petunjuk Nabi tersebut. Dimana mereka tetap berbuat baik kepada kerabatnya meskipun dalam keadaan kafir.
Tetesan embun jiwa kemanusiaan tidak akan kering dari hati orang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Bahkan, tetesannya terus membasahi karib kerabatnya dengan air kebaikan, pertalian darah dan pergaulan yang baik, meskipun mereka dalam keadaan musyrik.
Islam telah memerintahkan pemeluknya untuk berbakti kepada kedua orang tua, walaupun keduanya dalam keadaan non-muslim. Demikian pula kepada kerabat dan saudara yang berbeda agama dengannya. Yang demikian itu lahir dari rasa toleransi, kemanusiaan, dan rahmat yang dibawa oleh Islam kepada umatnya.
Di era globalisasi ini, menjalin silaturrahmi bukan hanya dengan menikahkan anaknya dengan sahabat atau saudara jauh, saling berkunjung satu sama lain, tapi juga bisa berkomunikasi lewat telephon, email, atau surat-menyurat. Dengan cara-cara seperti itulah, kita mengetahui kehidupan saudara-saudara kita yang jarang bertemu karena tempat yang jauh dan ongkos yang mahal.
Dengan begitu, ruang lingkup silaturrahmi sangat beragam. Misalnya, pemberian bantuan finansial bagi kerabatnya yang dalam keadaan miskin, untuk membantu meringankan kesusahannya. Mengunjungi kerabat dengan penuh kasih sayang dan cinta yang dapat mempererat kekerabatan dan mengalirkan mata air kasih sayang dan cinta. Bertutur kata yang baik, sopan, dan santun dengan senyum yang menyejukkan hati serta tidak membawa rasa dengki. Menasehati dengan lemah lembut untuk meningkatkan amal kebaikan, menggugah rasa kebersamaan, menyuburkan kasih sayang diantara sesama kerabat. Ini semua merupakan pengamalan dari hadits “Basahilah kekerabatanmu walau hanya dengan sekedar mengucapkan salam.” (HR. Bazzar)
Sebagai contoh di sebuah desa di daerah Cirebon, tepatnya di desa Arjawinangun, ada seorang kyai yang disegani oleh masyarakat di sekitarnya. Sang kyai itu bernama KH. Abdullah Syathori, pendiri Pondok Pesantren Dar al-Tauhid al-Islamy. Di saat senggang atau libur mengaji, beliau berziarah kubur ke makam ayahnya, yang letaknya kira-kira 3 KM dari pesantren yang diasuhnya. Sesekali beliau mampir di sebuah rumah yang kebetulan penghuninya sedang berada di teras rumahnya. Mereka berbincang akrab seperti seorang sahabat karib yang lama tidak bertemu. Pembicaraan merekapun tanpa batas, mulai dari kehidupan ekonomi keluarga, masalah pendidikan sampai kenakalan remaja. Ketidakengganan sang kyai menyapa umatnya itu perlu ditiru oleh generasi penerusnya.
Puncak keluhuran akhlak yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada umatnya yaitu menjalin silaturrahmi. Lalu, kenapa dan apa keistimewaan dari silaturrahmi sehingga menjadi puncak keluhuran akhlak?
Silaturrahmi yatu menjalin tali persahabatan. Maka, dengan bersilaturrahmi, kita akan saling mengenal satu sama lainnya. Kita akan mengetahui karakter dan kepribadian orang lain dengan sering bertemu dan berkomunikasi. Allah berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Hujurât [49]: 13). Ayat ini diperjelas dengan hadits, “Ya Allah! Tuhan dalam hidupku dan segala sesuatu yang ada di dunia! Aku menyatakan bahwa semua manusia adalah bersaudara satu sama lainnya. (HR. Ahmad dan Abu Daud) dan “Persatuan adalah rahmat sedangkan perpecahan adalah kiamat.”
Dengan bersilaturrahmi yang hanya mengharapkan keridhaan dari Allah dan tidak memperdulikan perlakuan jahat dan cacian orang, maka kita akan terhindar dari sifat angkuh, psimis, dan malas. Karena dalam bersilaturrami, kita akan bertukar pikiran untuk mencari solusi hidup yang sedang kita hadapi. Tapi, bukan berarti kita memilah-milah orang yang harus kita kunjungi. Mereka semuanya sama memiliki pengalaman dan ilmu yang satu sama lain bisa kita amalkan sesuai dengan yang selama ini dia istiqamahkan.
Siulaturrahmi merupakan suatu alat untuk menciptakan pondasi dalam meningkatkan ukhuwah Islamiyah. Mulai dari mempelajari kebudayaan dan adat istiadat bangsa lain, tanpa mem-bid’ah-kan dan menganggap itu ‘sesat’. Hingga membuat sebuah ajang pertunjukan dan pagelaran budaya dalam bingkai reuni maupun halal bi halal. Dengan begitu, rasa nasionalisme keragaman budaya muncul dengan sendirinya. Kita merupakan bangsa yang besar dengan 400 suku bangsa, bahasa, dan kebudayaan.
Dengan bersilaturrahmi pula, persatuan dan kesatuan bangsa akan terbina, seperti seratus tahun yang silam. Tapi, jangan sekali-kali kita memiliki pikiran bahwa, ketika kerabat jauh tidak berkunjung atau berkomunikasi dengan kita lagi, maka mereka sudah lupa kepada kita. Justru, kitalah yang harus memulai menjalin silaturrahmi itu disaat mengingat mereka.



Hidup Sederhana dan Bersahaja

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah amat sangat bersahaja, bahkan sebagian orang keliru menyebutnya ‘miskin’. Beliau menambal sendiri bajunya yang robek, membersihkan rumah, dan memperbaiki perlengkapan atau peralatan yang rusak. Di dalam rumahnya, tidak terdapat banyak perabot. Bahkan, ketika beliau tidur-tiduran dengan hanya beralaskan anyaman daun kurma, sehingga bekasnya tampak jelas dipinggang beliau. Namun semua itu tidak disebut miskin. Karena, miskin merupakan kondisi yang serba kurang, sedangkan Rasulullah hidup dalam keadaan kecukupan. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menempatkan kehormatan diri pada harta dan kekayaan. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tampilan dan pakaian kalian, tetapi melihat apa yang ada dalam hati kalian”. Kekayaan tidaklah harus diartikan dengan banyaknya harta, tetapi kaya dalam arti hati.
Jadi, Nabi mengajarkan kepada umatnya untuk hidup bersahaja, walaupun beliau bisa hidup mewah hanya dengan memohon kepada Allah untuk memberikannya kekayaan. Namun, kemudahan dalam melapangkan rizki itu tidak beliau manfaatkan, malah beliau menikmati hidup secara sederhana.
Dalam istilah bahasa, lawan kata sederhana yaitu boros atau bermegah-megahan. Al-Qur’an menyuruh kita untuk tidak hidup berlebihan. “Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. al-A’râf [7]: 31). “Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudaranya syetan, dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isrâ [17]: 26-27). Nabi bersabda, “Cukuplah seseorang itu disebut boros jika ia membeli sesuatu yang tidak dibutuhkannya”. (HR. Ibn Majah) dan “Sebaik-baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak perlu baginya”.
Kesederhanaan yang Rasulullah terapkan dalam kehidupannya sehari-hari, bukanlah karena kemalasan sehingga terlihat lusuh dan kumuh. Rasulullah sangat tidak menyukai hal-hal yang kotor. “Kebersihan adalah sebagain dari iman”. Karena itu, Nabi menyisir rambutnya yang berombak hingga ke bahu, bersiwak lebih dari tujuh kali setiap hari, dan sering menggunakan wewangian.
Kesederhanaan juga tidak membuat seseorang menjadi lemah, Nabi menegaskan, “Mukmin yang kuat lebih disukai daripada mukmin yang lemah”.
Hidup bersahaja biasanya dilakukan oleh para petapa, ahli thariqah, ibn sabil, ahli zuhud dan sufi. Mereka hidup sederhana tidaklah aneh dan mengagumkan, karena memang jalan hidup yang mereka tempuh dimulai dengan niat menjauhi kenikmatan atau kemewahan dunia. Lalu hidup bagaimana yang membuat orang ‘iri’ untuk meniru kebersahajaannya?
Orang akan terkagum dan memujinya kalau kita melihat orang yang memiliki harta yang banyak dengan fasilitas yang serba lengkap, namun kesehariannya tidak memperlihatkan kemewahan hartanya, justru hidup secara sederhana. Bisakah kita bersikap seperti itu?
Ada sebuah pemikiran yang ‘konyol’, yaitu hidup sederhana sama saja dengan menurunkan harga diri, karena itulah, tidak sedikit mereka memiliki sifat psimis, rendah diri, dan dengki. Pemikiran seperti itu harus kita buang jauh-jauh. Dengan cara apa kita membuang pemikiran ‘konyol’ itu?
Allah menciptakan sesuatu di bumi ini berpasang-pasangan, ada malam ada siang, ada baik ada buruk, ada optimis ada psimis, ada kanan ada kiri, ada sabar ada tergesa-gesa, ada senyum ada marah, dll. yang kesemuanya bisa bersemayam di dalam hati setiap manusia. Hanya kita sendirilah yang menentukan sifat mana yang paling dominan dalam kepribadian kita.
Ada yang berpendapat bahwa, sifat seseorang banyak ditentukan oleh keluarga, lingkungan, teman, sekolah atau tempat mereka bermain. Pernyataan itu tidak seratus persen benar, tapi juga tidak seratus persen salah. Kenapa?
Dalam diri manusia ada dua faktor yang mendominasi kepribadian seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan hal-hal yang ada dalam diri kita, seperti pengendalian diri melalui niat untuk melakukan atau merubah sesuatu, dilanjutkan dengan berfikir untuk membuat sebuah kreatifitas dan motivasi dalam menata hidup mendatang. Setelah faktor internal sudah mantap dengan rencana yang strategis dan penuh optimistik, barulah kita mempertimbangkan faktor eksternalnya, yaitu semua yang ada di sekitar kita, baik keluarga, lingkungan, maupun teman karib. Dengan begitu, kebersahajaan yang kita bangun membuat orang tertegun dan menginginkan hidup dengan tidak bermegah-megahan, seperti yang Rasulullah jalankan.
Ada sekelompok orang yang salah menafsirkan hidup bersahaja ala Rasulullah ini. Mereka hidup miskin karena malas bekerja. Mereka salah mengartikan ketentuan Allah tentang rizki. Mereka menganggap dengan beribadah saja, hidup mereka akan tercukupi, begitulah kesalahan mereka dalam mengartikan tawakal kepada Allah. Justru akan berakibat sebaliknya, kehancuran dan kesia-siaan hidup yang akan mereka rasakan. Allah berfirman, “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”. (QS. al-Jumu’ah [62]: 10).














Hidup Selama-lamanya

Pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal 11 H atau bertepatan dengan 8 Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Para sahabat langsung tidak menerima akan berita wafatnya Rasulullah tersebut. Ketidakpercayaan mereka memiliki alasan yang kuat, karena pagi harinya, Rasulullah ikut berjamaah di mesjid.
Setelah mendengar berita wafatnya Rasulullah, cepat-cepat Umar ke tempat jenazah disemayamkan. Ia tidak percaya bahwa Rasulullah sudah wafat. Ketika dia datang, dibukanya tutup mukanya. Ternyata, beliau sudah tidak bergerak lagi. Umar menduga bahwa Nabi sedang pingsan. Jadi, tentu akan siuman lagi. Umar sama sekali tidak mau mempercayainya. Ia keliru menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an, yang menurut pemahamannya, Nabi akan hidup lebih lama daripada mereka semua hingga datang generasi lain.
Kemudian, ia keluar ke mesjid bersama-sama sambil berkata: ”Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah SAW telah wafat. Tetapi, demi Allah sebenarnya beliau tidak meninggal, melainkan pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!”
Teriakan Umar yang datang bertubi-tubi ini telah didengar oleh kaum Muslimin di mesjid. Mereka jadi seperti orang kebingungan. Kalau memang benar Muhammad telah berpulang, alangkah pilunya hati! Alangkah gundahnya perasaan mereka yang pernah melihatnya, pernah mendengarkan tutur katanya, orang-orang yang beriman kepada Allah Yang telah mengutusnya membawa petunjuk dan agama yang benar! Rasa gundah dan kesedihan yang sungguh membingungkan, sungguh menyayat kalbu! Apabila Muhammad telah pergi menghadap Tuhan, sungguh membingungkan. Dan menunggu dia kembali lagi seperti kembalinya Musa, lebih-lebih lagi ini mengherankan.
Sementara mereka dalam keadaan bingung, tiba-tiba Abu Bakar datang. Ia segera ke Madinah dari Sunh setelah berita sedih itu diterimanya. Ketika dilihatnya kaum Muslimin demikian, dan Umar sedang berpidato, ia tidak berhenti lama-lama di tempat itu melainkan terus ke rumah Aisyah tanpa menoleh lagi ke kanan-kiri. Ia minta izin akan masuk, tapi dikatakan kepadanya, orang tidak perlu minta izin untuk hari ini.
Ketika ia masuk, dilihatnya Nabi di salah satu bagian dalam rumah itu sudah diselubungi dengan burd hibara (sejenis kain bersulam buatan Yaman). Ia menyingkapkan selubung itu dari wajah Nabi dan setelah menciumnya, ia berkata: ”Alangkah sedapnya di waktu engkau hidup, alangkah sedapnya pula di waktu engkau meninggal.”
Kemudian kepala Nabi diangkatnya dan diperhatikannya paras mukanya, yang ternyata memang menunjukkan ciri-ciri kematian.
”Demi ibu-bapakku. Maut yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu sekarang sudah sampai engkau rasakan. Sesudah itu takkan ada lagi maut menimpamu!”
”Sabar, sabarlah Umar!” kata Abu Bakar setelah ia berada di dekat Umar. ”Dengarkan!”
Setelah mengucapkan puji syukur kepada Tuhan, Abu Bakar berkata: ”Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi, barangsiapa mau menyembah Tuhan, Tuhan hidup selalu tak pernah mati.”
Kemudian, Abu Bakar membacakan firman Allah: ”Muhammad hanyalah seorang rasul. Sebelum dia pun telah banyak rasul-rasul yang sudah lampau. Apabila dia mati atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang? Barangsiapa berbalik ke belakang, ia tidak akan merugikan Tuhan sedikit pun. Dan Tuhan akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imrân [3]: 144)
Umar juga turut mendengarkan tatkala dilihatnya orang banyak pergi ke tempat Abu Bakar. Setelah didengarnya Abu Bakar membacakan ayat itu, Umar langsung jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah ia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat. Adapun orang banyak, yang sebelum itu sudah terpengaruh oleh pendapat Umar, begitu mendengar bunyi ayat yang dibacakan Abu Bakar, baru mereka sadar, seolah mereka tidak pernah mengetahui, bahwa ayat ini pernah turun. Dengan demikian, segala perasaan yang masih ragu-ragu bahwa Muhammad sudah berpulang ke rahmatullah, dapat dihilangkan.
Sudah melampaui bataskah Umar, ketika ia berkeyakinan bahwa Muhammad tidak mati, ketika mengajak orang lain supaya juga yakin seperti dia? Tidak! Para sarjana sekarang mengatakan kepada kita, bahwa matahari akan terus memercik sepanjang abad sebelum tiba waktunya ia habis hilang sama sekali. Akan percayakah orang pada pendapat ini tanpa ia ragukan lagi kemungkinannya? Matahari yang memancarkan sinar dan kehangatan sehingga karenanya alam ini hidup, bagaimana akan habis, bagaimana akan padam sesudah itu kemudian alam ini masih akan tetap ada? Muhammad pun tidak kurang pula dari matahari itu sinarnya, kehangatannya, dan kekuatannya. Seperti matahari yang telah melimpahkan jasa, Muhammad pun telah pula melimpahkan jasa. Seperti halnya dengan matahari yang telah berhubungan dengan alam, jiwa Muhammad pun telah pula berhubungan dengan semesta alam ini, dan selalu sebutan Muhammad SAW mengharumkan alam ini keseluruhannya. Jadi, tidak heran apabila Umar yakin bahwa Muhammad tidak mungkin akan mati. Dan memang benar ia tidak mati, dan tidak akan pernah mati.
Ada sebuah peribahasa yang cukup terkenal, yaitu ”harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan nama.” Peribahasa ini kemudian di praktekkan dengan acara ritual-ritual keagamaan seperti, tahlilan, peringatan 7, 40, dan 100 hari meninggalnya seseorang, dan haul. Ritual-ritual seperti itulah yang akan mengenang dan mengingat kembali jasa-jasanya selama hidup. Jadi, jangan malah menganggap ritual-ritual seperti itu bid’ah dan masuk neraka. Namun, hal ini sangat berbeda dalam rangka memperingati atau mengenang kehidupan antara Rasulullah dan umatnya. Dimanakah letak perbedaannya?
Rasulullah adalah orang yang diutus oleh Allah untuk membimbing kehidupan manusia ke jalan yang diridhai oleh Allah. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa jalan hidup yang akan ditempuhnya telah diatur dan diarahkan oleh Allah. Maka, sudah sepatutnya kalau memperingati Rasulullah adalah dengan mengingat hari lahirnya. Tradisi tahunan dalam memperingati kehidupan Rasulullah ini kita kenal dengan istilah Maulid Nabi, yang kita peringati tiap tanggal 12 Rabiul Awwal, dan juga tanggal tersebut merupakan tanggal wafatnya Rasulullah. Sedangkan, kita sebagai umatnya, berbeda jauh dengan kehidupan beliau. Oleh karenanya, umat Muhammad yang ingin dikenang harus bekerja keras dengan sabar, rajin beribadah, tawakkal, ikhlas, jujur, dan tawadhu’ untuk bisa hidup sesuai dengan apa yang Allah ridlai. Maka, pantaslah kalau kita mengenang jasa-jasa hidupnya itu pada tanggal wafatnya. Peringatan ini kita kenal dengan istilah haul. Singkatnya, kita memperingati sifat-sifat terpuji Nabi di saat hari kelahirannya, yaitu Tradisi Maulid Nabi. Sedangkan umatnya, diperingati pada tanggal kematiannya, yaitu Haul. Namun, haul diperingati untuk orang-orang yang alim saja, seperti kyai dan ulama.
Sudah sewajarnya, kalau kita ingin dikenang orang, khususnya tentang kepribadian baik kita, maka kita harus melakukan kebajikan dengan ikhlas, yang insya Allah dengan begitu, mereka akan mengenang kita selamanya, yaitu dengan mengadakan haul di hari kematiannya. Dan janganlah merasa psimis ketika di masa muda melakukan kejahatan, yang akibatnya, masyarakat tidak akan mengenang, malah membenci dan mengucilkannya. Tapi, percayalah hidayah Allah akan datang kapan saja dan dimana saja atas kehendak-Nya.
Marilah kita berdoa agar kita termasuk golongan orang-orang yang shalih dan shalihah yang mendapatkan husnul khatimah di akhir hayat kita. Amin.















Ikhlas

Ikhlas, apakah itu?
Kebanyakan kita mendefinisikan ikhlas yaitu memberikan sesuatu dengan tulus hati dan tidak mengharapkan imbalan atau iming-iming yang lain. Pemberian itu ditujukan hanya untuk mencapai keridlaan dari Allah semata. Ikhlas juga merupakan kualitas moral yang dengannya seseorang tidak mudah tergoda, bahkan oleh syetan sekalipun. Dalam Al-Qur’an, menyatakan bahwa, “Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, maka aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Al-Hijr [15]: 39-40)
Dari ayat di atas jelas sekali bahwa iblis tidak bisa menembus pertahanan orang muslim yang ikhlas. Kepasrahan dan ketundukannya hanya untuk Allah saja baik dalam kehidupannya sehari-hari bersama masyarakat, keluarga, maupun dalam kesendirian.
Bukankah selayaknya kita sebagai makhluk ciptaan Allah harus beribadah? Lalu dengan apa ibadah itu harus dilakukan?
Seluruh tugas manusia adalah ibadah, dan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas berarti murni, tidak bercampur dengan sesuatu yang lain. Al-Qur’an menegaskan, “Mereka diperintah hanya untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5). Dengan begitu, setiap pekerjaan haruslah didasarkan pada keikhlasan, dalam arti semata-mata dimaksudkan untuk mencari ridla Allah, dan bukan untuk tujuan-tujuan yang lain. Dengan konsep ini, Islam menempatkan ridla Allah sebagai tujuan, sedangkan yang lain ditempatkan sebagai sarana, bukan tujuan. Jabatan, upah, dan gaji bukanlah tujuan kerja seorang Muslim, tetapi semuanya itu merupakan sarana yang dengan itu dia dapat bekerja sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah.
Jika Allah merupakan tujuan kerja seorang Muslim, maka loyalitas dan komitmennya pun hanya kepada Allah, bukan kepada instansi atau atasannya. Dia bekerja karena Allah, yang memang memerintahkan untuk bekerja, dan bukan karena kontraknya dengan instansi. Kontrak kerja ditempatkan sebagai aturan-aturan teknis yang dengan itu dia dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan prinsip ini, bekerja dengan cara yang tidak dibenarkan agama, terlarang baginya, sekalipun instansi atau pimpinannya membolehkan. Karena itu, bekerja memiliki nilai-nilai kesucian sejak dari niat hingga cara-cara yang digunakan. Ketaatan kepada setiap manusia, hanya dibenarkan sepanjang hal itu tidak melanggar atau bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW. menegaskan, “Tidak ada ketaatan kepada sesama makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Sang Khaliq.”
Dalam hal ibadah, ikhlas sangat berperan penting atas diterimanya suatu ibadah yang kita jalankan. Karena dengan ikhlas, kita bisa merasakan getaran nikmat yang Allah berikan kepada kita di saat beribadah.
Lawan dari ikhlas yaitu riya atau suka pamer. Kedua sifat ini melekat pada diri muslim. Mereka terkadang tidak menyadari kalau telah melakukan riya. Karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat tipis. Seperti contohnya, kita mau pergi ke masjid untuk menjalankan shalat lima waktu. Niat kita ikhlas menjalankan shalat, namun terkadang dalam hati kita ada sedikit perasaan memamerkan kepada orang di sekitar bahwa ‘saya akan shalat di masjid’, karena mereka jelas melihat pakaian kita dan arah tujuan jalan kita.
Bukan hanya riya saja yang mengiringi sifat ikhlas, tetapi juga sifat sombong dan membanggakan diri. Cobalah kita renungkan sendiri, apakah niat kita beribadah memang ikhlas karena Allah tanpa ada rasa riya dan sombong sedikitpun? Ataukah memang kita sengaja memamerkan kepada orang lain untuk memberikan sebuah dorongan dan motivasi agar mereka rajin beribadah? Wallahu a’lam.
Menerima dan Memberikan Kritik

Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal dua istilah kata yang hampir sama tetapi memiliki pengertian yang berbeda, yaitu kritik dan kritis. Dimana letak perbedaannya?
Secara bahasa, kritik yaitu kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.
Sedangkan kritis yaitu bersifat tidak lekas percaya atau selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan. Sepintas memang terlihat kasar namun setelah kita pelajari itu merupakan sesuatu yang patut ditiru.
Sikap kritis merupakan salah satu ciri Muslim. Ia tidak dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan apapun sebelum dia tahu dasar dari tindakannya itu. Al-Qur’an mengatakan, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (QS. Al-Isra’ [17]: 36). Islam membangun sikap kritis umatnya dengan menegaskan, suatu kebenaran tidak boleh dipaksakan, tetapi didialogkan. Karena itu, kita lihat banyak ayat dan hadits Nabi yang berisi berbagai pertanyaan yang dimaksudkan sebagai wahana dialog untuk mencari kebenaran.
Orang biasanya rajin melancarkan kritik, tetapi tidak tahan menerimanya. Ini menunjukkan bahwa, orang tersebut egois dan sombong. Jika harga dirinya diusik, pasti dia akan mempertahankan diri. Kritik adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk memperbaiki kekeliruan orang lain. Karena menyangkut kekeliruan dan bahkan kelemahan, maka sebagian besar orang, lazimnya, tidak senang jika kelemahannya disebut-sebut.
Enggan menerima kritik adalah sumber bencana. Sebab, dengan adanya kritik seseorang dapat mengetahui kelemahan dirinya yang sering kali tidak dia sadari. Pepatah mengatakan, “Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tetapi semut yang di seberang laut terlihat”. Yang artinya, melihat kekeliruan orang lain memang lebih mudah daripada melihat kesalahan diri sendiri. Karena itu, seorang Muslim sangat membutuhkan sesama Muslim untuk melihat kelemahan dirinya. Dalam kaitan ini, Rasulullah mengatakan, “Seorang Muslim adalah cermin bagi saudaranya.” Karena itu, kritik seharusnya diterima dengan rasa syukur. Sebab, dengan itu, seseorang dapat melihat kelemahan dirinya, dan selanjutnya memperbaikinya. Dengan demikian, kritik sebenarnya merupakan bukti kasih sayang seorang Muslim kepada sesamanya, dan tidak boleh dipandang sebagai tanda benci. Jika kita melihat salah seorang saudara kita mengenakan pakaian yang kurang rapi, lalu kita mengingatkannya, maka ‘kritik’ tersebut merupakan penyelamatan dari aib. Sebab, jika tidak ada yang mengingatkan, barangkali ia akan tetap berpakaian seperti itu, dan itu pasti membuat dirinya dipandang rendah oleh orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, menyampaikan dan menerima kritik sama wajibnya. Rasulullah mengatakan, “Tolonglah saudaramu yang dizalimi dan yang bertindak zalim.” Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami mengerti tentang membantu saudara kami yang dizalimi, tetapi membantu orang yang bertindak zalim bagaimana caranya?” Nabi menjawab, “Cara membantunya adalah dengan mencegah dia melakukan kezaliman itu.”
Salah satu cara mencegah dari perbuatan zalim adalah dengan kritik. Dalam sejarah, ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, ia berkata kepada umat Islam, “Jika saya melakukan tindakan yang sejalan dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah, dukung dan bantulah saya, tetapi jika saya melakukan kesalahan, kritik dan benarkan kesalahan yang telah saya perbuat tersebut.” Sebuah ucapan yang tidak pernah terucap oleh para pemimpin saat ini. Entah karena mereka lupa akan sejarah atau memang sengaja melupakannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah sering meminta koreksi dari para istri dan sahabatnya tentang perbuatannya. Bukankah Allah menjanjikan bahwa Nabi akan terbebas dari kesalahan? Bukankah akhlak Muhammad digambarkan sebagai al-Qur’an yang berjalan? Seorang Rasul yang jelas-jelas terbebas dari salah dan dosa masih meminta dirinya untuk dikritik, apalagi dengan kita, umatnya yang penuh dengan kesalahan dan kemaksiatan?
Kritik bisa dilihat dari dua segi, yaitu segi positif dan segi negatif. Dari segi positif, orang yang dikritik akan berusaha menjadi bijaksana dalam menghadapi si pengkritik. Ia akan berusaha melatih dirinya menjadi orang sabar dan pemaaf. Kesalahannya satu demi satu dihilangkan bahkan sebaliknya, kebaikannya akan bertambah dengan diiringi sifat ikhlas dan tawadhu’. Ada sebuah nasehat yang menarik, “siapapun yang menyiksa, membingungkan, melecehkan atau membuatmu sedih adalah guru untukmu. Bukan karena karena mereka bijaksana, tetapi karena kamu berusaha untuk menjadi bijaksana”. Sedangkan dari segi negatif, kritik bisa menjadi alat adu domba dan sumber petaka ketika kita tidak berlapangdada dalam menerima dan memberikan kritik. Emosi dan amarah bisa timbul karena tidak ada kontrol dalam pengendalian diri.
Kritik juga merupakan salah satu alat untuk mengikis rasa sombong yang bersemayam di dalam hati. Dengan begitu, manusia akan saling menghargai dan toleransi terhadap sesamanya.
Jadi, janganlah kita merasa jengkel dan marah, ketika ada orang yang berusaha mengungkapkan kekurangan kita. Dengan begitu, kita akan merasa hidup dalam kedamaian karena kesalahan kita telah diperbaiki berkat adanya kritikan dari orang lain. Siapapun dia, laki-laki atau perempuan, harus berani mengkritik dan dikritik oleh saudaranya.








































Memaafkan Kesalahan Saudara-saudaranya

Muhammad yang telah dipenuhi hatinya dengan petunjuk Islam, memiliki sifat toleran dengan saudara-saudaranya, dadanya tidak disempitkan dengan iri hati dan dengki. Apabila emosinya bangkit karena ulah saudara-saudaranya, maka dia segera menahan amarahnya agar tidak tertumpahkan dan memaafkan kejahatan saudaranya dengan mudah dan ringan, tanpa merasa berat untuk memaafkannya, dan tanpa merasa direndahkan karena sikapnya. Justru, dengan memaafkan perilaku buruk saudaranya, akan berbuah kecintaan dan kedekatan dengan Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imrân [3]: 134)
Benih-benih kemarahan bila dibiarkan bersemai di dalam hati seseorang, kemudian dia tidak memusnahkannya dan mengiringinya dengan kemaafan, maka akan tumbuh perasaan iri hati, dengki, dan benci. Padahal, itu lebih berbahaya daripada amarah.
Adapun kemarahan yang diredam kemudian diiringi dengan pemberian maaf dan ampunan, maka amarahpun akan sirna dengan sendirinya. Menahan amarah, membersihkan hati dari perasaan dengki, iri, dan benci adalah tingkatan ihsan yang disukai Allah dari kaum muslimin dan muslimat.
Rasulullah bersabda, “Allah tidak menambah seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan, dan tiada orang yang bertawadhu’ karena Allah, melainkan akan ditinggikan derajatnya oleh Allah.” (HR. Muslim)
Kemuliaan dan ketinggian derajat akan dicapai oleh seorang Muslim yang pemaaf dan lapang dada. Karena dia termasuk Muslim yang telah berbuat ihsan. Dia di sisi Allah termasuk Muslim yang dicintai dan dihormati.
Seorang Muslim yang senantiasa berada dalam petunjuk agamanya, senantiasa merasakan ketenangan jiwa, jauh dari perasaan dengki, dan benci kepada siapapun. Karena dia benar-benar mengetahui kedudukan orang yang memiliki jiwa pemaaf, kejernihan, dan kebeningan hati.
Rasulullah bersabda, “Ada tiga macam dosa yang apabila tidak ada pada diri seseorang yang akan diampuni dosa-dosa yang lainnya, yaitu siapa yang mati dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak melakukan sihir atau dia mengikutinya, dan tidak dengki terhadap saudaranya.” (HR. Bukhari)
Dari hadits tersebut, dapatlah kita ambil pelajaran bahwa marah dan dengki adalah sifat yang bisa merusak jiwa dan keimanan kita. Banyak keluarga yang awalnya mesra dan tentram, hancur dikemudian hari gara-gara salah satu diantara mereka tidak bisa menahan amarahnya, dan tidak bisa memaafkan kesalahannya.
Anas bin Malik, salah seorang pembantu Rasulullah, menceritakan bahwa, “Selama menjadi pembantu di keluarga Rasulullah, saya tidak pernah mendengar sekalipun kata-kata kotor dan kasar keluar dari mulut Rasulullah.”
Dari contoh di atas, marilah kita renungkan dan ingat kembali, berapa kali dalam sehari, seminggu, atau sebulan kita berkata kasar kepada saudara, memaafkan segala kesalahannya baik yang disengaja maupun tidak, atau menolong kehidupannya? Lebih besar mana, antara berbuat baik dengan berbuat jahat terhadap saudara?











































Memakmurkan Masjid

Pada perkembangan Islam di Madinah, ada sekelompok sahabat yang tinggal di Masjid Nabawi, mereka dikenal dengan julukan Ahl al-Shuffah. Mereka dihimpun dari kalangan ekonomi lemah, berjumlah sekitar 400 sahabat Muhajirin yang tidak mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian. Pusat kegiatan mereka di pelataran Masjid Nabawi. Salah satu tugas kelompok ini yaitu mendalami agama secara benar. Dalam konteks Islam saat itu, di tingkat implementasi, kegiatan keseharian mereka adalah menerima, mempelajari, mendalami dan memurnikan ayat-ayat Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, mereka juga bertugas memberikan pencerahan kepada sahabat-sahabat di luar komunitas mereka yang tentu mempunyai tingkat kesempatan belajar lebih sempit.
Dari sini timbul pertanyaan, kenapa mereka memusatkan kegiatannya di masjid tidak di tempat lain? Bukankah masjid merupakan tempat ibadah?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita mendefinisikan masjid terlebih dahulu. Masjid adalah rumah Allah yang didirikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang menganut keyakinan dan tradisi keislaman ulama terdahulu. Tempat bersujud dan berdo’a, menyatakan puji syukur kepada Allah menurut keyakinan dan tata cara yang dianut oleh umat Islam. Tempat mengasah kebeningan nurani dan keluhuran budi berdasarkan nilai-nilai luhur dalam kitab suci, sunnah Nabi, serta tradisi ulama-ulama terdahulu yang terpuji (salaf al-shalih). Tempat merajut persaudaraan sejati diantara sesama dengan semangat saling mengasihi, saling mengayomi, dan saling melengkapi. Dan sebagai tempat menyatukan hati, pikiran, dan langkah untuk men-takmir-kan bumi Allah bagi kemaslahatan Indonesia dan alam semesta.
Amanah kekhalifahan manusia di muka bumi adalah amanah untuk memakmurkannya bagi kemaslahatan segenap makhluk dunia. Bekal utama kekhalifahannya adalah iman dan ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada di dunia. Yang termaktub dalam Firman Allah, “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau’. Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. (QS. al-Baqarah [2]: 30)
Dalam al-Qur’an, ada dua perintah men-takmir-kan. Pertama, perintah men-takmir-kan masjid (QS. at-Taubah [9]: 18), dan yang kedua men-takmir­-kan bumi (QS. Hûd [11]: 16). Dengan demikian, jelas bahwa memakmurkan masjid dan bumi harus saling berhubungan dan tidak terpisahkan; memakmurkan masjid haruslah menjadi pangkalan hati bagi umat Islam untuk memakmurkan bumi Allah bagi kemaslahatan dan kerahmatan segenap umat manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan keseluruhan semesta kini dan seterusnya. Lawan dari men-takmir-kan adalah merusak yang menjadi watak dari manusia yang dikutuk Allah seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya, “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka jahannam).” (QS. al-Ra’d [13]: 25)
Dengan begitu, masjid menjadi pusat gerakan keshalihan sosial untuk pemberdayaan masyarakat dan pembangunan pedesaan. Dengan cara menyelenggarakan dan mengelola pendidikan dasar, baik formal, informal, maupun non-formal, seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) atau Madrasah Ibtidaiyah dan lembaga-lembaga kursus yang dibutuhkan jamaah. Membentuk wadah remaja masjid sebagai garda depan aksi-aksi layanan sosial jamaah. Memiliki seni budaya keagamaan, seperti shalawatan, barzanji, hadrah, kaligrafi, pencak silat, dll. Membentuk majlis mudzakarah keagamaan secara berkala untuk memberikan penyuluhan masalah-masalah sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dll. Mengembangkan kelompok simpan pinjam yang diikuti oleh segenap anggota sebagai embrio lembaga permodalan dan usaha ekonomi jamaah. Mengembangkan unit-unit pelayanan sosial dalam bidang keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan, dan kelestarian lingkungan. Mampu menggerakkan aksi-aksi penyantunan sosial kepada fakir miskin, yatim piatu, anak-anak terlantar di sekitarnya. Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Baitul Mal Wattamwil (BMT). Memiliki unit-unit usaha produktif, perdagangan, atau jasa, baik dijalankan oleh masjid maupun bekerjasama dengan unit-unit usaha yang dijalankan oleh jamaah atau pihak lain. Memiliki perpustakaan dan pusat pelayanan informasi yang dibutuhkan bagi pengembangan pengetahuan dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini, anggapan bahwa keshalihan harus dicapai dengan meninggalkan segala yang bersifat atau berbau duniawi tidaklah tepat. Umat Islam terpuruk diantara umat-umat yang lain adalah karena pandangan yang menistakan dunia. Maka perlu direnungkan ajaran berikut: “Bukan yang terbaik diantara kalian orang yang meniggalkan dunia dengan dalih mengejar akhirat, bukan pula sebaliknya mengejar akhirat dengan meninggalkan dunia. Yang terbaik adalah yang mengambil keduanya. Dikatakan oleh Nabi, bahwa sebaik-baik pemberian adalah dunia, maka kejarlah untuk mengantarkan kalian meraih kebahagiaan akhirat. Diceritakan, seseorang mencela dunia di depan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Kemudian dikatakannya: ‘Dunia adalah negeri kebaikan bagi yang mengerti kebaikannya, dunia adalah negeri keselamatan bagi yang memahaminya, dan negeri kekayaan bagi yang berbekal dengannya (untuk akhirat)… Diceritakan oleh Muqatil, bahwa Nabi Ibrahim AS. pernah bertanya kepada Tuhan, ‘Sampai kapankah aku harus mencari-cari dunia?’ Dijawab-Nya, ‘Bertahanlah, bukan disebut mencari dunia kalau sekedar untuk mencari kecukupan hidup’. Sementara ahli bijak berkata, ‘Tidak termasuk cinta dunia kalau sekedar mencari penghasilan untuk melindungi hidup bermartabat di dalamnya’. Raja ahli makrifat, Sufyan al-Tsaury berkata bahwa termaktub dalam Taurat, Barangsiapa yang sudah punya gandum, beribadahlah; sementara yang belum, carilah. Wahai manusia, gerakkanlah tanganmu, ia akan mendatangkan rezekimu!” (al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din)
Allah berfirman, “Dan carilah negeri akhirat dalam apa-apa yang Allah anugerahkan kepadamu, dan janganlah abaikan bagian duniawimu (untuk keperluan hidupmu)”. (QS. al-Qashash [28]: 77) “Diantara mereka berkata (doa), Ya Tuhan berikanlah kepada kami kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka. Bagi mereka bagian dari apa yang mereka perbuat; sungguh Allah Maha Cepat hitungannya”. (QS. al-Baqarah [2]: 101-102)
Jadi, masjid bukan hanya tempat ibadah (mahdlah) belaka, tapi juga pusat peradaban untuk kemaslahatan dan kemartabatan umat secara menyeluruh, baik sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, maupun keamanannya. Sehingga tercapailah kebahagiaan dunia dan akhirat secara seimbang. “Tidak kami ciptakan langit dan bumi serta segala apa yang ada diantaranya percuma”. (QS. Shâd [38]: 27) “Dan tidak kami ciptakan langit-langit dan bumi untuk main-main”. (QS. al-Dukhân [44]: 38) “Dialah yang menciptakan untuk kalian (manusia) segala apa yang ada di bumi, semuanya…” (QS. al-Baqarah [2]: 29). Bukankah ini semua sudah dipraktekkan semenjak Rasulullah masih hidup dengan adanya Ahl al-Shuffah, tapi kenapa saat ini tidak dipraktekkan kembali? Apakah karena banyak generasi yang mulai enggan menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan? Namun, sebaliknya banyak masjid yang dijadikan sebagai tempat melepas lelah setelah seharian bekerja. Hembusan sejuk angin membawa kita terbuai dalam tidur dengan mimpi indah, yang seolah-olah masa depan itu sudah tidak ada lagi.
Di Indonesia, ada banyak masjid, baik milik perseorangan, kelompok aliran tertentu, hasil gotong royong masyarakat setempat, maupun pemerintah. Namun, untuk masjid komunitas, seperti juga masjid Nahdliyyin, memiliki hak penuh untuk mengatur dan menjalankan peribadatan sesuai keyakinannya dan kegiatan sosial keagamaan menurut kemaslahatan masing-masing. Pemerintah sebagai penjaga kemaslahatan publik wajib menjamin hak masing-masing kelompok keyakinan, baik dalam lingkup masjid publik maupun masjid komunitas, untuk tidak melanggar dan tidak dilanggar oleh kepentingan kelompok lain. Menjarah atau merusak masjid aliran tertentu untuk dikuasai dan dipakai kegiatan ibadah menurut tata caranya sendiri, yang berbeda dengan yang dianut oleh pewakaf dan masyarakat pendiri, adalah kejahatan keagamaan dan sekaligus perampasan hak kelompok yang harus ditindak tegas secara hukum. Karena kita adalah manusia yang masih mencari dan membutuhkan petunjuk kebenaran dari Allah melalui penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.







Membuat Undang-undang

Dalam sebuah organisasi, lembaga, maupun negara pasti memiliki suatu peraturan yang berfungsi untuk mengatur kegiatan para anggotanya. Dengan adanya peraturan, mereka merasa nyaman dan tentram dalam menjalankan tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Peraturan ini memiliki istilah yang berbeda-beda, misalnya dalam organisasi, lembaga, atau partai dikenal dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), pada negara ada Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Provinsi, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kabupaten atau Kotamadya. Semua itu memiliki wilayah hukumnya masing-masing.
Di masa Nabi setelah hijrah ke Madinah, beliau menemukan tanah yang subur bagi pembinaan umatnya, dan ketika kedudukan beliau dan kaum Muslimin semakin kuat, maka beliaupun membuat sebuah konstitusi yang mengatur berbagai hak dan kewajiban penduduk Madinah. Konstitusi yang dibuat oleh Nabi dikenal dengan nama ‘Piagam Madinah’. Piagam ini berisi 47 pasal yang memperlihatkan betapa aneka ragamnya penduduk Madinah. Menurut para sejarahwan, konstitusi yang disusun oleh Nabi ditaati bukan hanya oleh umat Islam saja tetapi juga non-Muslim. Sebab, mereka bisa menjalankan keyakinannya sejajar dengan umat Islam tanpa ada satupun perbedaan karena konstitusi itu tidak mengistimewakan umat Islam atau menyepelekan non-Muslim. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah bukan hanya pemimpin bagi umat Islam tetapi juga pelindung dan pengayom non-Muslim, tak terkecuali orang munafik dan murtad.
Dengan peraturan ini, kota Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah seperti sebuah negara. Yang tidak hanya mengatur tata cara ibadah saja, namun juga mengatur hak dan kewajibannya sebagai warga negara, seperti membela negara, serta menentukan batas wilayah dan pemimpinnya.
Menurut Nurcholis Madjid, Piagam Madinah yang disusun oleh Nabi sangat mirip dengan UUD 1945. Kenapa dan dimana letak persamaannya? Ada beberapa persamaan diantara keduanya, antara lain: pertama, Madinah pada saat itu memiliki berbagai macam suku dan keyakinan, yang sama dengan bangsa Indonesia yang memiliki 400 suku dan dengan berbagai macam kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi. Yang kedua, Piagam Madinah disusun oleh mayoritas umat Islam tetapi isinya tidak mengistimewakan umat Islam maupun mengucilkan non-Muslim, sama halnya dengan UUD 1945 yang dirumuskan oleh sebuah panitia yang kebanyakan memeluk Islam. Atas dasar inilah, Nurcholis mengemukakan istilah ‘masyarakat madani’ yaitu suatu masyarakat yang bercirikan relijius, plural (majemuk), demokratis, terbuka, dan sejahtera.
Ini diperkuat dengan dasar negara kita yaitu Pancasila. Kenapa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, namun dasar negaranya bukan Al-Qur’an atau Hadits Rasul? Apakah keduanya tidak cocok diterapkan di Indonesia?
Untuk pertama kalinya, ada dua organisasi Islam di Indonesia yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam bernegara, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama menerima pancasila sebagai asas tunggal dalam organisasinya, dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 yang berlangsung pada tanggal 8-12 Desember 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah, Sukorejo, Situbondo. Sedangkan Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai asas tunggal setelah keluarnya UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Adapun dasar-dasar pemikirannya, antara lain: Pertama, konsep fitrah. Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh masyarakat bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku, bahasa, maupun tradisi dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut. Kedua, konsep ketuhanan. Konsep ini menjadi perdebatan yang sengit sejak awal dirumuskannya Pancasila hingga saat ini. KH. Ahmad Siddiq mengatakan bahwa, “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan tauhid. Dan adanya pencantuman anak kalimat ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ pada pembukaan UUD 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.” Ketiga, pemahaman sejarah. Perjuangan umat Islam dalam mengusir penjajah, mempertahankan kemerdekaan, serta mengisi kemerdekaan merupakan bentuk kewajiban Muslim dalam membela bangsa dan negara.
Dengan dasar-dasar seperti itulah, umat Islam Indonesia sepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila adalah final dan tidak bisa diganti dengan dasar apapun, karena itu sudah mewakili kepribadian bangsa dari Sabang sampai Merauke.

















Meminta Izin Ketika Memasuki Rumah Orang Lain

Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk bertindak sopan ketika berada di rumah orang lain. Hal ini merupakan etika Islam dalam pergaulan. Salah satunya yaitu dengan meminta izin ketika bertamu di rumah orang. Dalam meminta izin, ada adab-adab yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin, dan Islam memerintahkan mereka untuk menghiasi diri dengan adab-adab tersebut, ketika kaki telah terayunkan untuk berkunjung ke rumah saudaranya.
Pertama, tidak boleh berdiri di depan pintu, tetapi boleh di sebelah kanan atau kiri pintu. Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr, sahabat Nabi menuturkan, “Sesungguhnya Rasulullah bila berkunjung ke rumah seseorang, maka beliau tidak berdiri di depan pintu rumah, tetapi beliau datang dan berdiri di samping kanan atau kiri pintu. Jika beliau diizinkan maka beliau akan masuk, dan jika tidak, maka beliau segera kembali pulang.” Yang demikian itu karena meminta izin disyariatkan untuk menjaga pandangan, sebagaimana hadits Rasulullah, “Sesungguhnya disyariatkannya meminta izin adalah untuk menjaga pandangan.”
Kedua, mengucapkan salam dan meminta izin. Tidak boleh kita meminta izin kepada penghuni sebelum mengucapkan salam. Sesuai dengan hadits dari Rib’i bin Hirasy, ia berkata,“Seorang laki-laki dari Bani Amir kepada kami bahwa ia pernah meminta izin kepada Nabi ketika beliau sedang berada di salah satu rumah istrinya. Ia berkata, ‘apakah saya diizinkan masuk?’ lalu Rasulullah memerintahkan pelayannya. ‘Temuilah dia dan ajarkan kepadanya adab-adab Islam dalam meminta izin’. Katakanlah kepadanya, ‘ucapkanlah Assalamu’alaikum, apakah saya diizinkan masuk?’ laki-laki itu mendengar ajaran Nabi, lalu ia mengucapkan ‘Assalamu’alaikum, apakah saya diizinkan masuk?’ kemudian Nabi mengizinkannya untuk masuk.”
Ketiga, menyebutkan nama yang sudah dikenal atau panggilannya. Jika ditanyakan kepad seorang tamu, ‘Anda siapa?’ maka ia tidak boleh menjawab dengan kata-kata yang rancu, seperti ‘saya’. Karena Nabi tidak menyukai jawaban tamu semacam itu, yang tidak menjelaskan identitas dirinya. Tetapi Rasulullah memerintahkan kepada tamu untuk menyebutkan identitas diri (nama atau panggilan) ketika ditanya oleh penghuni rumah.
Keempat, bila tidak mendapat izin, maka hendaknya orang yang meminta izin kembali pulang, tanpa menyimpan perasaan kesal kepada si penghuni rumah. Allah berfirman, “Dan jika dikatakan kepadamu ‘kembali sajalah’, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nûr: 28)
Begitu santunnya Islam mengajarkan etika dalam bertamu. Sehingga kita bisa saling menjaga hak-hak orang lain. Namun, terkadang sifat jahat timbul secara tiba-tiba ketika melihat kondisi rumah yang kosong, tanpa penghuni. Disitulah letak perseteruan antara keyakinan bahwa Allah melihat segala tindakan kita dengan kesempatan yang sangat mendukung. Yang pada akhirnya, kitalah yang harus memutuskan, apakah kita mencuri atau tidak?

Menawarkan Solusi Alternatif yang Benar

Sebagaimana manusia biasa, kita mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang kita hadapi. Kemudian bagaimanakah cara menyelesaikannya? Ada yang akan membincangkan tentang persoalan yang sedang di hadapinya dengan kedua orang tua, sahabat, tetangga, dan suami atau istrinya. Tapi terkadang, jawaban yang mereka berikan tidak bisa memberikan penyelesaian atas permasalahan yang sedang dihadapi. Lalu siapakah yang salah? Dan bagaimanakah cara penyelesaiannya?
Manusia merupakan makhluk sosial, dalam arti, kita butuh pertolongan orang lain, atau singkatnya kita tidak bisa hidup sendirian. Untuk itu, Rasulullah memberikan pelajaran kepada umatnya agar mereka memberikan solusi alternatif yang benar, tidak mengada-ada, dibuat-buat, dan yang terpenting sesuai dengan aturan dan norma-norma dalam Islam dan masyarakat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri. Ia berkata, “Bilal datang menemui Rasulullah dengan membawa kurma Barni. Nabi bertanya, ‘Darimana kamu dapatkan kuma ini?’ Bilal menjawab, ‘Awalnya, kami punya kurma yang berkualitas jelek, lalu aku tukar dua sha’ kurma tersebut dengan satu sha’ kurma Barni ini. Mendengar penjelasan Bilal tersebut, Rasulullah berkata, Itu adalah Riba. Jangan kau lakukan itu. Jika kamu ingin membelinya, maka juallah kurmamu dengan barang lain. Lalu belilah jenis kurma yang kamu sukai.”
Pada kenyataan saat ini, sebagian orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar memiliki kekurangan yang sangat jelas dalam dakwah mereka, terutama ketika berusaha mengatasi berbagai kekeliruan masyarakat, yakni mereka hanya bisa menyalahkan dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut haram dan tercela, tanpa memberikan solusi alternatif, atau menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang berbuat kesalahan tersebut.
Padahal jelas sekali, bahwa syari’at selalu memberi solusi yang dapat menggantikan perkara yang diharamkan. Ketika syaria’t mengharamkan zina, maka menghalalkan nikah. Ketika mengharamkan riba, maka syari’at membolehkan jual beli. Syariat menghalalkan daging dari hewan ternak yang disembelih, sebagai pengganti dari keharaman daging babi, bangkai, dan hewan yang bertaring dan bercakar.
Selain itu juga, seseorang yang terlanjur melakukan perbuatan yang haram, maka syari’at memberi jalan keluar baginya berupa taubat dan denda (kaffarat), sebagaimana dijelaskan dalam teks-teks yang menerangkan kaffarat. Oleh sebab itu, setiap orang harus memberikan solusi alternatif bagi permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang lain sesuai dengan kadar kesanggupannya, bukan sekedar disalahkan apalagi dibentak-bentak tanpa penyelesaian yang jelas.
Berkaitan dengan hal ini, bahwa persoalan memberi solusi alternatif mesti dilakukan sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan. Ada kalanya, muncul kesalahan yang harus diingkari, tetapi dalam kenyataannnya tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikannya. Ini dapat terjadi karena memang kondisi umum yang rusak dan masyarakat jauh dari ajaran agama, atau karena pada saat mengingkarinya, seseorang lupa atau tidak tahu solusi lain yang dapat menggantikannya. Dalam kondisi seperti ini, seseorang harus tetap mengingkari dan meluruskan kesalahan, meskipun tidak memiliki alternatif jalan keluarnya.
Ketika sudah bertanya kesana-kemari tentang persoalan, namun tidak ada penyelesaian yang cocok dan sesuai, maka kita harus menggunakan akal dan ilmu yang kita miliki untuk membantu meringankan beban yang dipikul yang masih dalam rel ajaran Islam. Disitulah letak akan pentingnya suatu ilmu. Dengan begitu, kita bisa menyelesaikan permasalahan sendiri dan juga bisa meringankan permasalahan orang lain.

































Mencintai Ilmu Pengetahuan

Al-Qur’an diturunkan ke muka bumi sebagai penuntun jalan bagi kehidupan manusia. Kemudian timbul pertanyaan, dengan cara apa kita bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidup kita?
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Al-Qur’an itu diam, kitalah yang menafsirkan dan menghidupkannya.”
Pernyataan di atas singkat, namun mengandung makna yang mendalam. Mayoritas ulama mengartikan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril, yang dianggap ibadah ketika membacanya, yang dimulai dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs.
Allah menurunkan ayat-Nya yang pertama kali yaitu, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq [96]: 1-5).
Ayat inilah yang membuka tabir bahwa kita harus banyak membaca, baik itu membaca buku, membaca pikiran orang lain, maupun membaca manfaat penciptaan alam semesta. Dengan membaca, kita bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Bisa dijadikan sumber yang menyirami akal dengan ilmu pengetahuan dan mensuplai makanan yang mengantarkan pada keterbukaan pikiran, kedewasaan, pengembangan diri, dan kesuksesan. Juga mengisi akalnya dengan pengetahuan baru yang dicetuskan oleh para ulama, cendikiawan, sastrawan, dan ilmuwan yang terkait dengan kajian pemikiran, sosial, sastra, dan intelektual yang akan meluaskan cakrawala berfikir dan mengembangkan intelektual serta mengembangkan khazanah keilmuan.
Perintah dalam Islam lazimnya mengandung hukum wajib. Apalagi diulang dua kali. Perintah inilah yang membuat para sahabat giat mencari ilmu. Karena itu, Rasulullah menyediakan fasilitas bagi mereka yang menuntut ilmu. Dengan menyediakan majlis-majlis Ilmu dengan gurunya. Karena begitu pentingnya ilmu, Rasulullah bersabda, “Tuntutlah ilmu sejak dari buian ibu hingga ke liang lahat.” Hadits ini merupakan konsep dasar pendidikan seumur hidup yang dikembangkan oleh pendidikan modern. Dan juga pernyatan beliau, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.” Hadits ini merupakan konsep dasar bahwa mencari ilmu pengetahuan tidak mengenal batas ruang dan waktu.
Dengan begitu, pantaslah kalau manusia dengan akal dan ilmu pengetahuannya, ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi. Namun, sebelum manusia diciptakan, para malaikat protes. Para malaikat menganggap bahwa penciptaan manusia sia-sia saja, bahkan dianggap sebagai penghancur dunia. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”(QS. al-Baqarah [2]: 30-34)
Bagaimana kita mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut?
Ilmu pengetahuan didapatkan melalui pendidikan. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana, dan terarah. Dengan pendidikan, kita bisa menjadi diri sendiri sesuai dengan keinginan hati yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki.
Di Indonesia, lembaga pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu lembaga pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Pendidikan formal seperti; SD, MI, SMP, MTs, SMU, MA, SMK, dan perguruan tinggi atau universitas. Sedangkan pendidikan non-formal seperti; lembaga kursus dan pusat pelatihan. Keduanya sangat bermanfaat bagi kita untuk mencari ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan apapun wajib kita kembangkan dan amalkan selagi tidak menyalahi aturan-aturan Islam. Apapun spesialisasi ilmunya, baik itu psikologi, kimia, geografi, agama, atau yang lainnya, harus ditekuni, dimantapkan, dan diterapkan secara sungguh-sungguh dan profesional, sebagai realisasi dari hadits, “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang diantara kamu yang melaksanakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara istiqamah dan profesional.”
Rasulullah berkata, “Orang yang beriman adalah orang yang percaya kepada Allah, malaikat, kitab, rasul Allah, dan hari pembalasan; menghabiskan hidup bersama ilmu pengetahuan, kesehatan, kearifan hidup, dan kekayaan; membicarakan kebenaran, dan menghindari perkataan kotor dan bohong, adil dalam kesepakatan; menghargai dan menghormati orang tua dan tetangga; berbuat baik kepada istri, anak, tamu, fakir miskin, dan yatim piatu. Melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan; mendirikan shalat, membelanjakan harta dengan benar, berpuasa dan berhaji; mencintai manusia karena Allah; tidak merampas hak orang lain dan berguna bagi manusia.” (HR. Bukhari-Muslim)
Inilah yang mengajarkan kita bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam. Disamping itu, mengajarkan kepada kita agar tidak hidup dalam kebodohan dan keterbelakangan. Karena semua itu tidak diajarkan dan diperintahkan dalam Islam. Hal ini sesuai dengan sifat wajib rasul yaitu fathonah, yang berarti cerdas atau pandai.
Banyak ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang yang berfikirlah yang bisa memanfaatkan dunia beserta isinya dengan sebaik-baiknya. “Allah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. al-Jâtsiyah [45]: 13)
“ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka meperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shâd [38]: 29)
Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di dunia, maka hendaklah dicapai dengan ilmu. Barang siapa yang menghendaki kebahagiaan hidup di akhirat, maka hendaklah dicapai dengan ilmu. Dan barang siapa menghendaki kebahagiaan keduanya (dunia dan akhirat), maka hendaklah dicapai dengan ilmu. (HR. Thabrani)
Maka, berbanggalah kita sebagai manusia yang diberi akal untuk dimanfaatkan kepada hal-hal yang positif. Bukan untuk menyengsarakan dan membunuh kehidupan orang lain. Mari kita buktikan, kalau kita bukan makhluk yang menghancurkan bumi yang dipertanyakan oleh malaikat sebelum Allah menciptakan manusia. Jangan salah, dengan ilmu dan akal, kita bisa berada di posisi yang tertinggi maupun di posisi yang terendah, tergantung kita memanfaatkan potensi akal tersebut.
























Menciptakan Ukhuwah Islamiyah

Kata ‘ukhuwah’ berasal dari bahasa Arab, bentuk abstrak dari kata ‘akhun’. Struktur katanya sama dengan kalimat ‘bunuwwah ‘ dari kata ‘ibnun’ yang artinya ‘anak laki-laki’. ‘Akhun’ bisa berarti ‘saudara’, bentuk jamaknya ‘ikhwah’, dapat pula diartikan ‘kawan’, bentuk jamaknya ‘khwan’. Jadi, kata ‘ukhuwah’ menurut bahasa yaitu kesaudaraan, persaudaraan, kekawanan, atau perkawanan.
Dengan demikian, ukhuwah Islamiyah yaitu hubungan persaudaraan atau perkawanan antar sesama umat Islam. Ukhuwah Islamiyah yang dimaksud, seperti lazimnya persaudaraan antar anggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tertentu mengandung nilai-nilai pengikat khusus, baik yang disepakati bersama, yang tumbuh dari keyakinan yang menerima apa adanya tanpa kritik, maupun yang timbul secara naluriah atau fitrah. Tetapi meskipun ada pengikat yang amat kuat dan melekat sekalipun, tidak berarti tanpa perbedaan. Sebagai umat, masing-masing mempunyai ciri, watak, latar belakang kehidupan, dan wawasan yang satu sama lain berbeda. Unsur pondasi yang mengikat ukhuwah Islamiyah yaitu keimanan akan keesaan Allah dan kebenaran terhadap wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sejarah Islam, ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Kaum Muhajirin adalah orang-orang yang hijrah ke Madinah dengan meninggalkan harta, pekerjaan, keluarga, dan sanak saudara. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan perlindungan, tempat tinggal, pekerjaan, dan keluarga di tempat yang baru. Sedangkan kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah yang membantu kaum Muhajirin selama di Madinah. Kaum Muhajirin, selama di Madinah, menemukan saudara-saudara yang seiman, sehingga apa yang hilang dari diri mereka dapat diperoleh kembali. Kaum Anshar memberi tempat tinggal dan kebutuhan hidup bagi kaum Muhajirin. Mereka membagi rumah menjadi dua, memisahkan sebagian kekayaan kepada saudara-saudaranya, bahkan menceraikan istrinya untuk dinikahkan kepada kaum Muhajirin.
Ikatan persaudaraan dalam agama ini, telah melahirkan manusia-manusia yang mencintai saudara-saudara Muslimnya seperti mencintai diri sendiri. Begitu pula sebaliknya, penderitaan mereka adalah bagian dari penderitaan kita juga. Rasulullah berkata, “Perumpamaan kaum Muslim dalam kasih sayang mereka, seperti satu tubuh yang jika ada salah satu anggotanya yang sakit, maka seluruh anggota tubuh itu ikut merasakan sakitnya, dengan demam dan tidak bisa tidur.”
Bahkahn dalam sebuah hadits, Rasulullah berkata, “Barangsiapa yang tidur semalaman dengan perut kenyang, sedang tetangganya sedang kelaparan, maka dia bukan termasuk golongan kami.” Ini mengandung pengertian bahwa Rasulullah menekankan pentingnya menciptakan ukhuwah Islamiyah diantara umatnya hingga akhir zaman.
Kesediaan membantu dan mendahulukan kepentingan orang lain, merupakan ciri para sahabat Rasulullah, yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. ” (QS. al-Hasyr [59]: 9)
Selintas kita berfikir bahwa, di masa Rasulullah tidak banyak perbedaan sehingga persaudaraan itu mudah untuk dipraktekkan, tidak seperti masa sekarang ini. Pernyataan ini dibantah oleh firman Allah, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya yaitu menciptakan langit dan bum, dan berlain-lainan bahasa dan warna kulit. Sesungguhnya pada yang demikian itu benra-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. ar-Rûm [30]: 22)
Untuk itu, upaya mewujudkan kemaslahatan secara konkret merupakan partisipasi nyata dalam pembangunan manusia seutuhnya. Dengan menginginkan kemajuan, menghilangkan keterbelakangan, mengurangi kemiskinan, baik miskin materi, ilmu, moral, maupun iman, serta mengikis kebodohan. Ukhuwah yang menumbuhkan sikap saling melengkapi kekurangan dengan dasar ikhlas dan saling pengertian demi kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan. Tentu saja dalam posisinya masing-masing sesuai dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.






















Menepati Janji

Kata janji sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tapi apakah arti kata janji itu?
Janji adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat, seperti hendak memberi, menolong, datang, atau bertemu; persetujuan antara dua pihak, yang masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; atau syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi.
Dilihat dari definisi di atas, janji merupakan sesuatu yang harus dipenuhi. Karenanya, menepati janji merupakan akhlak yang terpuji. Menepati janji merupakan budi pekerti yang terpuji yang menunjukkan kemuliaan seorang Muslim dan kunci suksesnya dalam kehidupan serta modal kecintaan, penghormatan dan penghargaan manusia terhadapnya.
Menepati janji bagi seseorang bukan hanya sekedar perhiasan sosial, yang menjadi kebanggaan di depan sahabat karib, orang tua, maupun kerabatnya. Namun juga merupakan akhlak dasar Islam yang menrupakan parameter kelurusan iman dan kejujuran Islam.
Maka pantaslah kalau Allah menekankan kepada hambanya agar memenuhi segala janji yang telah dibuatnya. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu” (QS. al-Mâidah [5]: 1); “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya” (QS. al-Isrâ [17]: 34); dan “Jika kamu khawatir akan (terjadinya) penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat” (QS. al-Anfâl [8]: 58)
Diperkuat dengan sebauah hadits, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia tidak menepati, dan apabila dipercaya ia khianat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam sebuah kisah, Rasulullah pernah di titipi sesuatu dari seseorang dan akan diambilnya pada sore hari, namun orang tersebut lupa mengambilnya hingga baru ingat tiga hari sesudahnya. Ketika orang tersebut ingat akan sesuatu yang dititipkan kepada Rasulullah, langsung saja ia menemui Rasulullah yang selama dia pergi tidak beranjak dari tempat itu. Laki-laki itu berkata, “Sungguh mulai akhlakmu!”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Saya tidak berani melanggar kesepakatan yang telah kita buat.” Tak berapa lama kemudian, laki-laki itupun meninggalkan Rasulullah sambil membawa barang yang telah dititipkannya kepada Rasulullah selama tiga hari itu.
Cerita ini hampir mirip dengan kisah Sunan Kalijaga, yang harus menunggu selama berminggu-minggu untuk menjaga tongkat dari Sunan Ampel yang ditancapkan di tepi sungai.
Dari kedua kisah di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya untuk menepati suatu janji yang telah disepakati. Coba kita rasakan, jika ada seorang teman yang tidak menepati janji yang telah disepakati. Bagaimanakah perasaannya? Bertingkah negatif, seperti jengkel, dongkol, kesel, dan menggerutu atau berfikiran positif, seperti mungkin lupa, terlambat, dan macet di jalan. Sikap seperti itu dimiliki oleh setiap manusia.
Oleh karenanya, janganlah kita gampang mengobral janji kalau menurut prediksi tidak mungkin untuk ditepati.
Diantara akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah yang jujur dan sifatnya yang luhur adalah menepati janji yang merupakan mitra kejujuran, dan buah yang dihasilkan darinya. Menepati janji merupakan budi pekerti terpuji, yang menunjukkan kemuliaan wanita dan kunci suksesnya dalam kehidupan serta modal kecintaan, penghormatan dan penghargaan manusia terhadapnya.
Bagi umat Islam, menepati janji bukan hanya sekedar perhiasan sosial, yang menjadi kebanggaannya di hadapan orang lain. Akan tetapi, ia merupakan akhlak dasar Islam, yang merupakan parameter kelurusan iman dan kejujuran Islam.
Itulah perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, agar mereka menepati janji dan kewajiban dalam menerapkannya dalam kehidupan nyata. Tidak ada alasan untuk mengingkari dan menghindar darinya. Tidak pantas bagi kaum muslimin dan muslimat ketika telah membuat suatu perjanjian, kemudian mereka mengingkarinya. Akan tetapi, wajib bagi mereka untuk menepatinya.
Kebaikan Islam dari umatnya tidak hanya sekedar menjalankan kewajiban ibadah saja, tetapi juga pada ketundukan jiwanya dengan ajaran-ajaran Islam dan akhlak terpuji serta nilai-nilainya yang luhur. Dimana tidak ada yang bersumber darinya kecuali ridla Allah. Dia tidak pernah mengingkari janji, tidak curang dalam bergaul, dan tidak pernah pula mengkhianati janji-janjinya dalam kehidupan.
Itulah muslim yang telah terwarnai ajaran agama yang hanif ini dan merealisasikan petunjuknya yang lurus. Yang demikian itu karena perilaku di atas dari ingkar janji, curang dan yang bertentangan dengan akhlak Islam dan kaum muslimin. Tiada yang memilikinya kecuali orang-orang munafik.
Hendaklah seorang muslim yang suka ingkar janji, mengetahui bahwa dirinya telah membangun sebuah dinding pemisah dan telah memposisikan dirinya dalam barisan orang-orang munafik. Sedangkan kita telah tahu bahwa balasan bagi orang-orang munafik adalah tempat yang terendah di neraka.












Mengajak Kepada Kebenaran

Islam adalah agama yang mengajak kepada kebenaran. Sejak Allah mewahyukan Islam kepada Muhammad, Allah sengaja mengajak kembali kepada hamba-Nya agar mengingat akan keesaan Allah. Islam lahir sebagai agama penutup dan Muhammad merupakan Nabi terakhir. Sesuai dengan firman Allah, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 40) dan “Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Mâidah [5]: 48). Dari kedua ayat tersebut, jelaslah bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang terkumpul dalam Al-Qur’an meyeru kepada kebenaran.
Dari situ maka timbul pertanyaan, bagaimanakah kebenaran itu? Lalu siapa yang berhak menentukan kebenaran?
Kata ‘Kebenaran’ merupakan bentuk dasar dari kata ‘benar’, yang artinya tidak salah atau sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Dari situlah, kita bisa menarik kesimpulan bahwa kebenaran adalah tindakan yang tidak menyalahi ketentuan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Istilah itu telah sering kita dengar, amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam sifat wajib para nabi, terdapat kata tabligh yang artinya menyampaikan. Maksudnya, menyampaikan kebenaran kepada para umatnya atau mengajak mereka menuju cahaya iman. Setelah Rasulullah wafat, dan tidak ada lagi rasul atau nabi sesudahnya. Kemudian, apakah pesan moral untuk mengajak manusia kepada kebenaran berhenti setelah wafatnya Rasulullah SAW? Jawabnya Tidak. Selama Al-Qur’an masih berada di tangan umat Islam, dan masih dibaca dan dikaji oleh umat manusia, maka mengajak kepada kebenaran tidak akan berhenti. Dengan demikian, kewajiban untuk mengajak kepada kebenaran masih terbuka lebar. Tidak ada batasan dalam menyerukan kebenaran. “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”. (HR. Bukhari)
Mungkin hanya dengan menyampaikan satu ayat, nilai keimanan mereka semakin bertambah kuat, karena bisa mempelajari dan mengamalkannya dengan penuh keyakinan. Daripada banyak, tapi bingung yang harus dilaksanakan terlebih dahulu atau tidak sama sekali karena kesibukannya sehari-hari sehingga tidak ada waktu senggang untuk menerapkan nilai-nilai kebenaran dalam kepribadiannya sehari-hari.
Pada hakekatnya, Allah menurunkan 124.000 nabi dan 313 rasul adalah untuk satu tujuan, yaitu mengagungkan dan menyembah-Nya. Ini diperjelas dalam firman-Nya, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 56)
Kalau begitu, apakah Allah tidak kuasa mengajak umat manusia untuk menyembah-Nya hingga harus menurunkan utusannya sebanyak itu? Bukankah langit dan bumi ini milik-Nya? Dan bukankah semua yang diciptakan-Nya akan patuh kepada kehendak-Nya?
Nabi dan rasul adalah manusia biasa, hanya bedanya mereka diberikan mukjizat untuk membantu-Nya dalam menyebarkan agama Allah. Mereka hanya bisa berusaha mengajak sesamanya untuk melaksanakan kepada cahaya kebenaran, namun berhasil atau tidaknya tergantung Allah, karena Allah kuasa atas hidayah seseorang. “Jikalau Tuhamnu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yûnus [10]: 99) dan juga dalam ayat, “Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) hendaklah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan neraka bagi orang-orang yang dzalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih, yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. al-Kahfi [18]: 29)
Kita ambil contoh para keluarga Nabi dan Rasul yang tidak mendapatkan hidayah sampai meninggal, yaitu Istri Nabi Nuh AS. dan Nabi Luth AS. “Allah membuat istri Nuh dan Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh diantara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan kepada keduanya; masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)” (QS. At-Tahrîm [66]: 10) dan juga paman Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab atau nama aslinya Abd al-‘Az, yang termaktub dalam QS. Al-Lahab [111]: 1-5.
Namun, pada saat ini sangat bertolak belakang, banyak kekerasan yang berlandaskan agama untuk memaksa orang lain untuk memeluk keyakinan yang dianutnya. Perkelahian dan pertumpahan darahpun terjadi. Apakah saat ini banyak manusia berubah menjadi ‘Tuhan’ sehingga dengan gampangnya mereka mengatakan kepada aliran lain, yang berbeda dengannya, merupakan alirang yang ‘menyimpang’? Untuk itu, mulailah dari sekarang kira belajar mengendalikan diri dan berusaha untuk lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan yang ada. Bukankah manusia adalah makhluk yang diberi akal dan wahyu oleh Allah?
Jika kita mengajak sesama kepada kebenaran dengan damai dan tanpa ada konflik, maka bisa dibayangkan begitu agungnya Islam mengajak umatnya kepada kebenaran tanpa membebani umatnya. Dan lagi pula kita tidak perlu khawatir tentang pahala yang akan diterima. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengajak kepada kebenaran, dia akan mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim) dan di hadits lain, Rasulullah berkata, “Barangsiapa yang merintis jalan kebaikan, maka dia berhak atas pahala (atas rintisannya itu) dan pahala orang-orang yang mengamalkannya, dan barangsiapa membuat rintisan jalan keburukan, maka dia akan memikul dosa dari rintisannya itu, dan dosa orang-orang yang mengikutinya.”

Mengasihi Umat

Setiap Nabi atau Rasul pasti memiliki umatnya masing-masing. Ini ditujukan dengan firman Allah, “Tiap-tiap umat mempunyai rasul” (QS. Yûnus [10]: 47) “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu”. (QS. An-Nahl [16]: 36) “Tiap-tiap rasul datang kepada umatnya” (QS. al-Mukminûn [23]: 44)
Ketiga ayat di atas dengan jelas bahwa rasul diutus kepada umatnya masing-masing. Mereka dengan sunguh-sungguh ingin membawa umatnya kepada jalan kebenaran dan menjauhi mereka dari kehancuran. Membawa risalah untuk disampaikan kepada umatnya memang tidaklah mudah, mereka harus dengan kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi pertentangan, caci maki, kebohongan-kebohongan, dan tindakan-tindakan yang umatnya lakukan secara disengaja.
Namun, tidak sedetikpun yang terlintas dalam pikiran para Nabi untuk mengutuk sifat umatnya yang kasar tersebut. Justru sebaliknya, mereka berdoa agar umatnya terhindar dari azab Allah yang sangat pedih.
Nabi Muhammad SAW di di saat menjelang wafat, beliau teringat umatnya. Bahkan dalam sebuah kisah, pada saat Rasulullah dibangkitkan di alam kubur untuk pertama kalinya, beliau berkata “ummatî……ummatî…….ummatî…….” Padahal, kita tahu dalam sejarah, betapa kejamnya masyarakat Arab terhadap Muhammad baik sebagai pribadi maupun sebagai rasul. Perkataan Nabi tersebut bukan pada kaum Muslimin di saat Rasulullah hidup saja, akan tetapi kepada kita, umat Rasulullah sekarang hingga kiamat kelak.
Apa hikmah yang kita ambil dari kepribadian Rasulullah akan perhatiannya kepada umatnya? Banyak yang bisa kita ambil hikmah dari kepribadian Rasulullah dalam mengasihi umatnya, antara lain: Pertama, Rasulullah adalah seorang Nabi yang mendahulukan dan mengutamakan kepentingan umatnya terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, beliau tidak mengutamakan kepentingan keluarga atau sukunya, tetapi mengutamakan kepentingan umat manusia. Berapa banyak pemimpin saat ini yang berusaha dan berfikir untuk kemaslahatan umat yang mengikutinya? Kedua, Rasulullah memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memperhatikan kepentingan umatnya. Dengan mengajarkan rasa toleransi dan kasih sayang kepada seluruh pihak, ini merupakan salah satu cara dalam menciptakan ketenangan dan ketentram bagi umat manusia. Ketiga, Rasulullah menanamkan jiwa gotong royong dan saling bahu membahu. Para sahabat diberi tugas dan kewajiban masing-masing yang satu sama lain berbeda, namun bukan untuk berpecah belah atau saling menghina dan beranggapan bahwa ‘sayalah yang paling tinggi diantara kalian’. Justru, pembagian ini dikarenakan mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga tugas yang diberikan sesuai dengan keahliannya masing-masing yang berakibat cara dan metode penyelesaian kewajibannyapun bermacam-macam. Namun, itu semua untuk tujuan yang sama yaitu kemaslahatan umat manusia.
Menghiasi Diri Dengan Sifat Malu

Yang dimaksud rasa malu di sini adalah sebagaimana yang telah didefinisikan oleh para ulama, yaitu akhlak mulia yang selalu memotivasi seseorang untuk meninggalkan hal-hal yang tercela dan menjauhkannya dari mengambil hak orang lain. Rasulullah adalah cermin dalam masalah malu ini. Abu Sa’id al-Khudriy melukiskan tentang rasa malu beliau, “Rasulullah memiliki rasa malu melebihi malunya gadis pingitan, jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka kami melihatnya dari raut mukanya.”
Rasulullah telah menjelaskan bahwa malu merupakan perhiasan diri dan masyarakat. Dari Imran Husain, Rasulullah berkata, “Rasa malu tidak datang melainkan dengan kebaikan.” (HR. Bukhari-Muslim). “Rasa malu itu baik seluruhnya atau rasa malu itu seluruhnya baik.” (HR. Muslim). “Iman itu terdiri dari tujuh puluh satu atau sampai tujuh puluh sembilan cabang, atau enam puluh satu sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lâ ilâha illallâh dan yang terendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan malu juga merupakan cabang dari iman.”
Dari sinilah bahwa ketika seseorang memiliki rasa malu, maka ia akan terjaga dari segala perbuatan yang bisa menjerumuskan dirinya dari sifat-sifat yang tercela. Sebagai contoh, seorang istri yang malu untuk menceritakan aib suami maupun keluarganya kepada tetangganya. Maka dengan begitu, ia telah menyelamatkan jiwa keluarganya dari cacian dan makian orang banyak akan kelemahan yang dimiliki oleh orang yang disayanginya.
Saat ini, dimana akses informasi begitu cepat, yang seakan-akan dunia itu sempit hanya dengan melihat televisi, mendengarkan radio, atau membaca koran, kita bisa mengetahui kejadian apa yang sedang dialami oleh saudara kita yang letaknya berjauhan. Itulah salah satu dari sekian banyak manfaat dari teknologi yang kita kembangkan saat ini.
Di kalangan tertentu, seperti selebritis, mereka dengan bangga mengutarakan hal-hal yang sifatnya pribadi. Memang, tidak ada larangan ketika mereka mengutarakan segala sesuatu dari dirinya yang pada akhirnya menjadi perbincangan khalayak umum. Dari sinilah, seakan-akan mereka tidak lagi menganggap tabu akan persoalan yang sedang dialaminya. “Saya kan artis, jadi orang lain harus tahu kepribadian dan kegiatan idolanya.” Begitulah kiranya ungkapan yang keluar dari bibir seorang selebritis dengan bangganya. Yang secara tidak langsung, para remaja meniru gaya hidupnya. Baik sebatas potongan rambut, hobi, cara berpakaian, maupun trik-trik dalam bercinta dengan kekasihnya.
Karena semakin banyaknya siaran televisi yang mengangkat kehidupannya secara terang-terangan yang terangkum dalam program tersendiri, seperti infotainment, masyarakat mengetahui karakter mereka. Ada sebuah pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Pepatah inilah yang menjadi dasar untuk terkenal di kalangan mereka.
Maraknya infotainment yang mengungkapkan ‘hal-hal yang prifat’, membuat organisasi masyarakat di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama yang kemudian di dukung oleh ormas-ormas Islam lainnya, harus mengeluarkan hasil bahtsul masail-nya tentang ‘program infotainment”. Menurut NU, program infotainment itu sah-sah saja kalau mengangkat nilai-nilai positif dari selebitis tersebut, bukan malah mengungkit atau mengorek ‘kelemahan’ seseorang.
Dalam ajaran Islam, melarang umatnya untuk mengorek-ngorek kelemahan atau aib seseorang. Di sini ada dua permasalahan ketika kita mengutarakan kejelekan seseorang di masyarakat. Pertama, ghibah atau menggunjing. Maksudnya, kalau tema yang kita bicarakan itu benar, namun tidak ada bukti kuat yang menjelaskan kelemahannya itu. Kedua, Fitnah. Maksudnya, jikalau tema yang kita bicarakan itu tidak benar, maka bisa mengakibatkan citra nama baiknya runtuh, hanya gara-gara fitnah yang dibuat oleh seseorang. Dengan fitnah, orang kaya bisa jatuh miskin, orang shaleh bisa dipenjara, dan ulama bisa dikucilkan oleh masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, pantaslah kalau ada ungkapan “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.”
Marilah kita mengembangkan sikap malu dalam keseharian hidup kita! Malu untuk menjadi pengemis. Malu untuk menjadi orang yang bodoh dan terbelakang. Malu untuk menjadi orang yang tertindas. Malu dikatakan sebagai koruptor, penjambret, dan penodong. Malu untuk membuka aib keluarga dan sahabat-sahabatnya. Malu dikatakan sebagai pembohong. Malu tidak ikut kerja bakti dengan tetangga-tetangga. Malu tidak bisa melaksanakan amanat dengan baik. Malu menindas dan merampas hak-hak asasi manusia dalam beragama, berpendapat, dan berserikat atau berorganisasi. Malu dikatakan sebagai negara yang banyak hutang, tunduk pada kebijakan asing, dan tidak punya kewibawaan di hadapan negara-negara di dunia. Malu dikatakan pemimpin yang tidak mengayomi rakyatnya. Malu dikatakan sebagai bangsa yang bertindak anarkis dan mengutamakan kekerasan.
Dengan membudayakan sikap-sikap malu di atas, kita akan dikenal sebagai bangsa yang tinggi peradabannya yang secara otomatis dikatakan sebagai bangsa perintis moral bagi kehidupan bermasyarakat yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dengan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ nya.














Menghormati Yang Tua dan Menghargai Yang Muda

Dalam tingkatan usia, kita mengenal istilah bayi, anak-anak, remaja atau pemuda, dewasa, dan orang tua. Istilah itu sengaja dibuat agar kita bisa membedakan dan sekaligus menspesifikkan tema pembicaraan yang diangkat. Misalnya, istilah bayi digunakan untuk menunjukkan anak kecil yang baru lahir. Dikenal pula dengan sebutan balita atau bawah lima tahun; Anak-anak yaitu anak yang belum dewasa atau lebih tua usianya daripada bayi. Usianya antara 6-13 tahun atau setingkat SD. Dalam hukum, anak-anak belum dikenai hukuman walaupun sudah jelas-jelas bertindak melawan hukum. Dalam tingkatan inilah, biasanya sekelompok organisasi atau perkumpulan merekrut para anggotanya untuk dijadikan pengikut setia. Mereka dicuci otaknya (brain storming) terlebih dahulu dengan ajaran-ajaran yang disampaikan untuk kepentingan kelompoknya, dikarenakan mereka masih polos dan belum tersentuh oleh hal-hal yang lain; Remaja atau pemuda yaitu tingkatan antara usia 14-24 tahun atau setingkat SMP hingga lulus perguruan tinggi. Pada usia ini, ada yang telah melangsungkan pernikahan. Ketika sudah menikah, maka mereka sudah dikenai hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Tingkat emosi dan pengendalian dirinya belum stabil, dan juga masih mencari jati diri yang sesungguhnya. Oleh karena itu, perbanyaklah mempelajari pengalaman-pengalaman orang-orang di sekitar, baik dengan cara banyak membaca buku, berdialog atau bergaul dengan orang-orang yang terdidik dan berbudi pekerti yang luhur; Dewasa yaitu usia seseorang yang bisa berfikir dengan sempurna atau dalam Islam disebut akil baligh. Hukum bagi mereka telah berlaku, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, membina rumah tangga, dan juga menjadi pemimpin bagi orang lain; dan orang tua yaitu orang yang sudah banyak makan garam kehidupan. Dari merekalah, kita harus belajar banyak akan seluk-beluknya kehidupan. Dengan mencontoh dan mengambil hikmah dari kejadian-kejadian yang telah diperbuatnya, untuk dijadikan masukan bagi kita dalam berfikir untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, baik itu yang bernilai positif maupun negatif.
Dari pemaran di atas, kita bisa memahami sifat dan karakter masing-masing sesuai usianya. Akan tetapi, mereka adalah sama-sama manusia yang bersifat dan berkarakter dasar yang sama mulai dari lahir hingga meninggal.
Dalam etika bergaul terhadap anak-anak, Islam telah mengaturnya mulai dari hal-hal terkecil sampai hal-hal yang besar. “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut muskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS. al-Isrâ [17]: 31). Membunuh apapun alasan dan bagaimanapun caranya adalah dosa besar. Apalagi membunuh anak kandung sendiri yang dengan alasan kehidupan ekonomi. Tidak ada seekor macanpun yang tega menerkam anaknya sendiri hanya karena lapar. Namun, kenapa manusia yang mempunyai akal dengan begitu tega meracun atau membunuh anak buah hatinya? Apakah manusia lebih kejam dan sadis daripada seekor hewan yang buas dan liar?
Ada sebuah ungkapan yang begitu indah, “Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya” dan “Banyak anak, banyak rizki”. Maka, mulai dari sekarang percayalah bahwa Allah tidak akan menjerumuskan hambanya yang beriman dan bertakwa kepada jurang kehancuran dan kenistaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Ini semua anggap saja sebagai ujian dan cobaan untuk menambah nilai ketakwaan dan keimanan kita kepada Sang Pencipta alam semesta. “Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innâ lilâhi wa innâ ilaihi râji’ûn’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-Baqarah [2]: 155-157)
Rasulullah bersabda, “Berbuat adillah terhadap anak-anakmu (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Daud). Jadi, janganlah kita menyepelekan anak-anak dan menganggap mereka lebih rendah dan kurang berpengalaman, segala ucapan yang mengandung kebenaran yang keluar dari mulutnya, hanya sebagai angin lalu. Mereka mungkin tidak pernah mengamalkan sebuah hadits, “Ambil sebuah hikmah dan kebijaksanaan walau itu keluar dari budak belian” dan “Lihat isi perkataannya bukan melihat siapa yang mengucapkannya.”
Sedangkan etika bergaul dengan orang yang lebih tua, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang itu semua. “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua, ibunya mengandung dan melahirkannya dengan susah payah.” (QS. al-Ahqâf [46]: 15); “Jika salah seorang dari kedua orang tua sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepadanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.” (QS. al-Isrâ [17]: 23-24); dan “Berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. an-Nisâ [4]: 36)
Dari sekian banyak ayat-ayat yang tertera di atas, apa yang bisa kita ambil hikmah dan manfaatnya bagi kehidupan kita sekalian? Allah tidak akan pernah menciptakan sesuatu tanpa ada manfaatnya, walaupun menurut pandangan manusia disepelekan dan dikucilkan. Di sini ada beberapa hal yang bisa kita tarik manfaatnya, antara lain:
a) Secara usia, anak-anak lebih muda sehingga mereka membutuhkan bimbingan dan nasehat dari yang lebih tua, khusunya para orang tua atau guru-guru.
b) Jiwa anak-anak atau remaja masih kurang stabil, sehingga mereka terkadang bingung untuk menentukan orientasi hidupnya. Mereka akan berbuat apa saja menurut hawa nafsunya, kalau tidak pernah belajar etika dan norma-norma yang baik dari masyarakat maupun dari ajaran Islam. Kestabilan jiwa seseorang terkadang tidak menimpa kaum muda saja, tapi juga dialami oleh kaum tua. Sebagai contoh, ketika mereka mengalami kesulitan dalam hidup ditambah lagi dengan usaha-usaha yang dilaluinya gagal, tak segan-segan mereka akan melakukan bunuh diri. Bukankah bunuh diri merupakan jalan yang bodoh dan konyol? Selintas memang benar, terbebas dari persoalan dunia, tapi apa kita akan selamat pada tahap selanjutnya yaitu kehidupan akhirat yang kelak?
c) Saling menghargai sesama umat manusia tidak terbatas waktu dan masa. Yang muda harus menghormati yang tua dan juga yang tua harus menghargai yang muda. Dengan begitu, mereka bisa bahu membahu membangun peradaban Indonesia yang lebih baik.
d) Dengan menghilangkan sikap sombong dan menyepelekan orang lain, kehidupan bermasyarakat akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam.
e) Ketika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, pengendalian emosi ke-aku-an dihilangkan. Utamakan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana yang tercermin dalam sila keempat dari lima sila yang ada dalam Pancasila.



























Mengutamakan Musyawarah

Setelah perang Badr selesai, kaum Muslimin berhasil menawan 70 orang kafir Quraisy. Lalu hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka?
Nabi, seorang pemimpin yang mengutamakan kebersamaan, mengajak kaum Muslimin bermusyawarah berkenaan dengan hukuman para tawanan, sehingga muncul tiga pendapat:
Pendapat pertama: Datang dari ide Abu Bakar yang didukung oleh Rasulullah dan mayoritas kaum Muslimin, bahwa diambil tebusan dari para tawanan.
Pendapat kedua: Datang dari ide Umar bin Khatab, bahwa mereka harus dibunuh, artinya para tawanan tidak boleh ditebus atau dibebaskan.
Pendapat ketiga: Datang dari ide Abdullah bin Rawalah, bahwa para tawanan dibunuh dengan dibakar. Ia berkata kepada Rasulullah: ”Engkau berada di lembah yang banyak kayu bakarnya, nyalakan api di lembah ini lalu lemparkan mereka kedalamnya.”
Setelah mendengarkan pendapat Abu Bakar, Umar bin Khatab, Abdullah bin Rawalah, dan melihat bahwa mayoritas orang cenderung kepada pendapat Abu Bakar, Nabi bersabda:
”Sesungguhnya Allah melembutkan hati orang-orang dalam masalah ini sampai lebih lembut dari susu, dan sesungguhnya Allah mengeraskan hati orang-orang dalam masalah ini sampai lebih keras daripada batu. Sesungguhnya engkau wahai Abu Bakar menyerupai Ibrahim yang berkata: ”Barangsiapa mengikuti aku maka sesungguhnya ia dariku dan barangsiapa menentangku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” Kamu juga wahai Abu Bakar seperti Isa yang berkata: ”Jika Engkau siksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah para hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Sesungguhnya kamu wahai Umar, seperti Nuh yang berkata: ”Ya Tuhan, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu tinggal di muka bumi.” Sesungguhnya kamu wahai Umar seperti Musa yang berkata: ”Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” Kemudian Rasulullah bersabda: ”Kalian adalah beban tanggungan, tidak boleh seorangpun yang tinggal kecuali dengan tebusan atau dipukul tengkuknya.”
Perkataan Nabi tersebut, menyamakan persepsi bahwa pendapat para sahabat tentang memperlakukan kaum kafir Quraisy hampir sama dengan perlakuan para Nabi terhadap umatnya yang tidak mengikuti ajaran yang dibawanya. Disamping itu, hasil dari kesepakatan para musyawirin. Namun di sisi lain, Muhammad sekedar manusia biasa. Ia mengikuti pendapat yang menurut mayoritas yang dianggap sebagai perwakilan dari kebenaran, tetapi Allah menyatakan lain. Allah menegur Rasul-Nya karena telah mengambil tebusan dari para tawanan Badr. Yang lebih utama adalah membunuh para tawanan bukan mengambil tebusan dari mereka. Allah berfirman: ”Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat untukmu. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Anfâl [8]: 67)
Ketika ayat ini turun, Rasulullah dan Abu Bakar menangis, kemudian Umar bin Khatab melewati keduanya lalu bertanya: ”Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku mengapa engkau dan sahabatmu menangis? Jika aku mendapatkan alasan untuk menangis, aku akan ikut menangis, dan jika tidak mendapatkan alasan untuk menangis, aku akan berusaha menangis, karena tangisan kalian berdua.” Rasulullah menjawab: ”Aku menangis karena tawaran para sahabatmu untuk mengambil tebusan dari mereka, sungguh siksa mereka telah disodorkan kepadaku lebih dekat dari pohon ini.”
Dari sejarah tersebut, apa yang dapat kita ambil hikmah dari kejadian tersebut? Kenapa Muhammad sebagai Rasulullah diberikan teguran oleh Allah? Bukankah semua tindakan dan perbuatannya berdasarkan kehendak Allah?
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari tawanan Badr, yaitu: Pertama, Rasulullah boleh melakukan ijtihad dan pada saat yang sama tidak dinyatakan salah. Jika Allah mendiamkan ijtihad Nabi, maka itu berarti wahyu dan jika salah maka Allah akan menegur sekaligus mengoreksi ijtihadnya. Tidak ada seorangpun yang terbebas dari kekeliruan, sekalipun seorang Nabi, kecuali jika diajari oleh Allah yang mengetahui masa depan sebagaimana mengetahui masa kini dan masa yang lalu. Dari sinilah kita bisa menarik garis, bahwa janganlah menganggap bahwa pendapatnya paling benar dan menilai orang lain bodoh, serta tidak sewenang-wenang dalam memaksakan pemikirannya kepada jama’ah. Kedua, Rasulullah senantiasa mengambil suara mayoritas dalam permasalahan umat setelah mengadakan tukar pendapat dan diskusi. Dan terakhir, Menunjukkan sifat dominan Rasulullah, antara lain: kasih sayang, lemah lembut dan memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepadanya.
Hal ini merupakan sebuah sejarah yang menyatakan bahwa musyawarah mufakat merupakan salah satu cara yang terbaik dalam menampung berbagai aspirasi yang ada. Memang, lain kepala lain pula pendapatnya. Jadi, musyawarah atau berdialog adalah solusi yang paling tepat dalam memecahkan permasalahan yang rumit bahkan yang buntu sekalipun. Maka, mulai dari sekarang, budayakanlah musyawarah mufakat untuk menyelesaikan permasalahan yang menyelimuti bangsa kita, bukan dengan aksi kekerasan dan perusakan fasilitas umum.










Menjaga Kebersihan

“Jagalah kebersihan!” Kata ini sering kita lihat di tempat-tempat umum, seperti masjid, toilet umum, supermarket, gedung bioskop, pasar, dll. Apakah dengan banyaknya ‘peringatan’ tersebut menandakan bahwa bangsa kita malas untuk menjaga kebersihan? Silahkan anda, sebagai generasi bangsa, menjawabnya sendiri.
Mari kita coba mengkaji lebih jauh tentang apa yang dinamakan dengan kebersihan itu?
Secara bahasa, bersih yaitu terbebas dari kotoran. Sedangkan menurut istilah, kebersihan yaitu segala tindakan maupun perbuatan yang dilakukan untuk menyingkirkan kotoran yang tidak sedap dipandang atau tidak pantas berada di tempat tersebut.
Lalu bagaimana cara melakukan kebersihan itu?
Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menjaga tempat agar tetap bersih, seperti dengan cara menyapu, mengepel, mengelap, mencuci maupun menyiramnya. Dengan cara seperti itulah, segala kotoran maupun najis akan hilang dengan sendirinya, asalkan dilakukan dengan cara yang benar.
Karena begitu pentingnya kebersihan dalam Islam, sehingga menjaga kebersihan dijadikan syarat untuk melakukan suatu ibadah, seperti istinja’, berwudhu dan mandi jinabah. Bab ini yang dikupas tuntas dalam kitab-kitab fikih sebagai bab tersendiri, yaitu Bab Thaharah. Dalam pembahasannya, bab ini menerangkan tentang macam-macam air, tata cara mengunakannya, dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan tata cara bersuci. Rasulullah bersabda, “Kebersihan adalah sebagian daripada iman, yang menuntun pemiliknya ke surga.”
Dalam tubuh manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur jasmani dan unsur ruhani. Dengan begitu, secara otomatis yang mengotori kedua unsur tersebut berbeda, dan begitu pula cara membersihkannya. Bagaimanakah cara melakukannya?
Dalam unsur jasmani, kotoran yang menempel, dikenal dengan istilah najis. Untuk menjaga kebersihannya, dengan cara membasuh tempat-tempat yang terkena kotoran atau najis tersebut dengan menggunakan air. Jika najis itu mengenai pakaian, maka pakaian tersebut dibasuh dengan air yang suci. Dan jika mengenai kulit, maka kulit yang terkena najis dibasuh atau disiram sampai bau, bentuk, dan warnanya betul-betul hilang. Kotoran atau najis yang menempel di kulit atau pakaian semuanya bisa dirasakan oleh panca indera. Sedangkan kotoran yang mengganggu unsur rohani berbeda dengan yang mengotori unsur jasmani. Najis atau kotoran yang mengganggu dalam unsur ini, dikenal dengan istilah maksiat dan dosa. Lalu, bagaimanakah caranya untuk membersihkan hati yang kotor yang dipenuhi dengan dosa dan kemaksiatan tersebut? Untuk menjaga kesucian atau kemurnian hati dari hal-hal yang mengandung dosa, kita harus melakukan pembersihan secara bathin, seperti dengan memperbanyak istighfar, meminta maaf kepada orang-orang yang telah kita dzalimi, melakukan shalat dengan khusyu’ baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah, dan menjaga panca indera dari hal-hal yang membawa kita kepada nafsu, yang berakibat merendahkan harga diri, menabrak norma-norma kesusilaan, dan melanggar hak-hak manusiawi.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda “Tuhanku memerintahkan kepadaku atas sembilan perkara, yaitu: Pertama, takut kepada Allah baik dalam keadaan ramai maupun sunyi; Kedua, berkata benar baik dalam keadaan marah maupun tenang; Ketiga, memilih jalan tengah antara kemiskinan dan kemakmuran; Keempat, berbuat baik kepada orang yang telah memutuskan tali silaturrahmi; Kelima, memberikan waktu kepada orang yang meminta pertolongan; Keenam, memaafkan orang yang bersalah; Ketujuh, mengajak diam dalam mencela dan mengajak berkata untuk selalu ingat kepada Allah; Kedelapan, memejamkan mata pada sesuatu yang tidak bermanfaat; Kesembilan, menganjurkan untuk bertindak adil terdhadap sesama manusia” (HR. Ibnu Majah)
Begitulah Islam mengajak umatnya untuk tetap menjadi generasi yang bersih dari segala macam penyakit hati, seperti: iri, dengki, hasut, fitnah, dsb. Perbuatan semacam itulah yang harus dibersihkan dari kemurnian hati kita. Dengan menjauhkan sifat-sifat tercela, kita akan selalu dekat kepada Allah, sehingga ketika kita meminta petolongan dan berdoa, Allah langsung mengabulkan. Sungguh termasuk golongan orang-orang yang beruntung, yang ketika berdoa langsung dikabulkan. Bisakah kita termasuk golongan orang-orang yang selalu menjaga kebersihan hati?
Ada yang berpendapat bahwa, untuk menjaga kesucian hati, kita harus mengucilkan diri, jauh dari hiruk-pikuk keduniaan. Sepintas memang memungkinkan. Namun, apakah kita harus menelantarkan keluarga yang sangat kita cintai?
Menjaga kemurnian hati, tidak harus bertapa atau mengucilkan diri dari kehidupan dunia yang penat ini. Lalu dengan jalan apa?
Memang benar, dalam kehidupan Rasulullah, beliau sering mengurung diri di Gua Hira hingga menerima wahyu yang pertama di usia 40 tahun. Tetapi sekarang, kita tidak perlu jauh-jauh untuk mencari gua hanya untuk menjaga kemurnian dan kesucian hati saja. Kita bisa melakukkannya di tempat-tempat yang ramai, seperti: pasar, cafe, ataupun diskotik. Caranya dengan menahan nafsu dan hasrat untuk bertindak tercela. Toh, sama saja kita mengucilkan diri dengan tidak. Cuma tantangannya saja yang berbeda. Dengan begitu, kita bisa hidup secara normal seperti sebelumnya, tanpa harus menjauhi kehidupan dunia yang sesungguhnya. Dengan tetap menjaga kemurnian hati melalui shalat, puasa, zakat, berkata jujur, sabar, dan berprasangka baik, insya Allah kita akan terjaga dari hal-hal yang bisa merusak hati dan moral. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang selalu membersihkan diri, baik untuk kebersihan jasmani maupun kebersihan ruhani. Âmîn.






Menjaga Kesucian dan Kehormatan Diri

Rasulullah merupakan manusia yang paling sempurna. Beliau memiliki sifat kemuliaan diri. Apabila dalam kesulitan dan diterpa kesusahan, beliau menghadapinya dengan sabar, dan berlindung diri dengan kehormatannya. Beliau mencurahkan segala daya upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Beliau tidak berfikir untuk mengiba dan meminta-minta kepada orang lain. Hal ini karena Islam melarangnya. Bahkan, beliau justru menjaga kesucian diri, merasa cukup dengan apa yang telah diberikan oleh Allah dan bersabar. Maka, Allah menguatkan dan menetapkannya dalam kesabaran, kekayaan hati. Rasulullah bersabda, “Barang siapa menjaga kesuciannya, maka Allah akan menjaga kesuciannya. Barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah memberikan kecukupan. Barangsiapa yang berusaha untuk selalu sabar, maka Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidak seorangpun yang diberi sesuatu hal, yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, kita mengenal istilah aurat. Aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh kelihatan, kecuali dalam keadaan darurat atau kebutuhan yang mendesak.
Laki-laki dan perempuan merupakan jenis manusia yang berbeda. Perbedaan itu bukan saja pada alat reproduksinya, tetapi juga struktur fisik dan cara berfikirnya. Perbedaan inilah yang menjadikan mereka saling berdampingan dan saling mendukung dalam mencapai tujuan bersama dalam suatu keluarga. Dalam konteks hubungan seksual, biasanya perempuan merupakan pemburu hati laki-laki dan laki-laki adalah mangsanya, sedangkan laki-laki adalah pemburu tubuh perempuan dan perempuan adalah mangsanya. Begitulah nafsu manusia, kecuali yang mendapat rahmat Ilahi. Nafsu seperti kobaran api, semakin diberi kayu bakar kering, semakin besar kobarannya. Menurut psikolog, hasrat seksual laki-laki lebih aktif dan mudah terangsang. Dari sini, Islam memberikan batasan-batasan. Islam tidak menyuruh untuk membunuh nafsu, tetapi mengajak untuk mengendalikannya.
Ajakan untuk menjaga kesucian diri diperuntukkan kepada laki-laki maupun perempuan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. an-Nûr [24]: 30-31)
Melihat ayat di atas, timbul pertanyaan mengapa larangan yang ditujukan kepada perempuan lebih banyak daripada yang ditujukan kepada laki-laki?
Secara tidak langsung, ayat ini mengungkapkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam bidang kecenderungannya masing-masing. Salah satu diantaranya, bahwa perempuan lebih cenderung berhias daripada laki-laki. Perempuan ingin selalu tampil beda daripada laki-laki setiap harinya. Yang mengakibatkan model pakaian perempuan lebih beragam daripada laki-laki, dan juga sisiran dan gaya rambutnyapun berubah-ubah. Jika demikian, sangatlah wajar jika pesan menyangkut penampakan hiasan, justru ditekankan kepada perempuan daripada laki-laki.
Sekarang-sekarang ini, kita melihat percintaan remaja yang diiringi dengan seks. Padahal, hal semacam itu merupakan kesalahan yang fatal. Pacaran dan seks merupakan dua sisi yang berkaitan. Kalau pacaran tanpa seks, itu tidak seru. Setidaknya, pacaran itu pernah melakukan seks, karena seks adalah bukti kasih sayang dan cinta. Pernyataan yang menyesatkan ini telah mengakar dalam pikiran remaja Indonesia. Ada beberapa kebohongan seks yang biasa ditemui di kalangan remaja saat ini, antara lain: Pertama, seks sebagai bukti tanda cinta. Kebohongan pertama ini sangat manjur di kalangan remaja. Mereka menyerahkan keperawanan dan keperjakaannya hanya untuk kepuasan birahi sesaat. Padahal, cinta tidak bisa dibuktikan dengan hubungan seks, tetapi dengan komitmen dan tanggung jawab dalam mengarungi hidup, yang harus dibuktikan bersama pasangannya. Kedua, seks menunjukkan bahwa pasangannya mampu. Memang, manusia butuh kemampuan, apalagi dihadapan sang kekasih, tetapi bukan dengan sering berhubungan seks. Peningkatan harga diri semacam itu akan sia-sia, membawa malapetaka, seperti penyakit kelamin dan AIDS. Namun, buatlah kegiatan-kegiatan positif yang menonjolkan kerjasama di antara mereka. Ketiga, Seks harus dicoba. Anggapan ini yang merendahkan derajat manusia. Pada dasarnya, seks merupakan insting semua makhluk hidup, tanpa percobaanpun kita bisa melakukannya dengan sempurna tanpa harus mempelajarinya sebelum adanya ikatan pernikahan. Keempat, Seks bisa memperkokoh hubungan. Diakui memang, seks begitu penting dalam sebuah hubungan. Sebagai contoh, banyak pernikahan yang berantakan hanya karena tidak bisa maksimal dalam berhubungan seks. Namun, mari kita ingat-ingat kembali komitmen awal memilih dia sebagai pendamping hidup. Kelima, berhubungan seks bisa mendewasakan. Pemikiran rancu ini yang harus kita kikis habis. Dari pemikiran ‘sesat’ ini, banyak pelajar yang rela memberikan kesuciannya hanya karena tidak mau dibilang masih anak-anak atau masih bau kencur. Apakah benar dengan banyaknya atau seringnya berhubungan seks, seseorang akan menjadi dewasa? Definisi dewasa saja masih rancu, apakah dewasa secara fisik atau dewasa secara pemikiran? Kualitas pribadilah yang menjadi faktor sentral seseorang bersikap dewasa.
Bukan hanya badan yang harus dijaga kehormatan dan kesuciannya, tetapi juga harta benda yang dimiliki. Harta yang tersimpan pada orang-orang kaya, tersimpan hak atas orang-orang fakir dan miskin, yang harus diberikan kepada mereka tanpa menyebut-nyebutnya, menyakiti hati dan memandang sebelah mata kepada mereka. Islam mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Sesuai dengan hadits, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi sedekah, sedangkan tangan di bawah adalah meminta.” (HR. Muslim)
Mulai dari sekarang, marilah kita membiasakan untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri kita masing-masing. Menjaga dari hal-hal yang bisa menjerumuskan kita kepada kehancuran dan kesengsaraan yang abadi. Namun, bukan berarti kita tidak berkomunikasi atau berkumpul kembali dengan sahabat atau tetangga di sekitar kita. Hanya saja, penjagaan kita perkuat dengan iman kepada Allah. Dengan begitu, insya Allah kita akan terhindar dari hal-hal yang mengandung maksiat walaupun dalam keadaan sendiri dan sunyi.





























Menjaga Lisan Dari Menggunjing Dan Mengadu Domba

Rasulullah selalu takut kepada Allah baik di tempat yang ramai maupun di tempat yang sepi. Beliau memperhatikan ucapannya agar tidak terjerumus kepada menggunjing (ghibah) atau adu domba (namimah), yang dapat mendatangkan murka Allah. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menggunjing atas sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurât [49]: 12)
Dari ayat di atas telah jelas bahwa dosa ghibah sangat mengerikan, dimana diibaratkan memakan bangkai saudaranya yang telah mati. Maka bila melakukannya, segera bertaubat sebagaimana penghujung ayat tersebut. Segera beristighfar dari dosa-dosanya bila lisannya tergelincir melakukan ghibah.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan menggunjing dan adu domba tersebut, sehingga perumpamaan terhadap orang yang berbuat tersebut begitu mengerikan?
Kata ‘menggunjing’ berasal dari kata dasar ‘gunjing’, yang artinya; fitnah, umpat, dan caci. Kata ini mendapatkan imbuhan ‘me’ sehingga menjadi ‘menggunjing’. Secara istilah, arti ‘menggunjing’ yaitu; membicarakan kekurangan atau kejelekan orang lain; mengumpat; atau memfitnah. Jadi, ‘menggunjing’ ialah membicarakan aib seseorang secara terang-terangan di hadapan orang lain secara sengaja untuk melecehkan atau menghina orang tersebut.
Sedangkan ‘adu domba’ merupakan kata idiom yang mengandung makna konotasi, yaitu membenturkan; mempertikaikan; memperselisihkan. Kata ini mendapatkan imbuhan ‘me’ sehingga merubah status kata benda menjadi kata kerja. ‘Mengadudomba’ yaitu menjadikan berselisih atau bertikai diantara pihak yang sepaham; menarungkan (mempertarungkan, memperlagakan) kita sama kita. Jadi, secara istilah ‘mengadudomba’ yaitu membuat orang atau kelompok yang dulu bersatu menjadi berseteru karena adanya perkara yang sengaja dibuat untuk menjadikan mereka bermusuhan dan saling membenci dan bertikai.
Setelah melihat kedua istilah kata di atas, jelaslah bahwa sumber segala sumber petaka tersebut adalah berasal dari lidah (lisan), yang keluar dalam bentuk perkataan atau kalimat. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Orang Muslim sejati adalah orang yang mampu menyelamatkan orang-orang Islam dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim)
Ada sebuah pepatah yang menyatakan bahwa, ‘lidah tak bertulang’, namun akibat dari ‘sabetan’ dari lidah tersebut lebih pedih, mengerikan, bahkan menyengsarakan daripada sebuah tulang yang keras dan membatu.
Lalu bagaimana cara untuk membedakan pedasnya atau sakitnya ‘sabetan’ lidah dan tulang tersebut?
Secara fisik, ‘sabetan’ lidah tidak membekas atau membuat kulit memar dan membiru, hal ini sangat berbeda dengan ‘sabetan’ tulang yang keras yang mengenai tubuh kita, kita akan melihat bekas memar dan luka yang diakibatkan oleh tulang tersebut. Namun, akibat yang ditumbulkan dari ‘sabetan’ lidah yang tidak terkontrol secara manusiawi, bisa mengakibatkan penderitaan psikologis dan gangguan mental lainnya. Seperti contohnya, timbulnya tawuran antar kampung, pelajar, atau mahasiswa; terancamnya jiwa seseorang, merebaknya sifat iri, dengki, hasut, dan saling menjatuhkan, bahkan lebih hina dari seekor hewan, seperti berebut mendapatkan jatah uang suap atau hasil korupsi.
Rasulullah bersabda, “Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan. Ditanyakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, apakah ketujuh dosa besar itu?’ Beliau menjawab, ‘menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan perang, dan menuduh zina kepada wanita-wanita beriman lagi suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dampak dari menggunjing dan mengadudomba memang fatal akibatnya. Orang yang shalih bisa menjadi orang yang terhina di mata manusia. Orang yang lugu dan jujur bisa mendapatkan hinaan dan makian dari orang lain. Bahkan, wanita-wanita beriman yang sucipun bisa dituduh sebagai pelacur dan pezina. Maka, mulai dari sekarang marilah kita menjaga lidah kita dari menggunjing dan mengadudomba. Jadilah seorang Muslim yang menjadi contoh untuk kepribadian manusia di masa yang akan datang!
Mulai dari sekarang biasakanlah berbuat dari hal-hal yang terkecil. Rasulallah bersabda, “Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat ia tidak ada, maka Allah pasti benar-benar akan membebaskannya dari api neraka.” (HR. Ahmad). Dan hadits, “Hamba Allah yang paling baik adalah yang apabila dilihat, maka mereka mengingatkan seseorang untuk berzikir kepada Allah dan seburuk-buruknya hamba Allah adalah mereka yang berjalan di muka bumi untuk mengadu domba dan memisahkan orang-orang yang saling mencintai, yang menginginkan kebinasaan bagi orang-orang yang tidak bersalah.” (HR. Ahmad)
Bisakah kita menjadi umat Nabi Muhammad SAW yang menjaga lidahnya dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan sebaliknya yang memanfaatkan lidah untuk kemajuan dan kejayaan umat Islam di dunia? Dengan begitu, umat Islam akan menjadi umat yang berkualitas dan disegani oleh umat-umat yang lainnya.









Menjaga Rahasia

Di kalangan remaja, kita mengenal istilah ‘er-ha-es’ atau ‘rahasia’. Dan kita kadang bingung untuk mengartikan maksud dari kata ‘rahasia’ tersebut. Jadi, apakah ‘rahasia’ itu?
Rahasia ialah sesuatu yang sengaja disembunyikan agar tidak diketahui oleh orang lain; sesuatu yang belum dapat atau sukar diketahui dan dipahami orang; sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang agar tidak dipercayakan kepada orang lain yang tidak berwenang mengetahuinya; atau secara diam dan tidak terang-terangan. Jadi, rahasia merupakan seuatu yang tidak boleh dibicarakan kepada orang lain atau masyarakat umum.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khatab ketika Hafshah putrinya telah menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya berkata, “Aku bertemu Utsman dan aku tawarkan Hafshah kepadanya, “Jika engkau mau, niscaya aku nikahkan Hafshah binti Umar denganmu.” Utsman menjawab, “Aku akan mempertimbangkan tawaranmu.” Umar melanjutkan kisahnya: “Setelah beberapa malam aku menunggu, akhirnya Utsman menemuiku seraya berkata: “Tampaknya saat ini aku belum berhasrat untuk menikah.”
Selanjutnya, Umar menemui Abu Bakar seraya berucap: “Jika engkau mau, niscaya aku nikahkan Hafshah binti Umar denganmu.” Abu Bakar terdiam sejenak dan tidak menjawab sepatah katapun. Dan aku lebih marah lagi menyaksikan sikapnya ketimbang Utsman. Setelah menunggu beberapa malam, maka datanglah Rasulullah meminang Hafshah dan aku nikahkan putriku dengan beliau.
Selanjutnya Abu Bakar menemuiku seraya berkata: “Barangkali engkau marah dengan sikapku yang tidak berucap sepatah katapun, ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku” Umar menjawab: “Ya”. Abu Bakar berkata: “Sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak tawaranmu, hanya saja aku tahu bahwa Nabi pernah menyebut-nyebut Hafshah, dan aku tidak akan membuka rahasia Rasulullah, sekiranya beliau memutuskan tidak menikahinya, niscaya tawaranmu akan aku terima.”
Berkenaan dengan persoalan ini, Allah menurunkan ayat, “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka, tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah), dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan yang sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka, tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: “Siapakah yang memberitahukan hal ini kepadamu” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu, malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.” (QS. at-Tahrîm [66]: 3-4)
Dengan menjaga rahasia, banyak orang yang hidupnya selamat dan sejahtera, karena secara tidak langsung, hak-hak hidup seseorang terjaga. Sebagai contoh, ketika kita mendapatkan keluarga yang sedang berseteru karena persoalaan yang bersifat pribadi, maka kita wajib menutupi celah-celah kejelekan mereka. Jangan sampai orang lain mengetahui tentang perseteruan antar saudara tersebut. Jika mereka mengetahui, maka citra keluarga tersebut akan jelek di mata masyarakat. Yang berakibat, orang lain mencibir dan memandang rendah status mereka.
Namun, janganlah kalian menjaga rahasia dalam hal kejelekan. Karena itu semua akan berakibat jelek pula bagi diri kita maupun kaum kerabat kita. Berusahalah untuk menjaga rahasia dalam hal kebaikan saja, dan jauhilah diri dari tindakan yang bisa mengakibatkan celaka ataupun bahaya.
Ingatkan saudara atau sahabat kita, agar mereka menjaga rahasia keluarganya dengan ikhlas dan tulus tanpa mengharapkan sesuatu!
Belajarlah menjadi orang yang berpegang teguh kepada janji dengan tidak membocorkan rahasia orang lain kepada orang yang tidak layak untuk mengetahuinya!


























Menjaga Tradisi Para Pendahulu

Rasulullah terlahir di zaman dimana orang sudah mempunyai tradisi. Dalam sejarah Islam, Rasulullah terlahir di masa tradisi jahiliyah. Sebelum melanjutkan pembahasan, apakah kamu tahu tentang arti tradisi dan jahiliyah?
Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Atau tradisi yaitu penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Jadi, tradisi merupakan kebiasaan orang terdahulu yang masih dilestarikan oleh generasi selanjutnya karena menganggap bahwa kebiasaan tersebut tidak mengandung kemudharatan, bahkan sebaliknya, menambah nilai budaya dan keragaman adat, karena kita bisa merasakan sendiri kegiatan para pendahulu. Hal ini selaras dengan kaidah “menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang mengandung kemaslahatan”. Maksudnyaa, disamping kita tetap melestarikan tradisi-tradisi yang sudah berkembang di sekitar kita, tanpa mencela apalagi menganggap ‘bid’ah’ atau ‘sesat’, namun juga, kita harus menciptakan tradisi yang mengandung kemaslahatan yang tidak berseberangan dengan tradisi sebelumnya. Disinilah kita membutuhkan metode-metode seperti, qiyâs, istihsân, mashlahah al-mursalah, istishhâb, urf, dan sebagainya.
Sedangkan kata jahiliyah berasal dari bahasa Arab jahala, jahlan, jahâlatan yang artinya bodoh. Bodoh di sini bukan berarti bahwa bangsa Arab tidak mengenal huruf atau angka. Justru sebaliknya, bangsa Arab terkenal sebagai pedagang yang ulung dan ahli sastra yang handal, seperti pantun, puisi, syair, dan gurindam. Lalu apakah yang dimaksud jahiliyah tersebut?
Banyak buku-buku yang menceritakan kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Kebanyakan kisahnya menceritakan tentang kebobrokan moral, seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan, mewariskan istri kepada anaknya, bisa bertukar pasangan ketika merasa bosan dengan pasangannya masing-masing, dan mengasingkan perempuan-perempuan yang sedang haidh. Semuanya dilakukan secara sadar dan terang-terangan. Namun di sisi lain, bangsa Arab telah menjadi pusat peribadatan dunia, dengan ka’bah sebagai sentralnya, pusat syair, dan tempatnya pedagang dan saudagar yang sukses, karena terkenal ulet, dan pantang menyerah. Jadi jelaslah, yang dimaksud dengan jahiliyah di sini yaitu kebobrokan moralnya, bukan karena kebodohannya dalam membaca dan berhitung.
Begitulah kehidupan bangsa Arab sebelum Muhammad diutus menjadi rasul. Namun, apakah Muhammad merombak seluruhnya peradaban yang sudah mendarah daging setelah beliau menerima wahyu dari Allah? Jawabnya tidak seratus persen. Kenapa? Islam adalah agama yang menghargai budaya dan adat istiadat setempat. Hal ini menunjukkan kearifan dan keagungan Islam. Setiap tradisi dan budaya, ada yang jelek dan ada yang baik. Seperti contohnya, pembacaan tahlil untuk memperingati kematian seorang muslim, ritual muludan, pembacaan barzanji dan shalawat untuk Nabi. Semuanya mengandung nilai-nilai Islam yang telah terelaborasi dengan budaya lokal. Sama halnya ketika Nabi melarang poliandri dan mensahkan poligini, menyuruh kaum muslim untuk menutup auratnya, atau mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli.
Dari pemaparan-pemaparan di atas, kita harus menghargai pendapat dan tradisi kaum sebelum kita. Islam di pulau Jawa disebarkan oleh para wali yang kita kenal dengan istilah wali songo. Mereka dalam menyebarkan ajaran Islam tidak membuang budaya umat sebelumnya, yaitu Hindu dan Budha. Justru, itu dimanfaatkan untuk media dakwahnya. Sunan Kudus, misalnya, membangun Masjid al-Aqsha di Kudus dengan memakai struktur bangunan ala Hindu. Sunan Kalijaga menciptakan tradisi sekaten. Istilah sekaten berasal dari bahasa Arab yaitu Syahadatain, yaitu sebuah ucapan keyakinan untuk menjadi seorang muslim. Sunan Bonang yang menciptakan alat musik pukul yang bentuknya semacam gong kecil yang tersusun di atas tali-tali yang terentang diantara kerangka sandaran kayu dalam gamelan. Gong kecil ini kita kenal dengan istilah Bonang. Dan masih banyak lagi, para pendahulu kita yang mencoba menyebarkan Islam dengan merangkul tradisi setempat.
Dalam surat al-Baqarah [2]: 183, Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah puasa telah ada sejak sebelum Islam diturunkan. Dan Allah mengaggap bahwa puasa merupakan salah satu ibadah yang cocok untuk umat Muhammad hingga kiamat. Jadi, tidak selamanya tradisi umat terdahulu sudah tidak pantas dan cocok lagi untuk umat di masa yang akan datang.
Saat ini, banyak orang yang menyelewengkan Islam. Maksudnya bahwa, menganggap kelompoknya sudah mengikuti seratus persen apa yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, sehingga jika mereka melakukan ibadah yang tidak sesuai dengan kelompoknya adalah bid’ah, khurafat, bahkan bisa dikatakan murtad. Penilaian inilah yang menjadikan kita tidak menghargai Islam ala Indonesia. Dari sini timbul pertanyaan, “apakah kita orang Islam yang kebetulan hidup di Indonesia ataukah kita orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam?” pertanyaan itu selintas sederhana dan sama maksudnya, namun setelah kita cermati jawabannya bisa jauh berbeda sehingga bisa salah dalam memandang antara penduduk Indonesia dengan agama Islam.
Mari kita coba memetakan gambaran akan maksud pertanyaan di atas, sehingga bisa memberikan asumsi dasar mengenai ‘keislaman’ dan ‘keindonesian’. Indonesia adalah negara atau bangsa yang menyimpan ragam agama dan memiliki kebudayaan yang bernuansa Melayu. Sementara Islam adalah satu agama yang lahir dan berkembang di Arab yang memiliki kebudayaan yang berbeda sekali dengan kebudayaan Melayu.
Dari situ dapat dijelaskan, pertama, orang Islam yang kebetulan hidup di Indonesia. Pernyataan ini menekankan pada nilai ‘keindonesiaan’. Indonesia merupakan negara yang terletak di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia atau diantara Benua Australia dan Benua Asia. Yang secara otomatis, Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang akan berbeda dengan budaya atau tradisi bangsa lain seperti Arab, Eropa, atau Amerika. Hal ini ditunjukkan ketika mereka shalat berjamaah dengan menggunakan sarung dan berpeci hitam, menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian aktifitasnya, sehingga mereka dikenal sebagai Islam Pribumi atau Islam Lokal. Bukan malah merubah tradisi Indonesia yang mendarah daging dengan unsur-unsur budaya lain seperti tradisi Arab, memakai cadar, berjenggot, dan memakan makanan yang seolah-olah mengikuti tradisi semacam Rasulullah masih hidup. Bukankah Rasulullah telah wafat empat belas abad yang lalu? Lalu tidakkah ada perubahan selama kurun waktu yang lama tersebut?
Islam di sini bukan Arab, sehingga mereka memaksakan untuk menerapkan Indonesia dengan seluruh kebudayaannya harus di-Arab-kan. Jika mereka gagal memaksakan kehendak eksklusifnya di Indonesia, mereka akan menyebutkan bahwa tradisi yang ada di Indonesia sekarang ini semuanya bid’ah. Sementara itu, kita tahu, bahwa bid’ah itu sesat, dan segala sesuatu yang menyesatkan akan masuk neraka. Pendapat ini lambat laun akan mengikis budaya Indonesia yang telah lama kita lestarikan, hanya karena sekelompok umat Islam yang berpikiran sempit.
Kedua, orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam. Pernyataan ini berlawanan dengan pernyataan yang pertama. Paradigma ini memandang bahwa Islam bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran ini bisa diterapkan dimana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Di sinilah, Islam begitu mengapresiasikan budaya lokal, tradisi lokal, dan kearifan lokal, bahkan berpendapat bahwa adat istiadat bisa dijadikan hukum. Menjadi Muslim, tidak harus Arab. Dengan serba budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati.
Maka, mulai dari sekaranglah kita menghargai perbedaan pendapat, dengan tidak menuduh orang lain melenceng dari ajaran Islam. Sehingga kita bisa menghilangkan perpecahan diantara umat Islam sendiri hanya karena urusan yang sebetulnya bisa diatasi dengan cara musyawarah mufakat.












Menjauhi Hal-hal Yang Tidak Bermanfaat

Dalam kehidupan manusia, ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan sesuatu, yaitu manfaat dan madharat. Jika sesuatu yang akan kita lakukan mengandung banyak manfaat maka tidak ada salahnya kalau kita melakukannya baik untuk kepentingan pribadi maupun umum. Tetapi jika sesuatu yang akan kita kerjakan mengandung banyak ke-madharat-an maka kita harus meninggalkannya atau membatalkan rencana tersebut.
Sebagai contoh, kita berniat membangun yayasan yatim piatu atau perhimpunan kelompok tani dan nelayan. Niat kita benar untuk kesejahteraan orang banyak, tapi kita juga harus melihat dari sisi lain, seperti: menejemen organisasi, maksud dan tujuan yang jelas, konsep dan teori yang sudah matang, dan bukan atas kehendak nafsu sesaat. Jika itu semua diperhatikan, maka insya Allah tujuan mulia itu akan melahirkan banyak manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Tetapi jika itu dilakukan hanya untuk menjadi terkenal atau agar orang lain menghormati dan menghargainya, maka banyak ke-madharat-an yang terjadi. Karena apa? Karena dalam perjalanannya, kita akan mengalami permasalahan, perseteruan, dan perbedaan yang mengakibatkan perkumpulan tersebut menjadi besar atau malah sebaliknya, bubar dengan membawa segudang permasalahan. Jadi, perbaikilah niat kita terlebih dahulu sebelum melakukan suatu hal, walaupun itu baik.
Sebagai manusia, kita memiliki hak-hak pribadi yang tidak semua orang mengetahuinya, seperti: hak untuk memeluk suatu agama, memilih calon istri, dan hak untuk memilih ketua atau pemimpin. Dengan menghargai hak-haknya, maka ketentraman dan kenyamanan hidup akan terbina.
Dalam kehidupannya, Nabi tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Beliau tidak melayangkan pandangannya kepada para sahabat di sekitarnya dengan tujuan untuk mengetahui persoalan-persoalan pribadi mereka, baik yang dekat maupun yang jauh, karena hal itu akan mendatangkan dosa dan siksa.
Nabi juga senantiasa menjauhi hal-hal yang tidak berfaedah, dan tidak pula mengumbar kata-kata yang tidak berguna. Tetapi dia senantiasa berpegang teguh kepada budi pekerti yang mulia, membekali dirinya dengan keluhuran akhlak dan pergaulan yang baik dengan manusia. Rasulullah bersabda, “Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah.” (HR. Tirmizi dan Ibn Majah)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai bagi kalian tiga hal, yaitu kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh pada tali agama Allah dan tidak bercerai berai dan Allah membenci tiga hal, yaitu banyak bicara, banyak bertanya, dan menyianyaiakan harta benda.”
Hadits di atas untuk mengingatkan kita agar bertindak secara hati-hati dan disertai dengan perencanaan yang matang, sehingga kita tidak dicap sebagai orang yang banyak mengumbar ucapan yang tidak berfaedah.
Dalam memandang suatu hal, kita jangan langsung menghukumi atau memberikan penilaian secara langsung bahwa itu haram atau halal, baik atau buruk, dan manfaat atau madharat. Lalu, bagaimana cara memutuskan perkara tersebut?
Strategi dalam memutuskan perkara, antara lain: pertama, mempelajarinya sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dengan begitu kita akan mengetahui konsep dan praktek yang dilakukannya. Kedua, mencoba merasakannya yaitu dengan cara mengikuti perbuatan atau kegiatan yang sedang dijalankannya dengan hati dan perasaan yang ikhlas atau tidak ada penolakan-penolakan dalam hati. Ketiga, memberikan penilaian dampaknya, apakah banyak mengandung keuntungan atau kerugian. Keempat, baru memberikan komentar tentang kegiatan tersebut. Dengan tahapan-tahapan di atas, akan tercipta suasana teposliro dan toleransi kalau itu banyak manfaatnya. namun sebaliknya, jika itu banyak merugikan, maka harus kita tinggalkan dan tidak akan diperbuat lagi.
Kita menyadari, bahwa manusia itu banyak mengandung kesalahan dan kekhilafan, namun setidaknya bisa meminimalisir kesalahan tersebut dengan cara menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat. Isi hidup kita dengan hal-hal yang bermanfaat seperti, mengkaji ilmu-ilmu Allah, beribadah dan mematuhi perintah-perintah Allah, serta tidak menabrak norma-norma kemanusiaan yang berlaku. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi panutan untuk generasi berikutnya.























Murah Hati dan Dermawan

Allah menurunkan manusia ke muka bumi untuk menjadikannya sebagai khalifah. Memberikan kekayaan alam yang melimpah untuk kesejahteraan hidupnya. Memberikan akal dan wahyu untuk menjalani kehidupan. Namun, berapa persenkah yang bisa kita manfaatkan?
Akal terkadang digunakan untuk melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat, atau lebih parahnya, menggunakan untuk menghalalkan segala macam cara, seperti: memikirkan strategi untuk bebas dari persoalan hukum, tidak dituduh sebagai koruptor atau pencuri, dan memikirkan cara agar bisa menjadi anggota dewan atau pemimpin.
Untuk memperkecil hal-hal yang bisa merusak kehidupan, maka Allah mewajibkan zakat dan haji. Apa maksud dari kewajiban tersebut?
Rasulullah bersabda, “Kemiskinan bisa membawa orang kepada kekafiran”. Karena miskin, banyak orang yang berbuat kekerasan hanya untuk mengganjal perutnya yang kosong. Sehingga mereka berani mencuri, menjual harga diri, bahkan iman sekalipun digadainya. Sungguh, sebuah fenomena hidup yang harus kita atasi bersama. Jangan hanya sebagai simbol atau penyedap dalam janji-janji disaat kampanye.
Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya menurut yang ditetapkan oleh syariat. Dalam Islam, zakat yang wajib dikeluarkan, yaitu: zakat fitrah, zakat harta, zakat profesi, zakat pertanian, dan zakat perdagangan. Dengan banyaknya macam-macam zakat, ini menandakan bahwa umat Islam wajib menjadi umat yang kaya, bukan menjadi umat yang malas, tidak kreatif, bodoh, dan miskin.
Allah berfirman: “Perumpamaan [nafkah yang dikeluarkan oleh] orang-orang yang menfkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan [ganjaran] bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas [karunia-Nya] lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261)
“Apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya untuk kamu sendiri. Dan apa saja harta yang baik kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dirugikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 272)
Tiada hari dimana seorang hamba berada di pagi hari melainkan akan turun dua malaikat. Malaikat pertama berkata: ‘Ya Allah, berilah orang yang banyak bersedekah pengganti yang lebih baik’. Dan malaikat yang kedua berkata: ‘Ya Allah, berilah orang yang kikir kebinasaan harta.’
Kalau zakat merupakan ketentuan yang sudah diatur dalam Islam, baik waktunya maupun persentase besarnya harta yang wajib untuk zakat. Dan bagaimana kalau kita ingin mengeluarkan harta namun tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh zakat?
Islam merupakan agama yang tidak membebani umatnya. Islam juga merupakan agama untuk segala usia, status sosial, maupun jenis kelamin. Itulah sebabnya, Islam merupakan rahmat untuk semesta alam. Ada beberapa istilah, ketika harta tersebut tidak bisa mencapai tingkatan zakat, yaitu dengan sedekah dan infak.
Islam menghendaki kepada pemeluknya menjadi unsur pembangunan, kebaikan, perancang dan penopang bagi masyarakat. Dimana kemurahan hati dan kebaikannya dirasakan oleh orang-orang miskin dan yang membutuhkan pertolongan. Menjadikan setiap peluang kebaikannya sebagai sedekah, sebagai mana yang dinyatakan oleh Rasulullah, “Atas setiap Muslim ada sedekah. Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika dia tidak memiliki sesuatu?’ Rasulullah menjawab: ‘Dia berbuat sesuatu dengan kedua tangannya yang bermanfaat untuk dirinya lalu dia bersedekah.’ Para sahabat bertanya lagi: ‘Bagaiamana jika dia tidak mampu untuk melakukannya?’ Rasulullah menjawab: ‘Maka hendaknya dia membantu orang yang memerlukan.’ Para sahabat bertanya kembali: ‘Bagaimana jika dia tidak mampu?’ Rasulullah menjawab: ‘Dia menyeru yang ma’ruf atau mengajak kepada kebaikan.’ Para sahabat bertanya lagi: ‘Bagaimana jika dia tidak mampu?’ Rasulullah menjawab: ‘Dia menahan diri untuk tidak berbuat dosa, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika melihat hadits di atas, tingkatan sedekah itu tidak ada batasnya. Asalkan sesuatu tersebut bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain, itupun di kategorikan sebagai sedekah. Bahkan, senyum atau menyapa orang lain pun merupakan sedekah yang paling ringan.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
Yang kemudian diperkuat oleh hadits Rasulullah: “Berlindunglah dari api neraka, walau dengan sebutir kurma, karena sesungguhnya ia dapat mengenyangkan orang yang lapar.” (HR. Bukhari)
Demikianlah Rasulullah mengajarkan umatnya untuk tetap menjaga harga diri dan kemuliaannya dengan bermurah hati dan dermawan. Islam telah mewujudkan keterlibatan seluruh anggota masyarakat seluruhnya dalam kebaikan, membangun, menumbuhkan, mengembangkan, dan memperbaiki keadaan masyarakat. Islam juga mengalirkan dalam jiwa mereka rasa tenang, tentram, sejahtera, damai, dan bahagia. Dengan keterlibatan setiap anggota masyarakat dalam kebaikan, maka masing-masing merasa adanya kesetiakawanan sosial, menjaga kemuliaannya dan meletakkannya di depan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini.









Murah Senyum

Senyum merupakan ungkapan yang sangat baik. Dengan senyum, kita bisa meredam emosi dan pertengkaran. Senyum juga bisa menghilangkan prasangka buruk terhadap kita dengan sendirinya. Dengan senyum, kita bisa melihat orang itu merasa bahagia, senang, gembira, dan suka. Karena senyum merupakan gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan perasaan bungah dan riang gembira.
Dalam sebuah hadits menyebutkan “Tersenyumlah kalian ketika bertemu dengan saudara-saudaranya, karena senyum itu termasuk ibadah”. (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi). Begitu mudahnya Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah. Dengan menampilkan gerak ekspresif seakan tertawa pada muka kita tapi tanpa suara, maka kita sudah melakukan suatu ibadah. Inilah salah satu kesempurnaan cakupan Islam. Hal-hal yang kecil begitu diperhatikan dan dihargai.
Rasulullah merupakan contoh seseorang yang banyak tersenyum. Abdullah bin al-Harist menuturkan, “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebuh banyak tersenyum daripada Rasulullah SAW “.
Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu beliau, menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Ayahku tentang adab dan etika Rasulullah SAW terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau. Ayahku menuturkan, ‘Beliau senantiasa tersenyum, budi pekerti lagi rendah hati, beliau bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja mengharapkannya pasti tidak akan kecewa dan siapa saja yang memenuhi undangannya pasti akan senantiasa puas…..”
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya, paling lapang dadanya, dan paling luas kasih sayangnya, suatu hari aku diutus Nabi untuk suatu keperluan, lalu aku berangkat. Di tengah jalan, aku menemui anak-anak yang sedang bermain. Dan aku pun ikut bermain bersama mereka sehingga aku tidak jadi memenuhi suruhan beliau. Ketika aku sedang asyik bermain, tanpa sadar, ada seorang berdiri memperhatikan di belakangku dan memegang pundakku. Aku menoleh ke belakang dan aku melihat Rasulullah SAW tersenyum kepadaku lalu berkata, ‘Wahai Anas apakah engkau telah mengerjakan perintahku?’ Aku pun bingung dan berkata, ‘Ya, aku akan pergi sekarang ya Rasulullah!’ Demi Allah, aku telah melayani beliau selama sepuluh tahun dan beliau tidak pernah berkata kepadaku, ‘mengapa kau kerjakan ini? Mengapa kau tidak mengerjakannya?’”.
Senyum memang termasuk ibadah, tapi harus ditempatkan pada tempatnya. Walaupun Rasulullah murah senyum, yang menandakan rasa kasih sayangnya, tapi bukan berarti beliau orang yang lemah dan tidak berdaya. Beliau sangat tegas terhadap para sahabatnya yang jelas-jelas telah melanggar syari’at Islam, tidak peduli saudara, bangsawan, saudagar, atau rakyat biasa. Dengan begitu, aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Islam yang telah berpadu dengan budaya lokal bisa berjalan dengan semestinya, tanpa ada yang merasa diuntungkan atau dirugikan. Bisakan kita seperti Rasulullah?
Secara psikologis, senyum bisa membuat hati kita menjadi tenang, tentram, dan damai. Sedikit demi sedikit bisa menghapus ego, amarah, dan dendam. Tidak sedikit orang yang pemarah bisa luluh hanya dengan melihat orang di sekitarnya tersenyum penuh keikhlasan dan perdamaian. Karena itu, marah tidak harus dilawan dengan kemarahan pula, tapi dengan ketenangan hati dan ketentraman jiwa yang tercermin dalam senyum manis.
Mulailah dari sekarang untuk menebarkan senyum dengan penuh kasih sayang dan toleransi. Siapa saja yang ingin mengikuti Rasulullah SAW, maka ikutilah pula bagaimana Rasulullah SAW dalam beramah tamah dan mudah menebarkan senyuman. Beliau bukanlah pribadi yang bermuka sangar dengan mata tajam mengerikan dan rona wajah yang cemberut. Beliau adalah seseorang yang senantiasa tersenyum, bahkan pada orang yang menyakiti dan berperilaku yang menjengkelkan. Walaupun demikian, beliau adalah juga seorang yang tegas dalam masalah kebenaran. Siapa yang mengaku muslim, maka hanya Rasulullahlah teladan yang utama.




























Panutan Kasih Sayang

Allah menciptakan manusia dengan tangannya sendiri, karena Allah menginginkan makhluk yang sempurna untuk memelihara kelestarian alam semesta. Dilengkapi dengan akal dan nurani, ilmu dan pengetahuan, niat dan kreatifitas, bakat dan motivasi, dan sebagainya yang kesemuanya untuk melengkapi nuansa kehidupan seorang manusia. Allah menciptakan dua jenis saja, yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki ciri khas masing-masing. Laki-laki memiliki jiwa yang kuat, ego yang tinggi, dan kreatif. Sedangkan perempuan berjiwa santun, ramah terhadap lingkungan, ulet dan tekun. Keduanya harus saling bekerjasama dan saling melengkapi satu sama lain sehingga bisa menciptakan suasana yang tentram dan damai, tidak ada kedengkian diantara keduanya, serta bersama-sama mendidik dan mengasuh generasi muda yang bermanfaat bagi nusa, bangsa, keluarga, dan agama.
Namun, apa yang terjadi?
Pertumpahan darah, perkelahian dan saling hasut terjadi di sana-sini. Mereka merasa bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan, dan begitupula sebaliknya, perempuan merasa banyak jasanya dalam menghidupi keluarga. Maka, kiamat kecil terjadi di antara mereka, perceraianlah yang mereka tempuh, atau lebih parah lagi salah satunya mati terbunuh. Sungguh mengerikan. Lalu apa kesalahannya? Apakah akal dan wahyu yang Allah berikan tidak cukup?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Allah mengirimkan Rasul-Nya yang terakhir.
“Dan Saya tidak mengutusmu (Wahai Muhammad), kecuali sebagai kasih sayang (rahmat) bagi seluruh alam semesta.” (QS. al-Anbiyâ [21]: 107).
Ayat ini secara tegas menjelaskan tentang tugas kerasulan Muhammad, tanggung jawab yang sesungguhnya diberikan kepada Rasulullah, terutama dalam kaitannya dengan fakta dan realitas keumatan. Ayat tersebut juga memberikan jawaban, bahwa Rasulullah diutus sebagai pembawa kasih sayang bagi seluruh alam semesta.
Ada dua hal yang perlu diuraikan dalam ayat tersebut. Pertama, makna rahmatan. Secara bahasa, rahmatan berarti kelembutan dan kepedulian (al-riqqah wa al-ta’aththuf), selain itu bisa berarti ampunan (al-maghfirah) dan rezeki (al-rizq). Bahkan dalam al-Qur’an, menurut Muhammad ‘Abd al-‘Athi Buhayri menyebutkan sejumlah makna rahmah, yaitu: rezeki manusia dan binatang (QS. al-Isrâ [17]: 100); rintik-rintik hujan (QS. al-Syûrâ [42]: 28); selamat dari ujian dan cobaan (QS. al-Zumar [39]: 38); selamat dari siksa api neraka (QS. al-Nûr [24]: 10); kemenangan atas musuh (QS. al-Ahzâb [33]: 17); cinta kasih diantara orang-orang beriman (QS. al-Hadîd [57]: 27); dan surga atau tempat kedamaian (QS. al-A’raf [7]: 56). Dengan demikian, makna kata rahmah adalah kemulian-kemulian yang dilakukan oleh seorang Nabi kepada umatnya. Karena dengan kemulian tersebut, Nabi menjadi teladan bagi umatnya. Dalam sebuah ayat menyebutkan, “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang mulia bagi kalian.” (QS. al-Ahzâb [33]: 21). Oleh karenanya, beliau sebagai penebar kasih sayang bagi seluruh manusia di muka bumi ini.
Kedua, makna lil ‘alamîn. Menurut Imam al-Razi, kasih sayang Nabi Muhammad SAW tidak hanya bagi orang-orang Muslim dan non-Muslim, melainkan juga untuk agama dan dunia. Untuk agama, karena Rasulullah menjelaskan jalan kebenaran bagi mereka yang sedang dalam keraguan. Al-Qur’an menyebutkan, “Katakanlah bahwa dia (Muhammad) bagi orang-orang yang beriman adalah petunjuk dan kesembuhan.” (QS Fushshilat [41]: 44). Setelah kedatangan Nabi Muhammad SAW, maka jalan kebenaran semakin jelas dan terang benderang sehingga tidak ada lagi imitasi, sikap otoriter dan klaim kebenaran. Karena itu, kedatangan Rasulullah adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Sedangkan rahmat di dunia, manusia selamat dari kenistaan dan peperangan. Bahkan, umat Islam memenangkan peperangan.
Salah satu kisah yang bisa dijadikan pedoman atas sifat kasih sayang Nabi Muhammad SAW, yaitu: Pada suatu saat, ada sekelompok orang-orang Yahudi mengucapkan salam kepada Nabi. Namun, salam tersebut berisi kecaman. “Laknat dan kematian bagimu, wahai Muhammad”. Siti Aisyah, istri tercinta, yang mendengarkan ucapan tersebut langsung menjawab dengan nada emosi. “Laknat dan kematian bagi kalian semua”. Rasulullah kemudian menegur Aisyah, “Pelan-pelan wahai Aisyah. Hendaknya kamu bersikap lemah lembut dalam menghadapi masalah”. Dalam hadits lain, Rasulullah berpesan “Hindarilah kekerasan dan perbuatan kasar”. Kemudian Rasulullah membalas salam tadi dengan salam perdamaian.
Kisah ini menunjukkan bahwa sebaiknya kekerasan lisan tidak dibalas dengan kekerasan lisan pula. Api bukan disiram dengan minyak. Api harus disiram dengan air agar baranya tidak semakin berkobar dan bisa dipadamkan. Dengan demikian, Rasulullah ingin menunjukkan kerahmatannya kepada umatnya dan umat-umat agama lainnya. Dalam al-Qur’an, beliau digambarkan dengan akhlak tertinggi, yang tentu saja ingin memberikan keteladanan yang tertinggi pula, bahwa kekerasan lisan bukanlah cara terbaik untuk mengajak umat kepada kebaikan. Nabi bersabda, “Mereka yang menebarkan kasih-sayang, niscaya dikasihi oleh Allah Yang Maha Kasih. Kasihanilah mereka yang hidup di bumi, niscaya Allah yang ada di langit mengasihi kalian” (HR. Turmudzi). Dalam hadits kursi, Allah berfirman “Jika kalian mengharapkan rahmat-Ku, maka kasihanilah makhluk-Ku”. Karena itu, kasih sayang dan rahmat Nabi kepada umatnya merupakan perwujudan dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.
Bisakah kita menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia tanpa diiringi kedengkian dan kekecewaan?
Mulai dari sekarang, marilah kita tanamkan rasa kasih sayang kepada sesama manusia seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah! Untuk pertama kali, mungkin terasa berat, tapi kalau kita berusaha dari lingkungan yang terkecil, seperti pengendalian emosi sendiri, tidak membuat kerusakan di sekitar kita, hingga bisa menyatukan pihak-pihak yang telah lama berseteru. Sikap kasih sayang itu akan melekat terus dalam hati kita, ketika kita melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada Allah, Pemilik dan Pengusa alam semesta ini. Dengan penuh keyakinan, kita bisa melakukan itu semua. Bukankah manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan?










































Pedagang Yang Jujur

Sebelum Muhammad diangkat menjadi rasul, beliau melakukan kegiatan yang biasa masyarkat Arab lakukan, yaitu berdagang. Pada usia 25 tahun, Nabi berangkat ke Syam untuk menjajakan barang-barang dagangan Khadijah binti Khuwailid al-Asadiyah, seorang bangsawan yang kaya raya. Khadijah memang biasa mempekerjakan orang lain untuk memperdagangkan barang-barangnya dengan sistem bagi hasil. Mendengar bahwa Nabi Muhammad al-Mustafa SAW. seorang yang jujur dan dapat dipercaya, Khadijah segera saja memintanya untuk kerjasama dalam perdagangan dengan sistem tersebut, bahkan untuk orang semacam dia, Khadijah rela memberikan keuntungan lebih banyak kepadanya. Muhammad berangkat ditemani Maisarah, pembantu Khadijah. Tidak berapa lama, Nabi kembali dengan membawa keuntungan yang luar biasa besarnya. Maisarah sendiri menyaksikan keberkahan tersebut dan menceritakannya kepada Khadijah. Karena itu, Khadijah mempercayai kebenaran kabar tentang kejujuran Muhammad, karena Dia sendiri yang mengalaminya.
Suatu waktu, Abu Thalib mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin, mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu, usahanya itu terus dikembangkan.
Rahasia keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdagang menjadi daya tarik tersendiri bagi Khadijah untuk dijadikan suaminya. Apakah rahasia keberhasilan Nabi Muhammad SAW tersebut? Allah memberikan aturan dalam berjualan. Aturan tersebut banyak diungkapkan dalam al-Qur’an. Diantara sekian banyak ayat yang menerangkan tata cara berdagang, yaitu surat al-Muthaffifîn [83] ayat 1-3 yaitu; “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” Dan surat Al-Isrâ [17] ayat 35 “Sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Kedua ayat tersebut menyuruh kita untuk berbuat jujur dalam berdagang. Walaupun sepertinya kita mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari berbuat curang, namun kenyataannya, kita rugi dan akan mengalami kepailitan beberapa saat kemudian.
Kejujuran dalam berjualan, baik itu ukuran timbangan maupun kualitasnya, harus sesuai dengan apa yang telah kita ucapkan pada saat sebelum terjadinya transaksi.
Pada saat sekarang ini, banyak kejadian yang sangat merugikan pembeli. Seperti kasus penjualan sapi glondongan, pencampuran daging babi dengan daging sapi, daging ayam suntikan, hanphone rekondisi, menukar uang kembalian dengan permen, mengotak-atik timbangan agar kelihatan lebih berat, dan berbagai macam penyelewengan lainnya. Lalu, apakah dengan cara tersebut penjual dapat meraup keuntungan?
Mungkin untuk pertama kalinya, pembeli percaya dengan ucapan ‘manis’ penjual. Tapi, jangan harap untuk selanjutnya. Dari sinilah, kerugian penjual yang berbuat curang berawal. Maka, berkata dan berbuatlah dengan jujur dan tanpa muluk-muluk.
Memang, saat sekarang, penipuan untuk mengeruk keuntungan lebih dari penjualan dengan berbagai motif, mulai dari penempelan harga-harga yang tidak wajar sampai pemberian uang kembalian bukan berupa alat transaksi yang sah, atau malah mengatakan bahwa tidak ada uang kecil/kembalian. Bukankah pembeli adalah raja yang harus dilayani dan dihargai dengan kejujuran dan keikhlasan? Bagaimanakah kita harus menghindari hal yang merugikan pihak lain tersebut? Jawabannya adalah kejujuran dalam bertransaksi harus ditanamkan sejak saat kita mulai membuka atau bergabung dengan perdagangan.
Rasulullah berkata, “Sesungguhnya kejujuran itu membimbing seseorang kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu mengantarkannya ke dalam surga. Sesungguhnya orang yang terus berlaku jujur, hingga tertulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sedangkan, curang (dusta) membimbing seseorang kepada kejahatan, dan akan mengantarkannya ke dalam neraka. Sesungguhnya seseorang yang terbiasa curang (dusta) tercatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
Dari hadits di atas, bahwa kejujuran merupakan asas keutamaan dan pangkal dari keluhuran akhlak. Sedangkan, kecurangan (dusta) merupakan sumber kehinaan, kerusakan, dan merupakan amalan-amalan yang buruk.
Semoga kita termasuk golongan pedagang yang jujur dan terhindar dari perkara yang syubhat dalam bertansaksi. Amin.















Pembela Kaum Perempuan

Dalam buku-buku sejarah, banyak ditulis tentang kehidupan bangsa Arab sebelum Islam masuk. Ada yang menyebutkan bahwa bangsa Arab merupakan bangsa yang paling hancur peradabannya. Dan ada juga yang menyatakan bahwa, bangsa Arab merupakan bangsa yang paling jelek moralnya. Namun di sisi lain, bangsa Arab dinilai sebagai bangsa yang tinggi nilai kesastraannya. Tidak ada bangsa lain yang bisa menandingi mereka dalam menulis sebuah karya sastra.
Contoh dari kebobrokan moralnya pada saat itu adalah, mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Mereka beranggapan bahwa memiliki bayi perempuan merupakan aib terbesar bagi keluarganya, sebaliknya, melahirkan bayi laki-laki merupakan sebuah kebanggaan dan awal kejayaan keluarganya. Oleh karena itu, bayi perempuan harus dibunuh, karena tidak berharga. Mereka menganggap bahwa, perempuan itu lemah dan menyusahkan. Terkadang, perempuan dianggap sebagai harta yang bisa diwariskan (QS. an-Nisâ [4]: 19). Maka tidak jarang, seorang ibu harus mengurusi anak laki-lakinya sendiri setelah bapaknya meninggal, layaknya seperti seorang istri kepada suaminya bukan seperti ibu dan anak. Perempuan bisa digilir sebagai pemuas nafsu laki-laki. Perempuan yang sedang haid, diasingkan dari keluarganya, karena mereka sedang mendapatkan azab atas dosa yang telah diperbuatnya. Tidak sampai disitu saja, perempuan dijadikan tumbal bagi setiap upacara keagamaan. Sungguh, perempuan pada saat itu tidak memiliki harga diri. Mereka tidak kuasa mempertahankan hidup dan kehormatannya sendiri.
Itulah yang terjadi pada saat pra-Islam. Maka pantaslah kalau peradaban bangsa Arab disebut sebagai peradaban jahiliah. Ketika Islam hadir, banyak perubahan yang terjadi pada saat itu. Perubahan yang memakan waktu kurang lebih 23 tahun, bisa merombak budaya Arab secara besar-besaran. Kaum perempuan bisa menikmati hidupnya sejajar dengan laki-laki.
Dalam surat al-Ahzab [33]: 35-36, Alllah berfirman: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap pada ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Dan dalam surat Ali Imrân [3]: 195, Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain.”
Disamping ayat-ayat yang disebutkan di atas, yang dengan jelas menyatakan bahwa derajat laki-laki dan perempuan adalah sama, ada ayat-ayat lain juga yang mengangkat persamaan antara laki-laki dan perempuan, antara lain QS. an-Nisâ [4]: 124; QS. an-Nahl [16]: 97; dan QS. al-Mukmin [40]: 40. Dikarenakan mereka berasal dari keturunan yang sama, yaitu Nabi Adam AS dan Siti Hawa. Hanya iman dan takwa yang membedakan derajat mereka di hadapan Allah. Oleh karena itu, laki-laki harus menghargai perempuan, dan begitu juga sebaliknya, perempuan harus menghormati laki laki. Dalam sebuah hadits, Nabi menyatakan bahwa, “Ada hak laki-laki atas perempuan dan perempuan memiliki hak atas laki-laki.”
Sungguh, betapa agung ajaran yang dibawa oleh Nabi terakhir ini. Tidak diragukan lagi, kalau Nabi merupakan pembela kaum perempuan yang tertindas. Beliau dengan sungguh-sungguh ingin mengangkat derajat kaum perempuan yang terpuruk itu.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita mengenal banyak pahlawan perempuan, seperti Cut Nyak Dien, RA. Kartini, dan Dewi Sartika. Hal ini menepis anggapan bahwa perempuan adalah kaum yang lemah dan tidak berdaya.
Tidak hanya sampai di situ, perjuangan kaum perempuan untuk membuktikan bahwa merekapun bisa seperti laki-laki terus menggema. Di era reformasi, untuk pertama kalinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dipimpin oleh seorang presiden perempuan antara tahun 2001-2004, yaitu Megawati Soekarno Putri. Ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia layak untuk diperhitungkan dalam memajukan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju lainnya.
Bukan hanya di panggung politik saja, kiprah perempuan Indonesia berkibar di dunia, tetapi juga di arena olahraga, seperti Susi Susanti dari Bulu Tangkis dan Yayuk Basuki dari Tenis. Jadi, masihkan kita menomorduakan perempuan? Bukankah mereka juga sama-sama cerdas, kreatif, dan bertanggungjawab?
Jika seorang Rasulullah saja berani dan berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan agar sejajar dengan kaum laki-laki, kenapa kaum laki-laki sekarang diam dan enggan untuk mensejajarkan kaum perempuan? Adakah rasa asah, asih, dan asuh dalam hati kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, atau begitupula sebaliknya?










Pemimpin Yang Adil dan Bijaksana

Yang menyebabkan Nabi lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya. Muhammad menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira, Nabi menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya, Nabi berkata: ”Nabi-nabi yang diutus Allah itu menggembala kambing.” Dan katanya lagi: ”Musa diutus, dia menggembala kambing. Daud diutus, dia menggembala kambing. Dan aku diutus, juga menggembala kambing keluargaku di Ajyad.”
Allah sengaja menguji para Nabi dengan menggembalakan kambing di masa mudanya. Pekerjaan tersebut memerlukan kesabaran yang besar. Kambing merupakan salah satu hewan yang susah diatur. Sang penggembala merupakan pemimpin bagi kawanan kambing yang di gembalakannya.
Dari pengalaman seperti itulah, menanamkan rasa adil pada jiwa seorang pemimpin, terutama bagi Rasulullah sendiri. Mulai dari memberikan jatah makan dan minum sesuai dengan daya kemampuan yang dimiliki setiap hewan.
Dalam tataran ini, adil tidak mesti sama bagiannya, namun lebih pada penekanan kemampuan dan kapasitasnya sesuai dengan usia dan pengalaman hidupnya. Sebagai contoh, seorang ibu akan memberikan uang jajan yang berbeda antara anaknya yang sekolah di SMU dengan yang sekolah di SD. Ini bukan menandakan bahwa seorang ibu pilih kasih atau sekehendaknya sendiri, tapi ini menunjukkan rasa kasih sayang yang sejati. Kita lihat sekarang, anak usia SD yang diberi jajan seribu rupiah akan merasa nyaman daripada membawa uang sepuluh ribu rupiah. Ibu akan merasa khawatir kalau uang jajannya tidak dipergunakan sebaik mungkin karena sang ibu tahu, anaknya belum bisa menata uang jajannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan tidak merugikan kesehatannya.
Namun, dalam hal penegakan hukum dalam bernegara atau bermasyarakat, seorang pemimpin harus bersikap adil dan bijaksana dalam bertindak. Adil disini berarti tidak memihak atau memandang seseorang dari satu segi saja, seperti kekuasaannya, kekayaannya atau yang lainnya, sehingga ia merasa tidak ada satu hukumpun yang bisa melawannya. Disisi lain, rakyat yang miskin, tidak punya kekuatan, dan hidup penuh dengan penderitaan merasakan hukum yang lebih parah dari orang-orang yang hidupnya lebih sejahtera dari mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mencontohkan bahwa keadilan harus ditegakkan, sehingga ”yang lemah merasa kuat,” dan ”yang kuat tidak bisa bertindak sewenang-wenang terhadap yang lemah.”
Keadilan lazimnya, diterapkan berkaitan dengan pengambilan keputusan dan penetapan hukuman, dan itu diberlakukan tanpa pandang bulu. Untuk itu, dibutuhkan suatu landasan yang dapat memberikan jaminan hukum. Sedangkan jaminan hukum yang kuat adalah jika keadilan tersebut diterapkan terlebih dahulu oleh sang penegak hukum.
Pada masa Rasulullah menjadi pemimpin, beliau menegakkan keadilan dari keluarganya sendiri, dengan mengatakan: ”Jika sekiranya Fathimah anakku mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya”. Di lain waktu, beliau berkata: ”Sesungguhnya kaum-kaum yang sebelum kalian dihancurkan Allah karena jika ada orang-orang miskin yang melakukan kejahatan, mereka menghukumnya, tetapi jika pelakunya kaum bangsawan, mereka membebaskannya.” Dan Rasulullah berkata: ”Orang yang paling di cintai di sisi Allah di hari kebangkitan adalah pemimpin yang adil, dan orang yang paling dibenci oleh Allah yaitu pemimpin yang sewenang-wenang.” Hadits ini memperkuat surat al-Mâidah [5]: 8-9; ”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah telah menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Dari ketiga dalil naqli tersebut, banyak pelajaran yang harus kita ambil hikmahnya. Pertama, pemimpin merupakan orang yang diberikan amanah oleh masyarakat karena dianggap bisa membimbing kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Kedua, orang yang menegakkan keadilan di muka bumi harus bersikap adil dan kuat untuk mengatakan bahwa yang hak itu benar dan yang bathil itu salah. Ketiga, janganlah kalian memandang keadilan atas ’baju’ atau ’tingkat sosial’ si pelaku, tapi lihatlah perbuatan yang telah dilakukannya melalui pertimbangan hukum yang berlaku. Keempat, menegakkan keadilan seperti memegang bara api, dipegang tangan akan terbakar tetapi kalau dilepas, bara api tersebut akan membakar area di sekitarnya. Kelima, manusia hanya mencari keadilan yang benar sesuai dengan peraturan yang berlaku, sedangkan keadilan yang hakiki hanya milik Allah semata.
Bisakan kita memulai bertindak adil sedini mungkin, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat tempat tinggal kita? Bukankah kita sebagai bangsa yang beradab harus bersikap adil terhadap siapapun? Ataukah itu hanya sebagai penghias dikala kita terdesak? Wallahua’lam.













Pengayom Anak Yatim

Pada hari senin tanggal 22 April 570 M atau bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal tahun gajah, seorang ibu dari kaum terpandang di jazirah Arab melahirkan seorang bayi laki-laki yang tidak di dampingi oleh suaminya. Yah, dialah Siti Aminah ibunda dari Nabi. Beliau melahirkan anaknya beberapa bulan setelah suaminya meninggal ketika dalam perjalanan. Kita bisa membayangkan betapa sedihnya perasaan seorang istri yang melahirkan anak hasil buah hati mereka, namun pada saat yang dinantikannya, dia telah pergi meninggalkan istrinya untuk selama-lamanya. Aminah begitu tabah dan ikhlas menghadapi semuanya dengan hati yang lapang dan fikiran yang jernih. Ia tahu bahwa anaknya tidak akan pernah memanggil ‘ayah’ untuk selama-lamanya.
Warisan Abdullah yaitu lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman, yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi, peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; dan tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu, umur Abdullah yang masih muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencari kekayaan. Dalam pada itu, ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.
Pada hari ketujuh kelahirannya itu, Abdul Muthallib meminta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. ”Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi”, jawabnya.
Silsilah Nabi Muhammad SAW. yaitu Muhammad bin Abdullâh bin Abdul Muthallib bin Hâsyim bin Abd Manâf bin Qusay bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghâlib bin Fihr bin Mâlik bin al-Nadr bin Kinânah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyâs bin Mudar bin Nizâr bin Ma’ad bin Adnân. Ibunya bernama Amînah binti Wahb bin Abd Manâf bin Zuhrah bin Kilâb. Jadi bapak dan ibu Nabi Muhammad SAW. bertemu pada Kilâb. Silsilah Nabi Muhammad SAW. berujung sampai pada Nabi Isma’îl bin Nabi Ibrâhim AS. Kira-kira dalam keturunan yang keempat puluh.
Dari pengalamannya tersebut, maka Nabi pernah bersabda bahwa ”Jarak antara aku dengan orang yang memelihara anak yatim seperti jari telunjuk dengan jari tengah”. Sebuah jarak yang sangat dekat. Dari kutipan hadits tersebut, maka kita tertarik untuk menjadi orang yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat kelak. Bisakah kita melakukannya?
Harta anak yatim bisa membawa kita kepada dua hal yang sangat berlawanan, yaitu kebahagiaan dan kesengsaraan, rahmat dan laknat, surga dan neraka. Semua itu tergantung kepada kita selaku orang yang mengasuh mereka.
Dalam sejarah Isra’ Mi’raj, Rasulullah mengunjungi Neraka. Nabi melihat orang-orang bermoncong seperti moncong unta, tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam mulut mereka dan keluar dari dubur. Rasulullah bertanya: “Siapa mereka itu, ya Jibril?”
”Mereka yang memakan harta anak-anak yatim secara tidak sah,” jawab Jibril.
Di negara kita, banyak bermunculan panti asuhan, yayasan yatim piatu, maupun pesantren-pesantren bagi anak yatim. Ini merupakan perwujudan dari rasa belas kasih para dermawan terhadap penderitaan yang telah mereka terima dalam hidupnya. Mereka mencoba mengamalkan hadits Rasul, ”alangkah mulia harta seorang Muslim yang dikumpulkan dari harta yang halal dan dibelanjakan karena Allah kepada anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil.” Dari hadits tersebut, kita bisa berkata bahwa, mengasuh anak yatim merupakan perbuatan yang terpuji, namun jika mereka lalai terhadap pengasuhannya sehingga anak yatim merasa tidak nyaman dan tersiksa, maka nerakalah balasannya.
Anak yatim bisa membuat hati seseorang yang keras menjadi lunak. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa ada seorang laki-laki yang memprotes hatinya yang keras. Rasulullah berkata: ”usaplah kepala anak yatim dan beri makan orang miskin”
Namun di sisi lain, tidak jarang yang memanfaatkan anak yatim dan fakir miskin untuk mengeruk keuntungan dari belas kasih orang lain. Mereka mempekerjakan anak yatim dan fakir miskin untuk kepentingan pribadinya. Sungguh, mereka tidak bermoral dan tidak berahlak. Mengeksploitasi anak yatim dan fakir miskin merupakan perbuatan yang dikecam keras oleh Islam, sebagai agama yang cinta kasih.
Bukan hanya sampai disitu, Allah pun melaknat perbuatan mereka. Karena menghardik anak yatim merupakan salah satu perbuatan yang mendustakan agama. Pernyataan Allah termaktub dalam surat al-Ma’ûn ayat 1-3: ”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yaitu orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.”
Lalu bagaimana solusinya, agar kita tidak termasuk orang yang mendustakan agama?
Islam adalah agama cinta kasih. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling berbagi, saling menolong, dan saling mencintai. Allah berfirman dalam surat Al-Mâidah ayat 2, ”Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”. Ayat ini secara jelas, menganjurkan kepada umat Nabi untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Oleh karena itu, mulai dari sekarang kita harus membantu atau memberikan sesuatu yang kita miliki untuk kebahagiaan anak yatim dan fakir miskin, dan semoga kita tidak termasuk golongan orang yang mendustakan agama. Sungguh rugi orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji, namun termasuk golongan orang yang mendustakan agama. Beragama tapi berdusta.
Ayat 1-3 Surat al-Ma’ûn merupakan ayat yang mengangkat harkat dan derajat anak yatim dan fakir miskin. Kita tidak menyadari kalau mereka merupakan salah satu tiket untuk masuk surga atau neraka. Perlakuan kita terhadap merekalah yang menentukan kita untuk mendapatkan salah satunya. Islam menganjurkan kepada kita untuk berzakat, bershadaqah, dan berinfak. Hasil semua itu salah satunya diberikan kepada anak yatim dan fakir miskin.
Karena perlakuan Allah yang begitu mengangkat derajat mereka, maka orang-orang beramai-ramai untuk berpura-pura menjadi anak yatim dan fakir miskin. Dengan jalan seperti itulah, mereka bisa mendapatkan makan demi kelangsungan hidupnya. Pekerjaan yang mudah diantara sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Menjadi pengemis adalah profesi mereka. Mengemis bukan karena kesulitan ekonomi, namun karena sulitnya mendapatkan pekerjaan dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak. Orang-orang seperti inilah yang mencoba membungkus agama untuk kepentingannya sesaat. Apakah mereka tidak pernah mendengar hadits bahwa ”tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”? Entahlah, hanya Allah yang mengetahui isi hati, niat dan maksud dari mereka semua itu. Kita hanya berusaha untuk berbuat baik terhadap Allah, Rasul-Nya dan umat-Nya. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mendapatkan dan membelanjakan harta di jalan Allah. Amin...

























Penyabar

Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya, Khadijah dan Abu Thalib, kaum Quraisy makin keras mengganggu Nabi Muhammad SAW. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke atas kepalanya. Tahukah apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih di atas kepala. Fatimah, puterinya lalu datang membersihkan tanah yang ada di kepala itu. Ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah daripada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak perempuan. Setitik air mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang puteri adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu, dan akan menangis kesakitan. Juga secercah duka yang menyelinap ke dalam hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher, dan hampir pula menggenangi mata.
Sesunggunya aqidah Islam yang terfokuskan pada iman kepada Allah dan ridha apa yang ditentukan-Nya, memberikan ketenangan dan ketentraman di dalam hati seorang Mukmin ketika dia menghadapi berbagai macam kesulitan.
Seorang Muslim mempercayai bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya dan apa yang luput darinya tidak akan menimpanya. Sekiranya seluruh penduduk bumi bersatu untuk membahayakannya dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan membahayakannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditentukan Allah atas dirinya.
Jika demikian, jika seorang Muslim mengalami musibah pasti akan bersabar karena kesedihannya tidak akan mampu mengubah sama sekali realitas yang dihadapinya. Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang sabar berupa kemenangan di ujung kesabarannya. Allah berfirman dalam surat Hûd [11] ayat 49: ”Bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” Dan dalam surat al-Baqarah [2] ayat 155-157: ”Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ’Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Apakah sabar itu?
Istilah sabar berasal dari bahasa Arab dari kata ‘shabara’ yang artinya bersabar atau tabah hati. Ada juga yang mengartikan ‘al-Habs’ atau ‘al-Kaff’ yang berarti menahan diri. Sabar juga bisa dikatakan dengan istilah menahan, yaitu menahan diri dalam menghadapi cobaan, seperti: tidak lekas marah, tidak mudah putus asa, serta tidak gampang patah hati, hal seperti ini bisa disebut dengan istilah tabah. Jadi, secara istilah, sabar adalah sebagai suatu kekuatan, daya positif yang mendorong jiwa untuk menunaikan kewajiban dan juga sebagai suatu kekuatan untuk mencegah atau menghalangi seseorang untuk melakukan suatu kejahatan atau kemaksiatan.
Menurut Ibn Qayyum al-Jauziyah, sabar adalah dapat menahan diri dari melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan juga mampu mengendalikan hawa nafsu yang bisa mengguncangkan iman. Sedangkan al-Ghazali mengatakan bahwa, sabar adalah suatu keteguhan motivasi agama dalam meninggalkan perbuatan yang diinginkan oleh hawa nafsu, karena perbuatan tersebut tidak bermanfaat untuk kepentingan dunia dan akhirat.
Melihat definisi di atas, menandakan bahwa pengertian sabar itu luas dan bermacam-macam. Lalu terbagi menjadi berapa kategori sabar tersebut?
Jika dilihat dari segi esensinya, sabar terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Sabar dalam ketaatan, yaitu:
Istiqomah dalam menunaikan hukum Islam, yaitu selalu menjaga kelangsungan ibadah yang sedang dilakukan.
Menyadari diri bahwa semua yang dimiliki adalah titipan Allah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya, sehingga seseorang dituntut untuk mendayagunakan titipan itu sebagai sarana dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
Daya positif yang mendorong jiwa untuk tetap tegar dalam menunaikan kewajiban sebagai seorang makhluk.
2. Sabar dalam menghadapi musibah, yaitu:
Sabar dalam menghadapi musibah yang ditakdirkan.
Meyakini bahwa Allah tidak akan menimpakan sesuatu di luar batas kemampuan hamba dalam menanggungnya, sehingga akan melahirkan sikap optimis bisa keluar dari kesulitan yang terjadi.
Menyadari diri bahwa apa yang menimpanya adalah ujian dari Allah yang berakibat terhadap lahirnya sikap tenang pada saat tertimpa musibah.
3. Sabar terhadap maksiat, yaitu:
Daya pencegahan yang menghalangi jiwa melakukan dosa, maksiat, dan kejahatan.
Menahan diri dari perlakuan buruk orang lain yang melahirkan sikap memaafkan (menahan amarah).
Kekuatan yang ada dalam diri manusia untuk mengalahkan hawa nafsu.
Allah tidak akan menyianyiakan hamba-Nya yang berbuat sabar dalam hidupnya. Dalam sejarah Islam, sebagian besar Nabi dan Rasul yang diutus Allah memiliki kesabaran yang luar biasa. Sebagai contoh, Nabi Nuh AS yang berdakwah selama 950 tahun, hanya ditemani oleh 11 orang yang ikut dalam perahunya. Nabi Ayyub AS yang diuji dengan badan yang bau busuk selama bertahun-tahun, hingga harus hidup sendiri karena istrinya pergi meninggalkannya. Sedikit pengikut Nabi Yahya AS yang meninggal sebagai syuhada. Dan Nabi Isa AS sebelum diangkat Allah hanya ditemani oleh 12 orang.
Penderitaan yang menimpa para pembawa wahyu Allah pada kenyataannya merupakan bagian integral dari misi mereka. Orang-orang yang mereka kabari akan memberikan reaksi balasan dengan kata-kata atau kadang-kadang bisa berupa penolakan dengan kekerasan. Bila para pembawa wahyu itu mulai meratapi apa yang diterimanya dari orang-orang di sekitarnya, maka kesungguhan keimanan mereka dipertanyakan. Mereka berjuang dengan ikhlas mengibarkan bendera keimanan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, tidak membuat mereka berputus asa dan hal itu merupakan ujian dalam kesabaran yang ada di hati mereka.
Jalan menuju kebahagian abadi, penuh dengan aral dan rintangan. Kunci dalam menghadapi semua itu adalah kesabaran dan keikhlasan kepada kehendak Allah SWT. Dalam sebuah Hadits qudsi, Rasulullah menegaskan: ”sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, maka hendaknya keluar dari kolong langit-Ku dan hendaklah dia mencari Tuhan selain-Ku.”
Apakah sabar itu ada batasnya?
Dalam kehidupan, sabar tidak mengenal batas ruang dan waktu. Ia bisa berada dalam keadaan apapun. Setiap manusia memiliki dua sifat yang saling bertentangan, keduianya tidak akan muncul secara bersamaan dalam satu waktu dan kejadian, seperti misalnya sabar dengan marah atau tergesa-gesa. Bisa jadi kita bersikap sabar terlebih dahulu kemudian disusul dengan luapan emosi yang menggebu-gebu, seakan-akan ia berhadapan dengan mangsa atau mush bebuyutannya.
Kebanyakan orang salah mengartikan bahwa sabar itu ada batasnya. Dari sini timbul pertanyaan siapa yang membatasi sabar tersebut? Apakah Allah yang dicontohkan oleh para Rasul-Nya atau hawa nafsu yang ada dalam pikiran dan hatinya?
Dalam sejarah para nabi, kita mengenal istilah Ulul Azmi. Sebutan ini untuk para nabi yang nilai kesabarannya melebihi kesabaran para rasul atau nabi yang lainnya. Mereka adalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Kelima nabi tersebut sudah teruji derajat kesabarannya. Bisakah kita seperti mereka?
Dengan mengubah pemikiran bahwa sabar ada batasnya, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang bersabar dalam menghadapi kehidupan yang sedang kita jalani di dunia saat ini. Dan juga, semoga kita tidak pernah mengenal kata putus asa dalam menghadapi musibah atau cobaan yang menimpa kita, apalagi berprasangka buruk terhadap qadha dan qadar Allah. Amin.







Penyampai Amanah

Tahukah anda, apakah amanah itu? Apa manfaat menyampaikan amanah dalam kehidupan kita?
Untuk itu, mari kita pelajari terlebih dahulu tentang pengertian amanah tersebut. Dalam bahasa Indonesia, amanah yaitu sebuah titipan atau kepercayaan. Atau dengan kata lain amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan atau dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan penuh kejujuran dan keikhlasan. Dengan begitu, amanah merupakan sesuatu yang harus kita sampaikan. Oleh karenanya, Kepercayaan merupakan sesuatu yang mahal harganya. Sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan materi. Dengan menyampaikan amanah, kita bisa membentuk kepribadian yang jujur dan bermoral tinggi.
Ketika seseorang menitipkan sesuatu kepada kita untuk disampaikan kepada orang lain, maka kita wajib menyampaikannya dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Saat ini, berapa banyak perbandingan antara orang yang amanah dengan yang tidak?
Memang, kita tidak bisa menilai orang dari bentuk fisik dan penampilan luarnya saja. Namun, kita juga harus menilai akhlak dan kepribadian atau gaya berbicaranya. Terkadang kita terpesona dengan penampilan dan bentuk fisik seseorang, sehingga kita langsung mempercayakan sesuatu yang berharga kepadanya. Akibatnya, tidak jarang mereka mengalami kerugian dan penyesalan yang tiada tara.
Kalau memang kita membutuhkan jasa orang lain untuk menyampaikan sesuatu, lebih baik kita menggunakan jasa lembaga yang sudah dikenal kredibilitas dan profesionalitasnya. Hal ini menandakan bahwa kita merupakan makhluk sosial, yang artinya, kita membutuhkan pertolongan maupun bantuan orang lain. Jangan percaya, kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa dia hidup tanpa bantuan orang lain.
Mari kita renungkan kehidupan kita sehari-hari, mulai dari bangun tidur hingga kita tidur kembali. Kita ambil contoh disaat kita makan. Nasi, sayuran, atau ikan yang kita makan berasal dari mana? Kita tidak mungkin menanam padi atau sayuran tanpa adanya suatu keahlian dan waktu yang cukup. Musthail dapat menghasilkan hasil yang maksimal tanpa didukung oleh waktu dan keuletan. Belum lagi bumbu-bumbu yang membuat makanan tersebut menjadi sedap dan nikmat. Piring atau sendok yang kita gunakan. Dan masih banyak lagi kegiatan hidup kita sehari-hari yang baik secara langsung maupun tidak membutuhkan jasa orang lain.
Rasulullah bersabda, ”Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia tidak menepatinya, dan apabila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan menyia-nyiakan amanah, baik disengaja maupun tidak, apakah itu bukan termasuk ciri-ciri orang munafik?
Di era demokrasi, Indonesia menerapkan sebuah sistem pemilihan umum yang jujur, adil, dan bertanggungjawab. Jujur artinya berbuat dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa ada penyelewengan-penyelewengan maupun perjanjian yang melukai proses demokrasi. Adil artinya bertindak sesuai aturan hukum tanpa harus memandang siapa yang berkuasa dan akibat dari keputusannya. Tapi, tetap berpegang pada hukum yang berlaku untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Sedangkan bertanggung jawab artinya bertindak sesuai dengan hasil keputusan bersama tanpa diiringi rasa benci, dendam dan kecewa. Memang, sudah sepantasnya kalau dalam sebuah perlombaan, kompetisi, ataupun semacamnya ada yang menang dan ada yang kalah. Dan biasanya, yang menang bersorak gembira, tapi yang kalah bertindak brutal dan anarkis. Untuk mengantisipasinya, negara harus melindungi hak-haknya sebagai warga negara, baik itu hak berpendapat, hak memeluk suatu agama, maupun hak untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi. Kalau pesta demokrasi berjalan dengan adil, jujur, dan bertanggungjawab, maka insya allah pemimpin di masa yang akan datang akan berjalan sesuai dengan hasil kesepakatan yang berlandaskan peraturan yang berlaku.
Dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota dewan, presiden, gubernur, hingga kepala RT, mengadakan sebuah kampanye. Kampanye adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh partai politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan untuk mendapatkan dukungan massa pemilih dalam suatu pemilihan. Apa yang dilakukan oleh mereka dalam sebuah kampanye? Biasanya dalam suatu kampanye, para calon mengutarakan visi dan misi kalau terpilih nanti. Kata-katanya biasanya berupa janji-janji untuk kesejahteraan rakyat, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, penegakan hukum secara adil, dan masih banyak lagi. Namun, apa yang terjadi setelah mereka menduduki jabatan yang dimaksud? Rakyat atau pemilih tetap pada kehidupannya seperti sedia kala, tanpa ada peningkatan kualitas kehidupannya, janji tinggal janji, dan hanya orang-orang yang ingat dan dekat kepadanyalah yang bisa menikmati janji yang pernah terlontar selama kampanye tersebut. Apakah mereka tidak menyadari, kalau jabatan adalah amanah? Dan barangsiapa yang menyepelekan amanah merupakan bagian dari orang munafik.
Dalam sejarah Islam, sesudah Rasulullah wafat, para sahabat bingung untuk menetukan siapa pengganti beliau untuk memimpin mereka. Para sahabat yang kebanyakan adalah kelompok Anshar dan kelompok Muhajirin mengadakan musyawarah di balai pertemuan Bani Sâ’idah yang diketuai oleh Sa’d bin Ubaidah. Merekapun saling bertukar pendapat tentang kriteria pemimpin pengganti Rasulullah. Dalam perdebatan tersebut, Abu bakar menarik tangan Umar bin Khatab dan Abu Ubaidah, ia mengajak para sahabat untuk membaiat salah satunya untuk dijadikan sebagai pengganti Rasulullah. Namun, apa yang terjadi? Umar berkata di depan orang banyak, ”Hai kaum Anshar tidakkah kalian ketahui bahwa Rasulullah memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat?”
”Kami tahu itu,” jawab mereka.
”Lantas siapa di antara kalian yang ingin melangkahinya?” tanya Umar lantang.
”Allah melarang kami untuk melangkahinya,” jawab mereka.
Umar langsung memegang tangan Abu Bakar dan berbaiat mendukungnya. Abu Ubaidah dan orang-orang Muhajirin yang lain mengikutinya, begitupula dengan orang-orang Anshar.
Pada keesokan harinya, di waktu fajar, Abu Bakar duduk di mimbar. Umar bangkit dan berbicara di hadapan majelis, mengajak mereka berbaiat kepada Abu Bakar, yang ia gambarkan sebagai yang terbaik di antara kalian, sahabat Rasulullah, ”salah seorang di antara dua orang yang berada di dalam gua.” (QS. at-Taubah [9]: 40). Ayat ini menunjukkan keutamaan Abu Bakar sebagai sahabat Nabi dalam suasana genting.
Kemudian Abu Bakar memuji dan bersyukur kepada Allah dan berpidato di hadapan mereka: ”Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebaikan, bantulah aku; dan jika aku melakukan kesalahan, maka luruskanlah aku. Bersungguh-sungguh kepada kebenaran adalah kesetiaan dan pengingkaran kepada kebenaran adalah penghianatan. Orang yang paling lemah di antara kalian akan menjadi kuat di sisiku, hingga aku serahkan haknya kepadanya, insya Allah; dan orang yang paling kuat di antara kalian akan menjadi lemah di sisiku, hingga kau ambil harta yang bukan haknya, insya Allah. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika aku tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku! Tegakkanlah shalat kalian, Tuhan merahmati kalian!”
Dunia memang berbeda, yang secara otomatis kehidupan dan masa pun berbeda pula. Sekarang, untuk memperoleh pemimpin yang amanah tidak seperti yang di lakukan oleh Umar dalam menunjuk Abu Bakar. Indonesia memiliki aturan tersendiri, yaitu dengan pemilihan umum yang demokratis, jujur, adil, dan bertanggung jawab. Di pentas demokrasi tersebut, kita dituntut untuk jeli memilih pemimpin yang jujur, amanah, tegas, adil, dan bertanggung jawab. Janganlah kita membeli kucing dalam karung. Kenalilah mereka secara baik-baik dengan cara yang elegan. Semoga kita dipimpin oleh pemimpin yang sesuai dengan keinginan masyarakat yang memilihnya.












Percaya Diri

Pada awal Rasulullah menerima wahyu, beliau mendapatkan cacian dan makian yang tidak ada habis-habisnya. Kafir Quraisy dengan berbagai cara, menindas dan mengancam Nabi beserta pengikutnya. Mulai dari penyiksaan, pengucilan, sampai pemutusan hubungan dagang. Yang mengakibatkan penderitaan yang dirasakannya. Kaum Muslimin tidak putus asa dan berkecil hati, tetapi malah sebaliknya, mereka percaya diri dan semakin teguh imannya. Padahal yang diinginkan oleh kafir Quraisy, adalah mereka kapok dan takut untuk memeluk agama Islam dan kembali kepada agama nenek moyang mereka.
Para sahabat memiliki kepercayaan tinggi terhadap kemampuan dirinya. Mereka percaya bahwa, jika orang lain mampu melakukan sesuatu, maka merekapun pasti bisa melakukan hal yang sama. Rasa rendah diri, mereka hindari jauh-jauh. Sebab, jika rasa rendah diri itu menguasainya, maka saat itu, mereka telah kalah sebelum bertanding. Hal inilah yang menjadikan kemenangan di perang Badr, yang secara hitungan angka pasti kalah.
Kunci kita untuk mencapai kesuksesan pribadi hari ini adalah kegigihan. Lakukanlah pekerjaanmu. Bukan pekerjaanmu saja lalu sudah, tetapi tambahlah sedikit lagi demi kemurahan hati, sedikit tambahan yang sama harganya seperti yang lain. Curahkan hatimu pada pekerjaan itu dan langit akan menjadi cerah. Kemudian, dari kesangsian dan penderitaanmu, justru akan lahir kegembiraan besar dalam hidup. Manfaat terbesar dari kehidupan adalah mengisi hidup sedemikian rupa sehingga manfaat hidup melampaui masa hidupmu sendiri.
Dalam al-Qur’an maupun Hadits telah menanamkan kepercayaan dalam diri kaum Muslimin. Seperti Surat Ali Imran [3]: 110, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Dan Rasulullah berkata: “Islam itu tinggi dan pantang direndahkan.” Lebih lanjut, Nabi mengajarkan, “Jika ada diantaramu yang berjalan di suatu jalan yang sempit, dan dari arah yang berlawanan ada non-Muslim yang berjalan di jalan itu, maka desaklah ke pinggir.” Sikap ini hendaknya diartikan sebagai ajaran tentang kepercayaan diri dan bukan kesombongan dalam menghadapi orang lain.
Melihat dari ketiga dalil naqli (dalil yang merujuk pada al-Qur’an dan Hadits Nabi) tersebut, betapa tingginya kita sebagai manusia maupun sebagai umat Islam. Betapa agungnya, ajaran yang telah ditanamkan oleh Nabi selama berabad-abad lamanya.
Sebagai manusia, kita diberikan akal, sehingga kita bisa membedakan mana yang mulia dan mana yang nista, yang terpuji dan yang tercela, dan yang bagus dan yang jelek. Dari situlah, kita mendapatkan derajat yang lebih tinggi dari para malaikat sekalipun. Namun, ketika akal dan kepercayaan yang diberikan oleh Allah disalahgunakan, maka derajat kita lebih rendah daripada seekor hewan.
Jadi, lawanlah rendah diri yang ada dalam benak kita dengan rasa percaya diri dan semangat pantang menyerah. Bukankah itu yang dicontohkan oleh Nabi kita?










































Pribadi Yang Luhur

Pribadi Nabi Muhammad SAW sungguh menarik hati seluruh manusia yang mengakui kebenaran, kepribadian Rasulullah jelas diterangkan dalam al-Qur’an surat Ali Imran [3] ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu (Muhammad) bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Dari kutipan ayat di atas dapatlah disimpulkan bahwa, Nabi Muhammad adalah utusan Allah Yang Maha Luhur. Keluhuran budi pekertinya membuat lawan maupun kawan terkesima dengan akhlaknya. Beliau juga disebut sebagai al-Qur’an yang berjalan. Oleh karena itu, berbuatlah sesuai dengan apa yang Nabi Muhammad SAW. lakukan. Di bawah ini ada beberapa sifat luhur Nabi Muhammad SAW, antara lain:
Orang yang paling sabar, paling berani, paling adil dan paling menjaga diri.
Tidak pernah tangan beliau menyentuh tangan wanita yang bukan muhrim, bukan istri, maupun bukan budaknya.
Mengasihi umat dan menyayangi keluarga dan sahabatnya.
Orang yang pemurah hati, suka bersedekah dengan apa yang dia miliki.
Melakukan aktifitas keperluannya sendiri, seperti menjahit bajunya dan menambal sandalnya dan mengurus kepentingan keluarganya.
Sangat pemalu – tidak tetap pandangannya pada muka seseorang.
Suka menghadiri undangan dari siapapun baik bangsawan maupun orang biasa.
Menerima hadiah dan membalas hadiahnya.
Tidak memakan harta sedekah.
Tidak sombong.
Memarahi dan melaksanakan kewajibannya atas dasar kebenaran.
Suka menolong orang lain dengan tidak memandang status sosialnya.
Rajin berpuasa dan tidak makan secara berlebihan.
Santun dan menikmati makanan yang ada di hadapannya.
Lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri.
Tawadhu’, bersahaja, dan tenang.
Lebih mengutamakan urusan akhirat daripada dunia, tapi tidak melepaskan urusan dunia dengan sia-sia, justru beliau menyeimbangkan kedua urusan tersebut hanya untuk mencari keridhaan dari Allah semata.
Berpakaian sederhana, rapih, bersih, dan tidak menampakkan sesuatu yang mewah.
Mengunjungi orang sakit dan orang meninggal.
Menyukai wangi-wangian.
Duduk dan makan bersama orang-orang miskin dan berbuat baik dengan kaum bangsawan.
Memuliakan orang-orang yang berakhlak dan tidak menistakan orang-orang yang berkelakuan jahat.
Bergurau/tersenyum dan tidak mengatakan sesuatu yang sia-sia dan bohong.
Tidak takut kepada raja karena kekuasaannya.
Ummi dan hafiz/paling fasih/merdu membaca Al-Qur’an/bahasa Arab.
Tidak pernah mencaci, memaki, mengutuk, memfitnah, mengumpat, menganiaya, iri, dengki, tamak terhadap siapapun, baik kepada sahabat maupun musuhnya.
Tidak memukul kecuali di atas jalan Allah SWT, bukan pedendam, dan tidak memutuskan tali silaturrahim.
Paling kuat ibadahnya, paling berilmu/arif, paling banyak taubat dan syukurnya.
Memuliakan tamu dan tetangganya.
Berdiam diri dengan tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya.
Pembela wanita
Suka menasihati
Dari sekian banyak sifat luhur tersebut, adakah sifat yang kita lakukan setiap hari sebagai umat Nabi Muhammad SAW? Kita sering mengucapkan kata ’sunnah rasul’, namun kita tidak melakukan apa yang menjadi sifat keseharian beliau. Pantaskah kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW, namun salah satu dari sekian banyak sifatnya tidak kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari?
Dalam diri manusia ada dua sifat, yaitu sifat terpuji dan sifat tercela. Dari kedua sifat tersebut, kita bisa menilai bahwa orang tersebut jahat atau baik. Lingkungan dan kesempatan merupakan unsur yang paling penting dari seseorang untuk berbuat sesuatu, entah itu baik maupun jahat, walaupun sebelumnya kita tidak berniat melakukan hal tersebut. Seperti contohnya, seorang yang ahli ibadah hidup bersama dengan perempuan cantik dalam satu bangunan. Pada awal-awalnya mungkin si abid kuat untuk tidak melakukan perbuatan tidak senonoh tersebut, namun lama-kelamaan ketika situasi dan kesempatan berpihak padanya, iapun sebagai lelaki yang normal akan merasakan kenikmatan sesaat tersebut. Yang pada akhirnya, ibadahnya hancur gara-gara perbuatan yang telah dilakukannya dalam waktu sesaat tersebut. Disinilah kecerdikan syetan dalam memperdaya keturunan Nabi Adam AS. untuk menjadi temannya di neraka selama-lamanya. Kejadian di atas merupakan peristiwa yang mengakibatkan orang terjerumus ke dalam perbuatan tercela hanya karena adanya kesempatan yang memihaknya.
Namun, ada juga kesempatan yang memihaknya merubah dari perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji. Dalam sejarah, kita telah mengetahui proses masuk Islamnya Bilal bin Rabah. Bilal adalah budak Umayyah yang kemudian dibeli oleh Abu Bakar ash-Shidiq dan langsung dibebaskannya.
Bilal memeluk Islam karena panggilan hatinya. Ia meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. merupakan ajaran yang bisa membawanya kepada kebahagiaan akhirat kelak. Statusnya sebagai budak atau hamba sahaya tidak melunturkan semangatnya untuk menjadi pengikut setia Rasulullah.
Keislaman Bilal harus dipertaruhkan dengan siksaan dan ancaman yang harus diterimanya. Ia mengetahui kalau tuannya, Umayyah tidak akan merestui dirinya memeluk ajaran yang dibawa oleh Muhammad.
”Bilal kenapa kamu masuk Islam? Bukankah aku yang memberimu makan, minum, dan pakaian?” Tanya Umayyah dengan membentak setelah mengetahui bahwa budaknya telah masuk Islam.
”Benar Tuanku, hamba telah mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Rasulullah.” Jawab Bilal dengan suara lirih dan tegas.
”Tidakkah kamu tahu bahwa akulah pemilik jiwa dan ragamu. Aku yang telah membeli dan merawatmu hingga sekarang!”
”Benar Tuanku, hamba memang budak tuan. Raga hamba adalah milik anda dan akan tunduk pada perintah anda, tapi jiwa dan ruh hamba tidak bisa dikuasai oleh siapapun termasuk tuan, jiwa dan ruh hamba tidak bisa digantikan oleh materi apapun.”
Mendengar jawaban Bilal yang keras kepala, Umayyah sudah tidak sabar lagi untuk menyiksanya dengan siksaan yang sangat pedih. Bilal tidak gentar dengan ancaman Umayyah. Islamnya sudah menyatu dalam hati dan jiwanya. Umayyah membawanya ke padang pasir yang panas dengan terik matahari yang membakar. Diletakkannya Bilal di atas panasnya padang pasir dengan kepala menatap matahari langsung dan di atas badannya ditaruh batu dengan ukuran yang sangat besar. Bilal merasakan siksaan tersebut setiap hari. Ia pingsan menahan siksaan berat tersebut. Namun, tidak menggoyahkan keimanannya.
Suatu hari Abu Bakar melintasi padang pasir yang biasa Umayyah menaruh budaknya yang menyeleweng dari Latta, Manat, dan Hubal, Tuhannya. Dibelinya Bilal dengan harga yang telah disepakati kedua belah pihak. Lalu Abu Bakar berkata kepada Bilal: ”Engkau telah bebas karena telah mempertahankan keyakinanmu itu.” Setelah bebas dari statusnya sebagai budak, Bilal dikenal sebagai muadzin pertama dalam sejarah Islam.
Dari kedua cerita tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kita tidak akan mengetahui jalan hidup kita, apakah berakhir dengan husnul khâtimah atau sû’ul khâtimah? Oleh karena itu, kita harus menerapkan sifat luhur Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman hidup kita sehari-hari dalam keadaan dan situasi apapun tanpa mengeluh dan membatasinya demi kepentingan sesaat.
Dari situlah, kita mengetahui bahwa manusia memiliki beberapa tingkatan dalam bersikap. Ada berapakah tingkatan sikap manusia itu?
Sikap manusia mempunyai dua tingkatan, yaitu tingkat manusia umum dan tingkat manusia istimewa. Sikap yang umum, prinsipnya adalah ”lakukan seperti apa yang telah diperlakukan kepadamu.” Sikap semacam itu adalah ”sikap munafik”. Sebab, orang yang memiliki sifat itu hanya mampu menanggapi perbuatan orang lain pada dirinya seperti apa adanya; mereka akan menjauhi orang yang merugikan, akan menyakiti hati orang yang melukai hatinya, dan menyakiti orang yang melukai mereka.
Sedangkan tingkat sifat yang lebih tinggi, yaitu berdasarkan ”lakukan apa yang dapat kamu lakukan”. Orang yang berfikir seperti itu akan memperlakukan kawan atau lawan dengan sikap yang sama, tidak peduli apa yang telah mereka lakukan terhadap dirinya. Mereka menyukai kedamaian. Bahkan, orang-orang yang yang telah merugikan dirinya, mereka selalu berbelas kasih. Begitupula terhadap teman yang telah mencelakai kita. Mereka juga sabar dalam menghadapi orang-orang yang memfitnahnya. Pada tingkat inilah, Nabi Muhammad SAW berada.
Suatu ungkapan yang menggambarkan kepribadian Nabi, ”Jangan pernah merendahkan harkatmu dengan mengatakan pada orang lain bahwa kalau kamu berbuat baik pada-Ku, maka Aku akan berbuat baik padamu. Dan bila kamu berbuat jahat, maka Aku akan membalasmu lebih buruk lagi. Sebaiknya biasakanlah dirimu berbuat baik pada orang yang berbuat jahat padamu dan jangan menyalahkan orang yang mencelakaimu. Bergandeng tanganlah dengan mereka yang meninggalkanmu, maafkan mereka yang telah merugikanmu, dan tetap santun pada mereka yang memfitnahmu.”
Sekarang timbul pertanyaan dalam benak kita, apakah kita bisa berbuat sesuai dengan apa yang telah Nabi Muhammad SAW ajarkan?


























Rajin Beribadah

Suatu malam, ketika Rasulullah berbaring berselimutkan jubahnya, datang perintah Allah yang lebih tegas dan lebih penting dari yang pernah diterimanya. Ayat itu mengingatkan manusia akan Hari Pengadilan. “Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Agungkan Tuhanmu! Bersihkanlah pakaianmu! dan tinggalkanlah perbuatan dosa! dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan bersabarlah untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu. Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS al-Muddatstsir [74]: 1-10)
Di malam lain, tidak lama sesudahnya, beliau terbangun oleh perintah berikutnya. Beliau dan para pengikutnya diharapkan meningkatkan intensitas ibadahnya. Ayat itu menegaskan betapa besarnya tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperdua atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (QS. al-Muzammil [73]: 1-5)
Dalam surat yang sama juga diperintahkan “Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. al-Muzammil [73]: 8-9)
Rasulullah adalah orang yang jujur dalam keimanannya. Beliau senantiasa beribadah kepada Allah dengan penuh semangat dan keikhlasan yang tinggi. Karena beliau menyadari bahwa Allah memberikan kewajiban kepada hamba-Nya untuk beribadah. Sesuai dengan firman Allah, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzâriyât [51]: 56)
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’âm [6]: 162)
Ayat-ayat di atas memerintahkan kita untuk beribadah dengan ikhlas hanya mengharapkan ridla dari Allah semata. Sebelum menjelaskan seputar ibadah, kita harus memahami istilah ibadah terlebih dahulu. Apakah pengertian ibadah itu?
Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah dalam pengertian ini, terangkum dalam rukun Islam. Rasulullah bersabda, “Islam dibangun oleh lima rukun: menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi yang mampu melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah yang biasa kita kenal dengan sebutan ibadah. Barangsiapa yang meninggalkannya, kebanyakan orang akan langsung menuduhnya sebagai kafir, murtad, musyrik, atau semacamnya, sehingga mereka dengan mudahnya untuk mengatakan bahwa darahnya halal karena sudah keluar dari ajaran Islam. Apakah kita layak menghukum orang yang telah mengucapkan kalimat syahadat hanya karena berbeda aliran dengan kita? Apakah kita malaikat yang bisa mengetahui isi hati orang lain?
Mari kita uraikan satu persatu rukun Islam yang telah disebutkan di atas. Pertama, sebelum memeluk Islam, diwajibkan terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat syahadat yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mengakui bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, sekaligus mengimani bahwa beliau adalah rasul atau nabi terakhir, karena tidak ada nabi atau rasul sesudahnya.
Yang kedua yaitu mendirikan shalat. Shalat atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah sembahyang, yaitu sebuah ritual untuk mengagungkan keesaan Allah yang diawali takbiratul ihram dan diakhiri salam serta membaca bacaan-bacaan tertentu pada setiap gerakannya dengan penuh keikhlasan dan kekhusyu’an yang seolah-olah kita akan meninggal sesudahnya. Dalam melakukan shalat, ada ketentuan-ketentuan tersendiri, seperti syarat sah shalat, rukun, wajib, dan sunah-sunah shalat, semuanya terangkum dalam kajian fikih. Dengan mendirikan shalat, kita akan terhindar dari hal-hal yang sia-sia (QS. al-Ankabût [29]: 45); terbebas dari dosa dan kemaksiatan (QS. Hûd [11]: 114); menanamkan jiwa disiplin (QS. al-Muzammil [73]: 20); menjaga kebersihan (QS. al-Mâidah [5]: 6); dan masih banyak lagi manfaat dari mendirikan shalat. Karena begitu mendasarnya perintah shalat ini, sebuah hadits menyebutkan bahwa “shalat adalah tiang agama”. Namun, apa yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kita. Apakah kita telah benar-benar mendirikan shalat? Kalau memang iya benar, mengapa barang-barang di masjid sering hilang? Dan parahnya lagi, kenapa masjid dijadikan pusat persengketaan antar kelompok tertentu yang satu sama lain mengklaim, golongan merekalah yang berhak mengatur kegiatan masjid tersebut? Untuk itu, marilah kita koreksi diri sendiri, dimana letak kelemahannya dalam mendirikan shalat lima waktu tersebut. Rasulullah bersabda, “berapa banyak orang yang menjalankan shalat (di malam hari), tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa dalam shalatnya kecuali kesia-siaan.”
Yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya sesuai dengan aturan fikih. Dengan zakat, rasa toleransi dan saling menghargai kehidupan orang lain berjalan secara berkesinambungan. Tolong menolong dan gotong royong akan terbina dengan sendirinya. Sehingga, satu sama lain terpacu untuk bekerja keras, tanpa putus asa dan membenci takdir akan kehidupan yang sedang dijalaninya.
Selanjutnya yaitu puasa. Puasa yaitu menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa juga diartikan sebagai menahan diri dari tindakan yang tercela, penuh kesia-siaan yang tidak mengandung manfaatnya sama sekali baik untuk diri sendiri, masyarakat, maupun agama. Dengan berpuasa, rasa sombong dan merendahkan orang lain bisa hilang, yang berganti dengan rasa iba setelah merasakan sendiri penderitaan orang lain. Namun, jika tidak ada perubahan sama sekali dalam jiwa seseorang, ini menandakan bahwa ibadah puasanya tidak menemui esensinya. Rasulullah bersabda, “berapa banyak orang yang menjalankan puasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya rasa haus dan lapar.” Untuk itu, cobalah koreksi diri sendiri apa yang hilang dalam esensi puasa yang kita jalani selama ini.
Dan terakhir yaitu haji. Haji adalah sebuah ritual yang dilakukan di tanah suci pada waktu yang telah ditentukan, seperti ihram, thawaf, sa’i, jumrah, dan wukuf. Ibadah ini hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup. Kenapa? Dalam menjalankan ibadah haji, seorang calon harus mempunyai ongkos perjalanan dari Indonesia menuju Saudi Arabia yang jumlahnya ditentukan setiap tahun oleh pemerintah, melalui Departemen Agama RI. Disamping mempunyai ongkos perjalanan dan biaya hidup selama di tanah Arab, juga jangan menelantarkan keluarga yang ditinggalkannya. Karena apalah artinya sebuah ibadah kalau menelantarkan keluarganya secara disengaja. Saat ini, ibadah haji sudah dijadikan alat politik seseorang untuk selamat dari kepenatan hidup yang sedang menimpanya, dan sekaligus meningkatkan status sosial dalam masyarakat dengan menambahkan huruf ‘H’ atau sebutan ‘Haji” sebelum namanya. Dalam masyarakat, ada beberapa orang yang marah, karena sudah berkali-kali melaksanakan haji, namun ‘simbol’ tersebut tidak tertulis dalam namanya. Dimana letak keikhlasan ibadahnya? Bukankah Allah tidak memandang seseorang karena status sosialnya, melainkan nilai ketakwaannya?
Itulah beberapa kegiatan yang biasa disebut dengan ibadah. Namun, dengan semakin pesatnya ilmu pengetahuan, pengertian ibadah sedikit demi sedikit mengalami penambahan.
Dalam pengertian lain, ibadah yaitu segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, maupun terhadap alam semesta.
Ibadah dalam pengertian ini tergolong ibadah yang ringan tetapi harus diimbangi dengan semangat kerja sama, tanpa kemalasan dan kecurigaan, serta menghilangkan persengketaan dan kekerasan. Seperti contohnya, membaca al-Qur’an; bersilaturrahmi dengan saudara maupun tetangga terdekat; menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin; mengajak seseorang untuk menjadi kreatif dan inovatif; membantu meringankan penderitaan para petani, nelayan, dan rakyat kecil; tidak membuat kehidupan orang lain menjadi terancam, penuh kecemasan, dan tidak nyaman; tidak merusak populasi suatu hewan maupun ekosistemnya; tidak menebang pohon yang mengakibatkan banjir dan erosi; melakukan penghijauan dan penggunaan pupuk organik serta pengolahan tanah secara teratur dan tidak membabi buta; mendirikan koperasi untuk kesejahteraan para anggotanya; mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang layak dan terjangkau untuk semua kalangan; dan masih banyak lagi ibadah-ibadah lainnya.
Dengan mengamalkan ibadah-ibadah di atas, baik menurut pengertian ibadah yang pertama maupun yang kedua, jika dijalankan dengan ikhlas, jujur, dan penuh tanggung jawab, insya Allah, kehidupan umat Islam akan menjadi contoh bagi umat-umat yang lainnya. Semoga Allah merahmati semua ibadah kita sejak lahir hingga meninggal kelak.











































Rendah Hati

Rasulullah merupakan contoh manusia yang sempurna. Beliau adalah orang yang jujur, tidak sombong di hadapan para sahabat, istri, maupun kerabatnya, meskipun dia seorang utusan Allah, serta sekaligus pemimpin umat Islam. Beliau juga mengajarkan kepada umatnya, bahwa sombong atau membanggakan diri dapat menghalangi pelakunya untuk meraih kenikmatan di akhirat. Karena, kenikmatan surga dapat diraih oleh hamba-hamba yang tidak sombong dan membanggakan diri. Dalam sebuah hadits menyatakan, “Barangsiapa yang mempunyai rasa sombong dalam hatinya, meskipun seukuran atom, mereka tidak akan masuk surga. Seorang laki-laki bertanya: ‘Namun bagaimana jika menyukai baju yang bagus dan sepatu yang mengkilat?’ Rasulullah menjawab: ‘Allah adalah indah dan mencintai keindahan. Sombong adalah menolak iman dan menyepelekan orang lain’” (HR. Muslim, Turmudzi, dan Abu Daud)
Dari Haritsah bin wahb berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Maukah aku kabarkan kepadamu sifat penghuni neraka, yaitu orang yang berperangai kasar, dan membusungkan dada saat berjalan dengan sombong”. (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas dengan jelas menyatakan bahwa sombong adalah menolak iman dan menyepelekan orang lain. Memandang rendah atau menyepelekan orang lain merupakan tindakan yang tercela. Mereka tidak menyadari bahwa dalam diri mereka sendiri juga tersimpan banyak kekurangan-kekurangan. Tidak ada satu manusiapun yang sempurna. Lalu, apa yang bisa kita bangga-banggakan?
Seperti contohnya, kita memandang rendah para petani, nelayan, atau buruh. Padahal, kita tidak akan mampu untuk menanam padi, sayuran, atau buah-buahan sendiri. Dari mana makanan yang kita konsumsi setiap hari kalau bukan dari para petani. Dari siapa ikan-ikan yang kita makan sebagai bahan protein hewani kalau bukan karena jasa para nelayan. Dan atas jasa siapa perusahaan atau pabrik besar itu tetap beroperasi kalau tidak ada buruh atau karyawan. Coba kita renungkan, betapa lemahnya kita ketika harus terjun ke sawah yang panas karena sinar matahari, menantang angin laut yang disertai ombak yang tidak teratur, dan tenaga dan pikiran yang harus dikeluarkan untuk hasil yang maksimal.
Dalam Ilmu Pengetahuan Alam, kita hidup di sebuah planet yang diberi nama dengan Bumi. Padahal kalau kita lihat dalam astronomi, jumlah planet itu tidak satu melainkan ada sembilan. Bumi yang kita tempati beserta planet-planet yang lain tergabung dalam sebuah galaksi, yaitu Galaksi Bima Sakti. Padahal di alam raya ini banyak sekali galaksi-galaksi. Jadi, kalau kita lihat dengan satelit pengintai, manusia yang hidup di bumi seperti debu-debu yang menempel di sebuah kaca, kecil dan tidak terasa ketika dipegang.
Dalam hidup bernegara, kita mengenal istilah pemimpin atau ketua. Pada struktur kepengurusan yang paling rendah yaitu ketua RT. Ketua RT mempunyai atasan yaitu Ketua RW. Sedangkan ketua RW adalah bawahan dari kepala desa atau lurah. Begitulah seterusnya dari camat, bupati atau walikota, gubernur hingga terakhir presiden. Lalu apakah presiden merupakan jabatan yang tertinggi. Jawabannya adalah tidak. Dalam negara Indonesia, kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Jadi presiden adalah pembantu atau pegawai yang mengurusi kepentingan dan keperluan rakyat. Kalau begitu, dimanakah posisi seseorang untuk bersikap sombong atau angkuh?
Bumi ini bukan untuk orang-orang yang sombong. Al-Qur’an menyatakan: “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi, serta (kesudahan yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. al-Qashash [28]: 83)
Janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai” (QS. Luqmân [31]: 18-19)
“Bukankah dalam neraka Jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (QS. az-Zumar [39]: 60)
Maka, siapakah yang pantas untuk sombong, manusia, malaikat, syetan, jin atau hanya Allah Yang Menciptakan mereka semuanya?
Dalam sebuah hadits, Allah berfirman: ”Perkasa adalah kain sarung-Ku dan sombong adalah pakaian-Ku, dan barangsiapa yang menandingi-Ku dari salah satu keduanya, maka niscaya Aku akan menyiksanya”. (HR Bukhari dan Muslim)
Sudah jelaslah bahwa yang berhak untuk sombong hanyalah Allah semata, dan tidak ada satupun yang patut untuk sombong, sekalipun seorang Nabi Adam AS, yang semua makhluk harus sujud kepadanya, atau syaitan yang merasa lebih tinggi derajatnya karena terbuat dari api.
Selanjutnya, bagaimanakah kita harus bersikap?
Dalam sebuah ayat, Allah menerangkan “Hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapanya, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.” (QS. al-Furqân [25]: 63)
Rasulullah bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam mencari rahmat Allah dengan rendah hati dan jujur. Karena kedua kebaikan tersebut akan lenyap pertama kali dari dunia”.
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah, niscaya kita akan menemukan kepribadian yang agung, keteladanan yang hidup dan tiada bandingnya dalam hal tawadlu’, rendah hati, lemah lembut, pemaaf, pemurah dan penuh toleransi. Hingga ketika beliau melewati sekelompok anak-anak yang sedang bermain, beliau berhenti sejenak sembari mengucapkan salam, tersenyum, dan bercanda dengan mereka. Sikapnya yang tawadlu’ ini tidak merendahkan kedudukan beliau yang agung sebagai seorang utusan Allah, dan juga sekaligus sebagai pemimpin besar yang terhormat dan agung.
Rasulullah telah menanamkan di hati para sahabatnya sifat tawadlu’ yang berdiri di atas dasar toleransi, lemah lembut dan keindahan akhlak. Dengan memberikan keteladanan yang agung dalam hal menghadiri undangan, dan menerim hadiah dari mereka walaupun sangat sederhana.
Tapi, awas jangan salah mengartikan istilah rendah hati dengan rendah diri. Kalau rendah hati adalah tidak menganggap sepele atau memandang rendah orang lain. Sedangkan rendah diri yaitu merasa bahwa dirinya lebih kecil atau tidak berharga di hadapan orang lain. Kata lain dari rendah diri yaitu minder. Ini merupakan salah satu penyakit dalam ilmu psikologi. Obatnya harus sering berkonsultasi kepada psikolog dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkan sifat itu dari hati dan pikirannya. Sifat merendahkan diri adalah salah satu sifat yang bisa membahayakan kepribadian kita. Oleh karenanya, harus dihilangkan dalam pikiran dan benak hati kita.
Orang yang sombong dan membanggakan diri, pada hakekatnya adalah orang yang rapuh dan kosong. Yang bisa berakibat fatal sebagai senjata makan tuan. Ada pribahasa yang tepat untuk menggambarkan hal ini. “Air beriak tanda tak dalam” dan “Tong kosong nyaring bunyinya”.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang sombong, karena apalah artinya sebuah kesombongan kalau kita tetap menjadi manusia yang tidak sempurna. Oleh karena itu, janganlah kita ragu-ragu lagi untuk bersikap rendah hati. Karena rendah hati merupakan salah satu sifat yang terpuji.




























Ridla terhadap Takdir Allah

Banyak orang yang salah mendefinisikan takdir. Mereka mengartikan takdir dengan suatu ketetapan Tuhan atau ketentuan Tuhan. Dengan begitu, seolah-oleh mereka memahami bahwa takdir merupakan suatu ketetapan atau ketentuan yang sudah final dan tidak dapat dirubah atau diperbaiki lagi. Pendapat seperti itu tidak salah namun juga jangan langsung menyalahkan.
Secara bahasa, memang benar bahwa takdir adalah suatu ketentuan atau ketetapan dari Allah, namun hal itu tidak berarti serta merta tidak bisa diubah atau diperbaiki kembali. Kalau begitu, takdir ada berapa macam? Setahu saya, tekdir terbagi menjadi tiga macam, yaitu takdir yang bisa dirubah dan diperbaiki, seperti hidup miskin, bodoh dan terbelakang; dan takdir yang tidak bisa diotak-atik lagi, seperti menjadi seorang perempuan atau laki-laki. Selain dari keduanya, akan melahirkan takdir lain yang diakibat karena ulah atau tindakan kita sendiri yang ceroboh atau berasal dari orang lain yang tidak disangka-sangka, seperti tangan atau kaki buntung, bercerai dengan suami atau istrinya, dan membunuh saudara karena rebutan harta waris atau karena cemburu.
Dalam kategori takdir pertama, kita bisa merubah nasib kita dengan kerja keras, membaca, menulis, dan belajar dengan sungguh-sungguh, serta memanfaatkan kemampuan, bakat, ide yang dimiliki dan memanfaatkan serta memberdayakan sumber daya alam secara maksimal tanpa harus merusak ekosistemnya. Dan jangan sekali-kali menganggap bahwa miskin itu sudah takdir sehingga malas untuk bekerja, bodoh itu sudah takdirnya sehingga malas untuk belajar, dan juga terbelakang itu nasib sehingga malas untuk berkreasi dan berwirausaha. Lihatlah sekelilingmu yang kaya dan hidup dengan harta yang penuh keberkahan, dan keluraga yang sakinah. Pakailah prinsip, jika mereka yang sama-sama manusia, hidup di Indonsia, makan nasi, dan minum air bisa seperti itu, kenapa saya tidak? Oleh karena itu, bangkit dan jauhi kemalasan dan kebodohan yang berkedok takdir.
Untuk kategori yang kedua, takdir sudah paten dan tidak bisa dirubah. Seperti seorang perempuan mengandung, melahirkan, menyusui anak, haid, dan nifas, sedangkan laki-laki tidak mengalami itu semua. Hal ini mengakibatkan berbeda dalam hukum baik dari masyarakat, maupun agama. Tapi apakah semuanya berbeda? Tidak. Ada beberapa hak dan kewajiban yang kadang saling mengisi atau bergantian, seperti mengasuh dan mendidik anak, menjadi pemimpin atau ketua suatu organisasi, dan mendapatkan perlakuan yang sama di mata negara.
Sedangkan kategori yang terakhir, merupakan suatu takdir yang harus dijalani karena ulah kita sendiri atau orang lain. Untuk memasuki kategori ini, banyak orang yang mengawalinya dengan tangisan dan penyesalan. Namun, itu jangan dijadikan luapan emosi sehingga kita berpangku tangan, sehingga tidak bisa lagi memanfaatkan potensi dan sumber daya lain yang dimiliki. Jangan berputus asa ketika kita tidak lagi memiliki tangan atau kaki, mata yang buta, dan mulut yang tidak bisa bicara. Yang mengakibatkan hidup kita sebagai pengemis yang mengeruk keuntungan dari kelemahan-kelemahan yang ada. Jadilah sang juara, pelopor, pencetus, dan pendiri untuk organisasi-organisasi yang menampung orang-orang yang sama nasibnya, sehingga yang lain menjadi termotivasi dalam mengarungi kehidupan di alam yang penuh dengan perjuangan ini.
Rasulullah bersabda, “Dimanapun kamu berada dan apapun kondisimu, janganlah berhenti merasakan kehadirat Allah dalam dirimu, dan lakukan amal kebaikan disaat kamu merasa telah berbuat kesalahan, karena kebaikan seseorang akan menghapus dosa yang lain dan berbuat baiklah kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi)
Sepatutnyalah, seorang Muslim senantiasa menaati perintah Tuhannya, ridla dengan apa yang telah menjadi ketetapan dan takdir-Nya. Karena ridla terhadap takdir merupakan tanda keimanan, ketakwaan, dan kesalehan seseorang yang paling sempurna.
Rasulullah bersabda, “Ingat, amal-amalmu hanya untuk Allah; amal yang dilakukan dengan sia-sia dan diketahui orang banyak yang pada akhirnya akan membawa celaka pelakunya.”
Dalam hadits lain, Rasulullah mengatakan, “Sungguh menakjubkan urusan orang muslim. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Dan hal itu tidak terdapat pada siapapun melainkan pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika mengalami kesempitan, maka ia bersabar, dan itu mendatang kebikan baginya.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, maka semua urusannya adalah baik baginya. Jika ia mendapatkan kelapangan, maka lisannya melantunkan puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan nikmat dan rahmat. Yang tergolong hamba yang bersyukur dan taat. Dan jika ia didera dengan kesempitan dan kesusahan, maka ia bersabar. Yang tergolong hamba yang sabar, selamat, dan beruntung.
Dengan iman yang memenuhi relung hati, menjadi orang yang tabah dalam menghadapi berbagai benturan hidup, kesulitan yang mendera, dan rintangan yang menyapa. Ia hadapi dengan hati tenang dan ridla dengan ketentuan Allah. Ia menjadikan sabar, karena shalat dan silaturrahmi sebagai penolongnya.














Rumah Tangga yang Harmonis

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah binti Khuwailid sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan, meskipun perbedaan umur mereka terpaut 15 tahun. Nabi Muhammad SAW menikah dalam usia 25 tahun, sedangkan Khadijah berumur 40 tahun dan berstatus sebagai janda yang kaya raya. Selain berperan sebagai istri yang baik, Khadijah juga menjadi sahabat bagi suaminya, tempat berbagi suka dan duka hingga pada tingkat yang luar biasa. Dalam pernikahannya bersama Khadijah, Nabi Muhammad SAW dikaruniai enam anak, yaitu Qasim yang meniggal dalam usia dua tahun, Zaynab, Umm Kultsum, Ruqayyah, dan Fathimah; dan yang terakhir seorang putra yang tidak berusia panjang.
Pada hari pernikahannya, Nabi Muhammad SAW. memerdekakan Barakah, budak setia warisan dari ayahnya. Pada hari yang sama, Khadijah menghadiahkan Muhammad, Zayd, salah satu budaknya yang berusia lima belas tahun. Selanjutnya, mereka dinikahkannya. Pada suatu hari, Haritsah ayah dari Zayd mendapat kabar tentang anaknya berada di Mekkah, ia pun langsung berangkat bersama saudaranya Ka’b. Mereka menemui Nabi Muhammad dan memintanya agar diperbolehkan menebus Zayd dengan harga berapapun yang ia minta.
“Biarkanlah ia memilih, jika ia memilihmu, ia akan menjadi milikmu tanpa tebusan, namun jika ia memilihku, aku tidak akan menolak siapa saja yang memilihku” Nabi Muhammad SAW kemudian memanggil Zayd dan bertanya: “Apakah kamu mengenal mereka?”
“Ya, mereka adalah ayah dan pamanku.”
“Kamu sangat mengenalku dan kamu telah menyaksikan perlakuanku kepadamu. Maka, pilihlah diantara aku dan mereka.”
“Aku tidak akan memilih siapapun selain engkau. Bagiku, engkau laksana ayah dan ibu.”
“Keterlaluan kamu, Zayd!” seru kedua orang Kalb itu. “Apakah kamu lebih memilih perbudakan daripada kebebasan? Apakah kamu lebih memilih dia daripada ayah, paman, dan keluargamu?”
“Begitulah” kata Zayd “karena aku telah menyaksikan dari beliau sesuatu yang membuatku tidak dapat siapapun selainnya.”
Dalam al-Qur’an surat QS. ar-Rûm [30]: 21, Allah berfirman: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Sungguh indah gambaran Rasulullah terhadap pasangan suami istri yang saling membantu dalam ketaatan. Keduanya selalu berbagi dalam kebaikan dan curahan rahmat Allah. Rasulullah bersabda, “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di tengah malam kemudian ia shalat, lalu ia membangunkan istrinya untuk shalat. Jika istrinya enggan, maka ia mengolesi wajah istrinya dengan air. Dan semoga Allah merahmati seorang perempuan yang bangun di tengah malam untuk shalat, lalu ia membangunkan suaminya untuk shalat. Jika suaminya enggan, maka ia olesi wajah suaminya dengan air.” (HR. Abu Daud dan Hakim)
Pernikahan merupakan ikatan dua jiwa yang sangat kuat dan kokoh, yang disambungkan oleh Allah, agar keduanya menggapai ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan kenikmatan yang halal.
Suami istri harus sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan cara yang ringan, toleran, dan harmonis. Sumber keharmonisan sebuah keluarga terletak pada seorang istri. Istri merupakan penyejuk mata, penghibur, sumber ketenangan dan tempat rehat bagi suami dalam rumah tangga. Dia juga sebagai penyubur cinta nan tulus suci serta payung kelembutan. Karena itu, Rasulullah bersabda “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah istri yang shalehah.” (HR. Muslim)
Ketika seorang istri menyadari bahwa dirinya adalah perhiasan yang terindah, maka ia harus mengetahui strategi bagaimana cara memikat hati suaminya dan kemudian memenuhi hatinya dengan cinta. Dan begitupula suami yang merupakan kepala rumah tangga, yang memimpin roda rumah tangga secara berkesinambungan tanpa merasa dirinya adalah orang yang bisa berbuat sekehendaknya saja. Dengan begitu, pergaulan yang harmonis antara suami istri berjalan sesuai dengan kriteria keluarga sakinah, akan memperkokoh tiang rumah tangga dan terwujudnya kebahagiaan yang dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Ketika seorang suami dan istri merasa nyaman untuk tinggal di rumah, secara tidak langsung mereka membuat surga kecil yaitu keluarga yang nyaman, tentram, dan sejahtera.
Sebuah keluarga yang dibangun atas dasar keridhaan dari Allah, mereka akan langgeng baik dalam keadaan suka maupun duka. Seorang istri bukan hanya turut merasakan kebahagaian suaminya, namun juga ikut merasakan kesusahan, kesedihan, dan kesulitan yang sedang dihadapi suaminya, begitu pula sebaliknya, seorang suami terhadap istrinya. Keduanya duduk berdampingan sambil mengungkapkan kata-kata lembut, menghibur, menyumbang pikiran yang matang dan benar, yang terikat karena jalinan hati dan cinta yang tulus suci.
Berbahagialah seorang suami yang mendapatkan seorang istri yang patuh dan taat kepada perintah Allah dan suaminya, begitupula sebaliknya, berbahagialah seorang istri yang mendapatkan seorang suami yang bertanggungjawab terhadap diri dan keluarganya atas dasar ridla Allah, yang telah diatur dalam Islam.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki keridhaan Allah dan rasul-Nya serta kesenangan di akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (QS. al-Ahzâb [33]: 28-29)


Teguh Pendirian dan Penuh Tanggungjawab

Rasulullah sanggup menghadapi penderitaan dan tekanan dalam menjalankan tugas, sekaligus penuh tanggungjawab. Ketika beliau masih berada di Mekkah, kaum kafir Quraisy benar-benar kehabisan akal dan frustasi dalam menghadapi kegigihan beliau dalam berdakwah. Mereka mendatangi Abu Thalib agar menyampaikan maksudnya kepada Nabi Muhammad SAW. Pesannya yaitu: Jika Muhammad menginginkan kekuasaan, mereka (kaum Quraisy) bersedia mengangkat beliau menjadi pemimpin. Jika beliau menginginkan kekayaan, mereka bersedia mengumpulkan seluruh kekayaan yang ada di Mekkah. Jika beliau menginginkan perempuan, mereka dapat mencarikan seorang perempuan yang paling cantik. Syaratnya hanya satu, beliau harus menghentikan kegiatan dakwahnya. Mendengar pesan yang disampaikan oleh pamannya, Nabi menjawab, “kalau sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini sampai Allah memberikan keputusan-Nya.
Begitulah keteguhan hati Nabi dalam menjalankan amanah yang diembannya. Beliau tidak tergiur oleh materi. Beliau tetap menyebarkan Islam, walaupun sekitarnya banyak yang membenci, bahkan sampai mau membunuhnya. Beliau menyadari bahwa banyak sahabatnya yang disiksa bahkan mati oleh kekejaman mereka, tapi tidak bisa menurunkan tekadnya untuk menyebarkan Islam. “Allah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik membencinya”. (QS. ash-Shaf [61]: 9)
Bahkan, Allah memberikan sebuah motivasi ketika beliau merasa bimbang dan ragu. “Jangalah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imrân [3]: 139).
Sementara itu, tanggungjawab beliau terhadap umatnya tidak tertandingi. Ini bisa dibuktikan dari sebuah kisah yang sangat terkenal. Sekitar empat hari menjelang Rasulullah wafat, beliau meminta para sahabatnya berkumpul di Masjid Nabawi. Ketika masjid sesak dengan para sahabat, Nabi SAW –yang sedang sakit- keluar dari kamarnya dengan dipapah oleh dua orang sahabatnya. Tubuh beliau sangat panas dan basah oleh keringat dingin. Sesudah duduk, beliau bertanya dengan suara bergetar, “Wahai kaum Muslimin, siapa saja diantara kalian yang merasa masih mempunyai hak kepadaku, hendaknya dia segera memintanya. Sebab, saat-saat perpisahan kita sudah semakin dekat”.
Para sahabat terdiam. Wajah mereka tertunduk duka. Hingga dimana-mana terdengar isak tangis yang ditahan. Tidak ada seorangpun yang berani menatap wajah beliau. Tiba-tiba di tengah suasana hening dan pilu itu, seorang laki-laki tampil berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, dulu sewaktu Tuan mengirim kami untuk berperang, Tuan telah memukulku dengan tongkatmu. Karena itu, ya Rasulullah, sekarang aku ingin membalasmu”.
Para sahabat tersentak. Seluruh pandangan ditujukan ke arah laki-laki itu. Umar bin Khattab yang ada di dekat Rasulullah, memperlihatkan kemarahannya dan berkata, “Ya Rasulullah biar saya pukul orang ini”. Nabi menjawab, “Jangan Umar, biarlah dia menyampaikan maksudnya.” Kemudian, beliau meminta laki-laki itu mendekatinya.
Abu Bakar, sebagaimana sahabat lainnya, tidak sampai hati melihat Rasulullah didera seperti itu, apalagi dalam keadaan sakit keras. Karena itu, ia maju kedepan dan berkata, “Ya Rasulullah, biarlah saya yang menggantikanmu.” Nabi menjawab, “Tidak Abu Bakar, ini tidak bisa digantikan”.
Lalu tampillah Umar bin Khattab, dan berkata, “Kalau begitu, biarlah saya yang menggantikanmu, ya Rasulullah”. Nabi menjawab, “Tidak Umar, ini tidak bisa digantikan”. Kemudian tampillah Ali bin Abi Thalib, dan berkata, “Jika demikian, biarlah saya yang menggantikanmu, Ya Rasulullah”. Namun, Rasulullah tetap pada pendiriannya untuk menolak semua tawaran yang diajukan oleh para sahabatnya.
Kemudian, sambil menyerahkan tongkatnya kepada laki-laki itu, beliau pun berkata, “Nah, sekarang pukullah aku di tempat seperti dulu aku memukulmu”. Tetapi laki-laki itu menjawab, “Ya Rasulullah, dulu sewaktu engkau memukulku, aku tidak memakai baju.” Mendengar itu, Rasulullah langsung membuka bajunya, sehingga terlihat punggungnya yang mulia itu. Lalu beliau berkata, “Sekarang pukullah”.
Para sahabat tidak sanggup menyaksikan apa yang bakal dialami oleh junjungan yang mereka cintai. Mereka semakin menundukkan wajah, dan tangispun pecah. Tetapi ternyata, laki-laki itu tidak memukulkan tongkat ke tubuh beliau, melainkan merangkul Rasulullah SAW dan menyentuhkan tubuhnya ke tubuh beliau.
Laki-laki itu berkata, “Maafkan aku, Ya Rasulullah, dengan cara inilah aku bisa menempelkan kulitku yang penuh dosa ini dengan kulit engkau yang mulia ini. Aku sadar, bahwa perpisahan diantara kita begitu dekat”.
Melihat pemandangan yang menkajubkan itu, tangispun semakin merebak, tapi kali ini tangis haru. Rasulullah tersenyum.
Begitulah rasa tanggungjawab Rasulullah terhadap perbuatannya. Beliau tidak segan-segan untuk mengungkapkan hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya, walaupun terasa berat.
Dalam Islam, kita dituntut untuk berani berbuat, maka harus berani bertanggung jawab. Semua perbuatan kita pasti dimintai pertanggung jawabannya. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula”. (QS. al-Zalzalah [99]: 7-8)
Di era sekarang ini, banyak generasi muda yang melakukan tindakan tercela lalu mereka tidak kuat untuk bertanggung jawab, maka mereka melakukan jalan pintas dengan menghilangkan bukti-bukti yang bisa menyeretnya kepenjara. Seperti misalnya, ketika seorang gadis yang hamil diluar nikah, dengan teganya ia harus melakukan aborsi hanya karena malu menanggung aib akibat perbuatannya yang tidak senonoh tersebut. Namun, jangan sekali-kali kita mengucilkan atau menghukumnya dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Memang benar, ia harus menerima akibat dari perbuatannya, tapi bukan dengan jalan yang tidak sesuai dengan aturan norma dan hukum yang berlaku. Kita semua adalah manusia yang merasakan betapa beratnya beban yang harus ditanggung akibat dari pergaulan bebasnya tersebut. Sebagai teman dekat atau keluarganya, jangan menjauhinya, apalagi disaat ia butuh teman untuk melepaskan kepenatan hidupnya dan juga untuk memotivasi dalam memperbaiki kehidupannya yang lebih baik di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, sebelum melakukan tindakan, berfikirlah akan akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut. Jangan sampai kita merasakan kenikmatan sesaat namun harus menanggung penderitaan yang bertahun-tahun. Satu-satunya jalan untuk terbebas dari segala sesuatu yang merugikan kehidupan, yaitu dengan mengendalikan nafsu sesaat demi ketentraman dan kenyamanan hidup selamanya. Syetan dan hawa nafsu merupakan musuh yang harus diberantas dengan pengendalian diri dan pikiran-pikiran yang bermanfaat.






























Terpercaya

Pada usia Rasulullah SAW. 35 tahun, orang-orang Quraisy bermaksud merenovasi Ka’bah. Ketika akan dilangsungkan peletakan batu hitam (hajar aswad), mereka memperdebatkan orang-orang yang akan meletakkannya, bahkan hampir saja terjadi perkelahian. Perdebatan ini berlangsung selama empat atau lima hari. Akhiranya, dibuatlah kesepakatan bahwa yang berhak meletakkan batu tersebut adalah orang yang pertama memasuki masjid. Ternyata, Rasulullahlah orangnya. Mereka berteriak gembira: “inilah al-Amin, orang yang kami percaya.” Mereka kemudian menjelaskan maksud Nabi Muhammad SAW. untuk menggelar selendang dan meletakkan hajar aswad itu ke atasnya. Sesudah itu, kepada masing-masing perwakilan kabilah diminta memegang ujung kain tersebut dan mengangkatnya bersama-sama, “Silahkan masing-masing kabilah memegang ujung selendang itu.” Ketika telah sampai di tempat penyimpanannya, beliau kemudian mengambilnya dan meletakkannya di tempatnya. Dengan cara ini, kesulitan teratasi dan perenovasian Ka’bah dilanjutkan hingga selesai.
Dari proses penyelesaian yang damai itulah, Rasulullah SAW. diberi gelar al-Amin yang berarti yang orang yang dapat dipercaya. Gelar tersebut sangatlah agung pada saat itu. Namun, Rasulullah SAW. bisa mendapatkannya. Bisakah kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW. mendapatkan gelar tersebut, atau setidaknya orang lain mempercayakan kita dalam menyelesaikan permasalahan di antara mereka?
Pertanyaan tersebut sangatlah diperlukan di zaman sekarang ini. Kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi orang yang dapat dipercaya oleh masyarakat sekitar. Kepercayaan merupakan sesuatu yang mahal. Jadi, harus bertanggungjawab terhadap kepercayaan yang telah diembannya.
Tidak sedikit orang yang diberi kepercayaan, namun mereka berbelok arah dengan apa yang dia katakan sebelumnya. Pantaskah kita mengaku sebagai umat Nabi, namun akhlak kita tidak mencerminkan kepribadian Nabi yang bergelar al-Amin? Memang, kita menyadari kalau kita jauh berbeda dengan Nabi, namun setidaknya kita telah mendengarkan cerita-cerita atau membaca buku-buku yang mengupas tentang kepribadian sang Nabi.
Dalam al-Qur’an surat al-Anbiya [21] ayat 107, berbunyi: “Wahai Nabi! tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. “
Ayat di atas dengan jelas menerangkan tentang maksud kehadiran Muhammad di antara penduduk Arab pada saat itu. Beliau merupakan utusan Allah yang akan mendamaikan dunia dan membawa umatnya kejalan yang di ridhai oleh Allah SWT.
Dalam hal ini, kepribadian Rasulullah dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu Al-Qur’an, tetapi juga kalbu beliau disinari bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. Beliau merupakan rahmatun muhdah yang berarti rahmat yang dihadiahkan oleh Allah kepada seluruh alam, ditambahkan juga bahwa tidak ditemukan dalam Al-Qur’an seorang pun yang dijuluki dengan rahmat, kecuali Rasulullah Muhammad dan juga tidak ada satu makhlukpun yang disifati dengan sifat Allah ar-Rahim kecuali Rasulullah Muhammad.
Julukan al-Amin kepada Rasulullah, bukan hanya karena sejarah renovasi ka’bah semata-mata seperti yang diceritakan di atas, namun dikarenakan sifat beliau yang tidak pernah berbohong, menepati janji, sampai-sampai berita apapun yang beliau sampaikan pasti dibenarkan oleh masyarakat.
Pada suatu saat, Rasulullah memanggil kaum Quraisy untuk berkumpul di Bukit Shafa untuk menyampaikan dakwahnya. Sebelum berpidato, beliau bertanya, “Wahai kaum Quraisy, jika hari ini aku sampaikan kepadamu bahwa musuh akan menyerang, apakah kalian percaya?” Mereka menjawab, “Ya, kami percaya.”
Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Sekarang, aku sampaikan kepada kalian berita tentang siksa yang menanti kalian di akhirat kelak.” Tiba-tiba Abu Lahab memotong dan berteriak, “Apakah untuk ini engkau kumpulkan kami, celaka engkau.” Kemudian dia menyuruh kaum Quraisy bubar dan pulang ke rumahnya masing-masing.
Dalam hal ini, Abu Lahab menentang Nabi adalah keyakinan tentang akhirat yang Nabi sampaikan dan bukan kejujuran Nabi. Abu Lahab mempercayai bahwa Muhammad tidak akan pernah berbohong. Namun, karena keangkuhan dan kedudukannya dalam kabilah, ia harus berkata bahwa itu merupakan suatu omongan yang mengada-ada. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, beliau bertemu dengan penduduk Madinah yang telah memeluk Islam. Mereka begitu percaya kepada beliau, sehingga dipercaya sebagai pemimpin umat Islam di Madinah.
Sejalan dengan teladan yang diberikan, Rasulullah berkata, “Tidak ada (artinya) agama tanpa amanah.” Karena itu pula, beliau memiliki sifat amanah yang berarti sangat terpercaya baik dalam berbicara maupun dalam menyampaikan tugas kerasulannya.
















Tidak Berburuk Sangka

Dalam Bahasa Arab, berburuk sangka di istilahkan dengan su’udzan sedangkan berbaik sangka diistilahkan dengan husnudzan. Kedua istilah tersebut sangat berlawanan. Dalam Islam, su’udzan harus dibuang jauh-jauh dalam kehidupan umat Islam. Kenapa? Karena su’udzan bisa menjadi perseteruan dan pertengakaran antar sesama.
Dalam surat al-Hujurât [49]: 12, menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya prasangka itu dosa.”
Kita tahu bahwa berprasangka akan menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Apalagi prasangka itu lahir dari sebuah dugaan, tuduhan, atau sakwasangka belaka. Hal ini berarti dia telah menaburkan aib dan tuduhan buruk kepada mereka, sementara mereka terbebas dari tuduhan itu. Berburuk sangka seperti inilah yang dilarang dalam Islam.
Untuk itulah, Rasulullah melarang keras dari prasangka dan tuduhan yang jauh dari hakikat yang sebenarnya. Beliau bersabda, “Jauhilah olehmu prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Umat Muhammad yang bertakwa dan cerdas tidak akan bergabung dengan kelompok yang menciptakan isu, kabar burung, dugaan, maupun tuduhan. Terlebih dalam sebuah acara atau kegiatan-kegitan yang membuang-buang waktu dengan sia-sia.
Dalam sebuah kisah, Aisyah di beritakan telah berbuat tercela dengan Shafwan. Berita ini membuat Nabi dan ayahnya, Abu Bakar, menjadi sedih. Melihat situasi yang begitu kacau, Aisyah menuturkan hal yang sesungguhnya:
“Aku bersama kedua orangan tuaku dan aku menangis selama sehari dua malam. Ketika mereka sedang duduk bersamaku, seorang wanita Anshar bertanya, apakah boleh bergabung dengan kami, dan kupersilahkan ia masuk. Ia duduk dan menangis bersamaku. Kemudian Nabi datang dan duduk. Beliau tidak pernah duduk bersamaku sejak orang-orang menyebarkan cerita bohong tersebut. Sebulan telah berlalu, dan tidak ada kabar yang turun dari langit mengenaiku. Setelah mengucapkan kesaksian tidak ada Tuhan selain Allah, beliau berkata: ‘Hai Aisyah, aku telah diberitahu tentang dirimu begini dan begitu. Jika engkau tidak bersalah, pastilah Allah akan mengumumkan bahwa engkau tidak bersalah; dan jika engkau telah melakukan hal yang buruk, maka mintalah maaf dan pengampunan kepada Allah; karena sesungguhnya jika seorang hamba mengakui kesalahannya dan bertaubat, Allah akan mengampuninya.’ Tidak lama setelah beliau berbicara, air mataku jatuh berderai dan aku menyuruh ayahku, ‘Jawablah pertanyaan Rasulullah untukku,’ dan ia berkata ‘Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.’ Ketika meminta ibuku, ia mengatakan hal yang sama. Aku hanyalah seorang gadis belia dan belum banyak ayat al-Qur’an yang dapat kubacakan. Karena itu, aku berkata, ‘Aku benar-benar tahu bahwa engkau telah mendengar apa yang telah dikatakan orang, dan hal itu telah tertanam di hatimu dan engkau telah mempercayainya; dan jika kukatakan kepadamu bahwa aku tidak bersalah, engkau tidak akan mempercayaiku.’ Lalu, terlintas dalam pikiranku Ya’qub, namun aku tak dapat mengingatnya, karena itu, aku berkata, ‘Tetapi, aku akan sebagaimana ayah Nabi Yusuf berkata, ‘kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan’. (QS. Yûsuf [12]: 18). Kemudian, aku menuju ke tempat tidurku dan berbaring di situ, berharap agar Allah akan mengumumkan bahwa aku tidak bersalah. Aku tidak mengira, Allah akan menurunkan wahyu atas kejadianku, ini karena menurutku, kasusku terlalu ringan untuk diungkapkan dalam al-Qur’an. Namun, aku berharap agar Nabi dapat melihat dalam mimpinya, sebuah gambaran yang membersihkan diriku dari tuduhan itu. Nabi masih duduk bersama kami dan semuanya tetap hadir ketika sebuah wahyu turun kepadanya. Beliau diliputi rasa sesak mendadak yang kerap beliau alami saat menerima wahyu. Keringatnya keluar deras, meskipun cuaca hari itu agak dingin. Setelah beliau pulih dari rasa sesak tadi, beliau bergetar dengan nada suara bergetar penuh kegembiraan, ‘Hai Aisyah segala puji bagi Allah, karena Dia telah mengabarkan bahwa engkau tidak bersalah.’ Lantas ibuku berkata, ‘Tidak, demi Allah, aku tidak akan bangun dan menghadap beliau, aku tidak akan berterima kasih selain kepada Allah.’”
Ayat yang membersihkan Aisyah dari tuduhan sesat tersebut, yaitu: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu. Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nûr [24]: 17)
Wahyu baru saja diturunkan, menjawab seluruh pertanyaan tentang perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Hukuman bagi orang yang memfitnah adalah dicambuk. Maka, dari sinilah kita harus mengambil pelajaran, bahwa kita harus berhati-hati dalam perkataan, karena khawatir dalam perkataan tersebut tersimpan sebuah tuduhan yang salah diartikan oleh orang yang mendengarkannya.
Su’udzan bisa membuat seseorang yang baik-baik menjadi jelek namanya hanya karena beberapa kata yang keluar dari mulut yang tidak bisa menjaga lidahnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam mempergunakan lidah, jangan asal ngomong yang tidak ada pengetahuan atas ucapannya tersebut.






































Tidak Iri Hati

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Ia diberi akal untuk berfikir, diberi naluri untuk saling toleransi dan menghargai, diberi ilmu untuk melestarikan dan memelihara alam sekitarnya, dan diberi jiwa untuk beribadah. Semua itu harus ada dalam diri seorang umat Muhammad.
Di zaman sekarang ini, banyak orang yang cerdas namun tidak kuasa untuk mengendalikan kecerdasannya, kaya tapi tidak bisa memanfaatkan hartanya di jalan Allah, dan tampan namun tidak bisa menjaga harga dirinya. Oleh karena itu, marilah kita selalu menjaga sikap agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak nilai-nilai keislaman yang sudah tertanam sejak kecil.
Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hanya iman dan ketakwaan kepada Allah-lah yang menjadikan ia dekat kepada Sang Penciptanya. Kedekatan itu bukan karena harta, jabatan, apa lagi status sosial. Jadi, berlapang dadalah ketika kita mengetahui bahwa ada kekurangan dalam diri kita sendiri.
Marilah kita membaca sejarah Nabi Muhammad yang merupakan Nabi akhir zaman. Beliau tidak pernah merasa berkecil hati ketika tidak memiliki harta yang banyak, jabatan yang tinggi, makanan atau baju yang mahal dan mewah. Justru, kesederhanaan dalam hidupnya tidak menjadikan beliau iri terhadap gaya hidup para sahabatnya yang kaya dan berkecukupan. Rasulullah bersabda, ‘Tidak akan berkumpul dalam hati seorang hamba dua hal: keimanan dan iri.’
Dari hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa, antara iman dan iri adalah musuh bebuyutan. Coba kita ambil contoh seseorang yang memiliki sifat iri, apakah ia akan hidup bahagia? Atau malah sebaliknya menjadi sengsara?
Dalam kata bahasa sehari-hari, iri memiliki banyak persamaan kata seperti cemburu, sirik, dan dengki. Kesemuanya memiliki arti yang jelek, yaitu merasa tidak senang dengan kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. Bukankah kita telah ditentukan hidupnya oleh Allah sebagai seorang pejabat, pengusaha, atau buruh? Namun, itu semua bisa berubah kalau kita bekerja keras dengan berdoa memanjatkan puji syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa atas segala hal. Bukan dengan cara membenci orang tersebut, apalagi membuatnya celaka hingga meninggal.
Disamping sifat iri yang memiliki konotasi jelek, bisa juga kita menerapkan sifat iri untuk memotivasi diri sendiri agar berbuat baik. Seperti contohnya, ketika tetangga kita membangun sebuah panti asuhan dengan biaya sendiri tanpa ada sepeserpun bantuan dari luar, maka kita harus ‘iri’ untuk membuat sebuah sekolahan gratis dimana kebanyakan siswanya adalah yang tidak mampu. Sifat iri seperti inilah yang dianjurkan oleh Islam. Bukankah Allah telah jelas menerangkan firman-Nya dalam Al-Qur’an, “Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan.” (al-Baqarah [2]: 148)
Dari ayat tersebut, Allah sengaja memberikan dorongan kepada hamba-hamba-Nya agar tidak berpangku tangan mengharapkan keniscayaan dalam hidup tanpa belajar dan bekerja keras dengan kemampuan yang milikinya.
Jadi, iri hati merupakan sifat tercela yang harus kita hindari. Karena dengan menjauhkan sifat iri dari dalam hati, ketentraman dan ketenangan jiwa akan hinggap sehingga hidup kita akan terbebas dari rasa psimistik dan berprasangka buruk (su’udzan) kepada orang lain.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selagi mereka tidak saling iri hati.”
Telah jelaslah bahwa tidak ada manfaat bagi diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitarnya ketika kita masih menyimpan sifat iri. Jadi, mulailah dari sekarang untuk menjauhi sifat tercela tersebut. Dengan menjauhinya, insya Allah, kita akan menjadi umat Muhammad sesuai dengan yang telah dicita-citakan oleh Sang Nabi semasa hidupnya.
































Tidak Mau Diistimewakan

Dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah, Muhammad adalah orang yang istimewa. Sekalipun demikian, beliau tidak mau diistimewakan. Sekali waktu, ketika beliau datang ke suatu majelis, para sahabat menyambutnya dengan berdiri. Melihat itu, Nabi bersabda, “Janganlah kalian memperlakukanku sebagai seorang kaisar.” Begitupula ketika beliau hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar, orang-orang Madinah yang belum mengenal beliau sulit membedakan mana Rasulullah dan mana Abu Bakar.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah dan para sahabat menyembelih seekor kambing untuk makan bersama, seorang sahabat berkata, “Biarlah kami yang menguliti dan memotong dagingnya.” Yang lain berkata, “Biarlah kami yang mencucinya.” Lalu yang lain mengatakan, “Biarlah kami yang memasaknya.” Yang lain lagi mengatakan, “Biarlah kami yang menyiapkan tungkunya.” Mendengar semuanya, Nabi berkata, “Biarlah aku yang mengumpulkan kayu bakarnya.”
Nabi selalu mengatakan bahwa, beliau adalah manusia biasa, makan daging dan pergi ke pasar. Pada suatu saat beliau menjelaskan bahwa “perbedaan aku dengan kalian adalah aku diberi wahyu oleh Allah.” Jadi, hanya wahyu itulah yang membedakan Rasulullah dengan para sahabatnya. Karena itu pula, beliau tidak membuat berbeda dengan para sahabatnya, baik dalam hal pakaian maupun dalam hal jarak, seakan-akan beliau merupakan bagian dari kehidupan mereka.
Hal ini sangat bertentangan dengan fenomena generasi saat ini. Pembedaan status antara orang kaya dengan orang miskin, majikan dengan pembantu, buruh dengan direktur, dll. yang menimbulkan peran yang sangat berlawanan. Tidak sedikit dari kelas menengah kebawah atau lebih dikenal dengan istilah ‘wong cilik’ diperlakukan tidak manusiawi, mereka disiksa, dipekerjakan tanpa istirahat ditambah lagi pemberian upahnya terlambat dan dipotong. Entah apa yang diinginkan oleh majikan atau direkturnya?
Dari segi fasilitas, jelas berbeda antara majikan dengan pembantu atau buruh dengan direktur. Misalnya, pembantu tidur di kamar belakang berdekatan dengan dapur atau kamar mandi dengan kasur apa adanya dan kamar yang sedikit lebar daripada ranjang dimana ia tidur. Sedangkan sang majikan tidur di kamar yang luas dengan AC yang tidak pernah berhenti ditambah lagi kamar mandi yang berada tidak jauh dari ranjangnya, dipenuhi lemari yang mewah dan meja hias yang penuh pernak-pernik dan make-up. Apakah kita seperti itu? Bukankah kita sama-sama makhluk Allah yang diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya? Namun, kenapa kita harus membedakan statusnya?
Perbedaan status sudah ada sejak zaman sebelum Islam lahir. Kaum laki-laki berkuasa penuh atas kaum perempuan, yang seakan-akan hidup matinya kaum perempuan pada masa itu berada di tangan kaum laki-laki. Dalam kastapun, kita mengenal empat kasta, yaitu kasta Brahmana, kasta Syiwa, kasta ksatria, dan kasta sudra. Dalam revolusi Perancis, ada istilah kaum proletar dan kaum borjuis. Dalam sebuah kerajaan, ada istilah raja, ratu, pengawal, selir, dayang, patih dan prajurit. Dan dalam organisasi, kita mengenal istilah ketua atau direktur, wakil ketua atau wakil direktur, sekretaris, bendahara, dan anggota. Kesemuanya memiliki pekerjaan yang berbeda, serta fasilitas dan perlakuan yang tidak sama.
Dalam pikiran orangpun akan menebaknya berbeda, seperti contohnya guru, dosen, dan kyai. Bukankah ketiganya sama-sama sebagai staff pengajar, hanya saja tempat mereka mengajar yang berbeda-beda? Guru mengajar di sekolah-sekolah seperti SD, SMP, SMU atau yang sederajat, sedangkan dosen dan kyai masing-masing mengamalkan ilmunya di perguruan tinggi dan pesantren. Berkaitan dengan itu, anak-anak yang dididiknya memiliki istilah tersendiri, guru mengajarkan ilmunya kepada siswa atau murid, dosen menyalurkan ilmunya kepada para mahasiswa, sedangkan kyai yang mendidik para santri.
Siswa atau murid akan menghayal betapa enaknya kalau sudah menjadi mahasiswa. Begitupula dengan seorang santri membayangkan bahwa ia bisa menjadi seorang peneliti kalau sudah menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi, dengan begitu pekerjaan akan mudah didapatnya daripada hanya mengaji saja di pesantren. Begitupula sebaliknya, siswa atau mahasiswa membayangkan nikmatnya menjadi seorang santri. Memang benar, ‘label’ bisa merubah imajinasi yang sudah baku menjadi rancu atau malah sebaliknya, memantapkan sebuah keputusan.
Tapi, semua itu kembali kepada kita dalam menyikapi perbedaan yang ada di muka bumi ini. Ketika kita berada di puncak kejayaan, janganlah sekali-kali menyepelekan, meremehkan bahkan mengaggap rendah orang lain. Karena kita tidak tahu mungkin saja besok kita akan berada di posisi orang yang kita caci tersebut. Ingatlah, roda kehidupan akan berputar terus sampai kita menjumpai ajal. Dengan begitu, posisi kita akan berubah-ubah terus, terkadang kita berada di atas, namun juga, suatu saat kita berada di bawah, dan sebaliknya, mereka berada di atas kita. Maka, pada posisi apapun, bersyukurlah atas anugerah yang Allah berikan kepada kita, dengan begitu, kita akan merasa lapang dada dan ikhlas ketika kita menerima kehancuran dalam hidup. Buanglah jauh-jauh rasa sombong dan dengki, karena bisa menghancurkan kehidupan kita.











Tidak Memutuskan Hubungan Saudara dan Tidak Menjauhinya

Senantiasa melekat dalam ingatan Muslim yang sadar dengan petunjuk agamanya, bahwa Islam menyuruhnya untuk menyambung tali persaudaraan, cinta, dan kasih sayang. Sebagaimana juga melarang pemeluknya untuk memutuskan hubungan, mengabaikan, dan menjauhi saudara-saudaranya, apapun alasan yang dilontarkannya. Yang demikian itu karena ikatan cinta kepada Allah terlalu kuat, erat, dan kokoh untuk diputuskan hanya karena kekhilafan dan kekeliruan. Rasulullah bersabda, “Tidaklah dua orang saling mencintai karena Allh, atau karena Islam (lalu ikatannya) diputuskan oleh dosa yang dilakukan oleh salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari)
Terkadang, seorang Muslim akan terbawa emosi ketika dia tidak mampu menguasai jiwanya, kemudian dia akan berbuat jahat kepada saudaranya. Ketika kedua-duanya tak mampu menahan amarahnya, bisa jadi akan berakibat pada pemutusan hubungan.
Dari kenyataan ini, maka kita harus senantiasa sadar bahwa petunjuk Islam tidak pernah mengabaikan tabiat jiwa manusia, yang tidak jarang mengalami ketersinggungan. Memang, marah merupakan bagian dari ungkapan jiwa yang tidak setuju dengan kenyataan yang ada. Terkadang, bentuknya berupa ocehan atau omelan yang bernada keras dan tinggi, dengan perkataan yang sifatnya menghina.
Oleh karena itu, Islam memberikan batasan waktu yang memungkinkan bagi jiwa untuk menenangkan diri, meredam api kemarahan, yaitu tidak lebih dari tiga hari, serta melarang pemeluknya untuk tidak bertegur sapa dan berselisih, tidak mau berdamai, tidak melerai permusuhan melebihi tiga hari.
Rasulullah bersabda, “Tidak boleh bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, kedua-duanya bertemu dan saling memalingkan muka. Yang lebih baik dari keduanya adalah orang yang memulai dengan salam.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Tidak boleh bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya yang mukmin lebih dari tiga hari, ketika telah berlalu tiga hari dia bertemu dengan saudaranya dan mengucapkan salam untuknya. Jika saudaranya menjawab salamnya, maka keduanya mendapatkan pahala. Dan jika tidak menjawab salamnya, maka dia terlepas dari dosa pemutusan hubungan saudara.” (HR. Bukhari)
Dari kedua hadits di atas, kita melihat bahwa sorang muslim yang perasaannya telah dididik dengan ajaran Islam dan jiwanya telah diwarnai petunjuknya yang bijaksana, dia tidak akan memutuskan hubungan dengan saudaranya dengan alasan apapun. Justru sebaliknya, dia secepatnya menjabat tangan saudaranya dan mengucapkan salam kepadanya. Karena dia juga tahu bahwa yang terbaik dari dua orang yang bertikai adalah yang pertama mengucapkan salam. Jika saudaranya membalas ucapan salamnya, maka kedua-duanya mendapatkan pahala perdamaian. Dan jika saudaranya tidak menjawab salamnya, berarti dia pula telah terbebas dari dosa memutuskan hubungan mendiamkan saudaranya.
Untuk itulah, Islam menyinarkan petunjuknya sebagai jalan hidup yang paling indah bagi kehidupan manusia sejak kemunculan pertamanya di muka bumi. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian memutuskan hubungan, menjauhi, membenci, dan mendengki, jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah Allah perintahkan kepadamu.” (HR. Muslim)
Sebagai manusia, baik secara sadar maupun tidak sadar telah melakukan suatu kesalahan. Dan ketika saudaramu diketahui telah berbuat tidak jujur maka ingatkanlah dia, jangan mengumbar dan membeberkan kesalahannya di hadapan umum. Sebagaimana Hadits Rasulullah: “Jauhilah olehmu prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, mengintai aib orang lain, bersaing tidak sehat, mendengki, membenci dan saling menjauhi, serta jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pertengkaran antar saudara biasanya disebabkan oleh perkara-perkara yang berasal dari kedua orang tuanya, seperti harta waris. Harta waris di sini sangat luas, bisa berupa pekarangan, lahan, sawah, dan rumah tinggal. Satu sama lain ingin menguasai hingga mereka rela mengajukan permasalahan tersebut ke meja pengadilan, hanya karena mereka tidak bisa menyelesaikannya dengan jalan musyawarah keluarga. Ketika salah satu dari kedua belah pihak yang bertikai menang atau kalah, maka berbuntut saling hina, tuduh-menuduh, hingga saling ancam untuk membunuh. Dari sinilah, bisikan syaitan sudah merasuk ke dalam hati seorang Muslim, dan syaitan pun tertawa gembira ketika melihat ada permusuhan diantara keluarga, apalagi keluarga tersebut seorang Muslim yang terpandang di wilayahnya. Apa kata dunia?
Rasulullah mengatakan sebuah petunjuk yang harus diamalkan demi keutuhan hubungan persaudaraan, “Janganlah kalian saling mendengki, menipu dalam jual beli, membenci, membelakangi, janganlah kalian menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, janganlah dia menzaliminya, menipu, dan merendahkannya. Takwa itu di dalam hati. Cukuplah seorang muslim telah berlaku jahat ketika dia merendahkan saudara sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Silaturrahmi merupakan salah satu jalan untuk mempererat hubungan persaudaraan dan sekaligus meredam prasangka-prasangka buruk yang tertuju kepada saudaranya. Oleh karena itu, semasih hidup di dunia, rajin-rajinlah bersilaturrahmi ke keluarga baik yang terdekat maupun yang terjauh, baik yang miskin maupun yang kaya, maupun yang berbeda status sosialnya dengan kita. Toh, mereka tidak akan mencibir kita ketika berkunjung ke saudara yang lebih rendah status sosialnya. Jadi, buanglah rasa angkuh dan berprasangkan jelek terhadap diri sendiri. Ingatlah! bahwa Allah memandang manusia hanya pada derajat ketakwaannya, bukan karena limpahan harta atau tingginya tingkatan sosial dalam masyarakat.



Tidak Terburu-buru Menyalahkan

Pada suatu ketika, Umar berkata: “Semasa Rasulullah masih hidup, aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca Surat al-Furqân. Setelah kuperhatikan ternyata dia membaca lafadz-lafadz yang banyak berbeda dengan yang kudengar dari Rasulullah. Hampir saja aku menariknya saat masih melaksanakan shalat, tapi aku berusaha menahan diri sampai dia mengucapkan salam. Saat itu juga, aku mengikat lehernya dengan sorbannya sendiri, lalu aku menegurnya, ‘Siapa yang mengajarimu bacaan surat yang baru saja kamu baca?’ Hisyam menjawab, ‘Rasulullah yang mengajarkannya kepadaku.’ Aku membantah, ‘Engkau berbohong. Rasulullah mengajariku surat tersebut, tetapi berbeda dengan yang engkau baca tadi.’ Aku segera menarik dan membawanya menghadap Rasulullah. Sesampainya di hadapan beliau, aku berkata, ‘Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqân, tapi dengan bacaan yang berbeda dengan bacaan yang engkau ajarkan kepadaku.’ Rasulullah berkata, ‘Lepaskan dia!’ Beliau melanjutkan, ‘Wahai Hisyam, bacalah!’ Hisyampun membaca ayat-ayat yang aku dengar tadi. Rasulullah bersabda, ‘Memang seperti itulah, ayat-ayat itu diturunkan kepadaku.’ Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, ‘Bacalah ayat-ayat yang sama, wahai Umar!’ Lantas akupun membacakan ayat-ayat tersebut sesuai dengan yang beliau ajarkan kepadaku. Rasulullah bersabda, ‘Seperti itu juga ayat-ayat yang diturunkan kepadaku. Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan tujuh macam bacaan. Maka, bacalah bacaan yang paling mudah bagimu!”
Dari kisah di atas, apa yang bisa kita tarik untuk dijadikan pelajaran?
Ada beberapa pelajaran pendidikan yang dapat dipetik dari kisah ini, antara lain:
a) Rasulullah menyuruh kedua sahabat yang berselisih agar membacakan ayat-ayat yang diterima di depan sahabatnya, lalu membenarkan mereka. Cara ini sangat efektif untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak benar dan tidak ada yang salah.
b) Rasulullah menyuruh Umar agar melepaskan ikatan Hisyam. Hal ini bertujuan memberi kesiapan kepada kedua belah pihak yang berselisih untuk mendengarkan keputusan dalam keadaan yang tenang. Di sisi lain, Umar terlihat terlalu tergesa-gesa dalam menilai kasus ini.
c) Seorang pencari ilmu (pelajar/mahasiswa) tidak boleh terburu-buru menyalahkan orang yang berbeda pendapat dengannya, sebelum mengkaji lebih jauh. Sebab, bisa jadi pendapat yang disampaikan orang tersebut juga benar dan berasal dari ulama yang representatif.
d) Janganlah menjadi seorang yang paling benar dan paling baik, sehingga dengan mudahnya menuduh orang yang berbeda pendapat dengannya adalah salah, tidak sesuai dengan ajaran Islam atau yang lebih parah lagi menuduh mereka murtad dan kafir.
Memang harus diakui, bahwa kebenaran bersifat relatif dan tidak saklek, dalam arti semua orang akan mengatakan bahwa kebenaran itu ada di pihak golongannya. Sejarah pun pernah mencatat, seperti perbedaan pendapat antara Khawarij, Syi’ah maupun Mu’tazilah. Mereka saling mengkafirkan satu sama lain gara-gara perbedaan pendapat diantara mereka, dan masih banyak lagi kisah yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan sebuah keputusan, sehingga keputusan itu bisa diterima di semua kalangan.
‘Perbedaan adalah rahmat’, semboyan itulah yang sering kita dengar ketika kita menemukan sebuah perbedaan di sekitar kita. Namun, apalah jadinya kalau mereka merubahnya, baik disengaja maupun tidak disengaja dengan ‘perbedaan adalah kiamat’.
Coba kita lihat, perseteruan di antara umat Islam hanya karena perbedaan keyakinan maupun pendapat, sehingga mereka dengan begitu teganya memaki, mencaci bahkan membunuhnya, karena sudah tidak Islam lagi. Sungguh, betapa sadisnya Islam, jika mereka salah menebak dan tidak mencoba memahami dan menghayati pemikiran kelompok lain.
Oleh karena itu, janganlah kita terburu-buru menganggap mereka salah, melenceng dari keyakinan Islam, maupun tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul lagi. Bukankah dalam Islam banyak madzhab fiqih, aliran kalam, dan kitab tafsir, yang satu sama lain memiliki perbedaan pendapat, walaupun merujuk kepada ayat yang sama?
Maka, mulailah dari diri kita untuk membiasakan bersikap hati-hati dan sabar sehingga kita tidak terjerumus pada sikap terburu-buru, karena perilaku yang tergesa-gesa tanpa klarifikasi dan pertimbangan terlebih dahulu, merupakan sifat syaitan untuk menjerumuskan manusia ke dalam lubang kehancuran dan kesia-siaan.





















Ulet dan Tekun

Islam pada hakekatnya mengajak umatnya menjadi umat yang maju, memiliki prestasi yang unggul, sanggup melakukan kompetisi yang sehat, harus mampu menjadi rahmat untuk alam semesta (QS. al-Anbiya [21]: 107), serta melepaskan manusia dari dunia yang gelap dan sesat (dzulumât) menuju dunia yang terang (nûr) (QS. al-Ahzâb [33]: 43; Ibrâhîm [14]: 1; al-Baqarah [2]: 257), menjadi petunjuk (hudan) bagi kehidupan manusia (QS. al-Baqarah [2]: 185). Pernyataan tentang misi Islam tersebut dibarengi dengan ajaran yang lebih rinci mengenai kehidupan manusia sehari-hari. Islam mengajarkan umatnya untuk mengejar kesejahteraan di dunia dan di akhirat, yang biasa dibaca dalam doa-doa rutinnya (QS. al-Baqarah [2]: 20). Oleh karena itu, jelas sekali, miskin, terbelakang, bodoh, dan semacamnya tidaklah akan disebut baik atau berkualitas dalam dunia Islam.
Manusia di hadapan Allah mempunyai kedudukan yang sama, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh rezeki. Hanya yang membedakan adalah prestasi dan cara kerjanya untuk memperoleh rezeki itu yang berbeda, sehingga ada yang kaya dan ada yang miskin.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku (Allah) telah memuliakan keturunan Adam (manusia), Aku angkut mereka di daratan dan di lautan, Aku beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Aku lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Aku ciptakan. (QS. al-Isra [17]: 70).
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah karunia Allah (rezeki atau harta) dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. (QS. al-Jumu’ah [62]: 10)
Kalau kita pelajari, ayat di atas mampu memberi inspirasi kepada umat Islam, termasuk yang taat beribadah, agar memperhatikan kerja keras memperoleh kekayaan untuk keluarga dan para tanggungannya. Ada beberapa poin penting yang harus kita amalkan dari ayat di atas:
1) Waktu untuk bekerja jauh lebih luas dan lebih besar daripada waktu shalat. Sadarkah atas pernyataan tersebut? Coba kita ingat-ingat lagi, berapa menit kita melakukan shalat wajib atau shalat sunnah, bandingkan dengan kita bekerja di kantor atau tempat kerja lainnya. Ditambah lagi, kalau kita sedang repot dan banyak yang harus dikerjakan, menjadikan shalat terbengkalai dan digandeng-gandeng. Sungguh, Allah Maha Pengasih terhadap hamba-Nya, namun apakah hamba-Nya tidak akan melupakan-Nya walaupun dalam keadaan sibuk? Oleh karena itu, waktu bekerja untuk mengejar kekayaan jauh berlipat ganda dibandingkan dengan waktu shalat.
2) Ayat ini dengan jelas memerintahkan kita untuk bekerja keras dengan ulet dan tekun, bukan berdiam diri di rumah mengharapkan harta jatuh dari langit. Namun, harus aktif, kreatif, dan inovatis dengan semangat pantang menyerah dan tidak mudah putus asa walaupun sering mengalami kegagalan. Bukankah kegagalan merupakan keberhasilan atau kesuksesan yang tertunda? Percayalah, Allah akan merubah nasib hamba-Nya yang ulet dan tekun.
3) Umat Islam harus terus memberikan inspirasi bahwa sumber kekayaan tidak hanya berasal dari pabrik-pabrik, perkantoran-perkantoran, atau instansi-instansi pemerintah atau swasta yang terkenal. Tetapi juga, berasal dari persawahan, perkebunan, industri-industri kecil, koperasi-koperasi bahkan lembaga-lembaga yang sedang kita rintis. Jadilah manusia sejati bukan menjadi robot yang berwujud manusia. Maksudnya, kita harus bisa menyetir jiwa dan raga kita sendiri dengan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan harus bisa membuka lahan usaha yang bisa menghidupi jutaan karyawan atau buruh, bukan malah menjadi orang suruhan yang diperas pikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa asing dengan diiming-iming uang, apalagi sampai mati disiksa di luar negeri.
4) Bekerja sesuai dengan aturan Islam. Tidak menghalalkan segala macam cara demi mencapai kenikmatan sesaat. Kita harus merancang konsep yang matang terlebih dahulu dengan mempertimbangkan kesuksesan dan kegagalan yang akan dialami. Dengan begitu, kita akan bisa menjalaninya sesuai dengan apa yang telah direncanankan, karena sudah mempertimbangkan untung-ruginya.
Kenyataan keterbelakangan, kemalasan, kebodohan, dan kemiskinan di hampir mayoritas umat Islam merupakan hasil dan produk pemahaman dan pemaknaan ajaran Islam dan sekaligus praktiknya. Bukan ini yang dimaksudkan oleh Islam. Oleh karenanya, kita harus merubah kembali kekeliruan umat Islam dalam menyikapi kehidupan, karena: pertama, salah paham yang berarti menjadikan salah pengamalan ajaran atau perbuatan yang keliru, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, salah penggunaan dalil, yang seharusnya tidak dipakai. Ketiga, ajaran yang tidak atau kurang dikembangkan oleh para pemikirnya. Hal ini sangat berpengaruh negatif terhadap keberadaan ekonomi umat Islam.
Adakah sikap yang salah dalam kehidupan umat Islam? Di sini ada beberapa sikap yang salah diamalkan oleh kebanyakan umat Islam, yaitu:
1) Sabar. Sikap ini jangan diartikan sebagai sikap yang tidak cepat-cepat, sehingga identik dengan lamban. Padahal, seharusnya diartikan sebagai sikap tangguh, pantang menyerah, teliti, tabah, sehingga tidak mudah putus asa. Sabar berarti proses untuk keberhasilan yang tidak mengenal kegagalan. Dalam kaitannya dengan perekonomian umat, sabar berarti tidak cepat menyerah dalam berusaha. Sabar harus mencakup ulet, tekun, tangguh, dan teguh terhadap cobaan dan ujian apa saja dan selalu berusaha sampai berhasil. Karena itu, sebuah kesalahan yang besar kalau sabar diartikan tabah menerima kenyataan hidup, tetapi tidak ada gagasan atau ide-ide yang baru untuk merubah hidupnya.
2) Qana’ah. Sikap ini jangan diartikan dengan mudah menyerah dan menerima apa adanya, sehingga tuntutan untuk kemajuan dianggapnya sebagai hal yang tidak perlu, karena bertentangan dengan pemikiran yang konyol tadi. Padahal, qan’ah dipahami sebagai sikap yang jujur menerima hasil sesuai dengan hasil kerjanya, tidak serakah, tidak menuntut hasil yang lebih dengan kerja yang kecil, tidak iri dan cemburu, tidak hasud dan dengki, serta tidak menghayal yang tidak sanggup diraih. Karena itu, qana’ah bukan dipahami dengan menerima apa adanya, tanpa ada langkah untuk kemajuan.
3) Tawakal. Sikap ini jangan diartikan dengan menyerahkan dirinya dan cita-citanya kepada keadaan, tanpa perlu ada usaha yang maksimal atau bersikap fatalis. Usaha maksimal dianggapnya sebagai sebuah kesia-siaan dan percuma. Padahal, tawakal harus dipahami sebagai sikap akhir setelah bekerja keras secara maksimal yang dilakukan secara berulang-ulang tidak hanya sekali atau dua kali. Jadi, tawakal bisa menjadi perisai diri dari sikap frustasi, bukan menjadi penangkal usaha maksimal, sekedar mengelabuhi kemalasan. Karena itu, tawakal bukan dipahami dengan menyerahkan segalanya kepada Allah, tanpa ada suatu kreatifitas.
4) Zuhud. Sikap ini jangan dipahami anti dunia atau anti harta, tetapi diartikan sebagai anti keserakahan dan kerakusan. Zuhud lebih tepat diartikan dengan meninggalkan hal-hal yang menyebabkan jauh dari Allah, bukan malah meninggalkan harta kekayaan. Dengan demikian, zuhud bisa dipraktekkan oleh orang kaya, bangsawan, dan pekerja keras. Namun kekayaannya, diperoleh dengan cara yang halal bukan dengan menghalalkan segala macam cara dan dibelanjakan dengan jalan yang halal pula, baik untuk ibadah atau membantu orang-orang yang malas bekerja. Karena itu, zuhud bukan dipahami dengan meninggalkan segala kemewahan dunia, tetapi menjadi pengemis dan menelantarkan keluarga.
5) Insya Allah. Sikap ini jangan dijadikan alat untuk menghindari atau mengelak janji dibalik nama Allah, atau ketidakseriusan mengerjakan sesuatu. Padahal, seharusnya menjadi kesanggupan secara serius dan hanya alasan di luar kekuasaan dirinya saja seseorang mengelak atau menghindari janji. Bukankah janji adalah hutang yang harus dipenuhi? Bukankah menepati janji merupakan ciri orang bertakwa dan melanggar janji merupakan ciri orang munafik? Karena itu, insya Allah bukan diartikan bahwa segala langkahnya selalu disandarkan kepada Allah, tetapi tidak ada tindak lanjutnya.
Di abad 21, kita memasuki era globalisasi, dimana terjadi persaingan atau kompetisi bebas, sehingga bisa berakibat menang atau kalah. Dalam dunia ekonomi, munculnya pasar bebas dan perdagangan bebas yang mengakibatkan persaingan semakin keras. Sedangkan kita sadar kualitas umat Islam jauh daripada kulaitas non-Islam walaupun kita sebagai umat yang mayoritas. Lalu apa yang harus dilakukan oleh umat Islam menghadapi era globalisasi ini?
Mengarungi era globalisasi, kehidupan manusia bertumpu pada dua bentuk, anatara lain: pertama, sebagian terlena dengan kehidupan yang serba gemerlap hingga muncul ketidakpuasan yang berakibat pada keserakahan dan kegersangan hidup serta semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, sebagian semakin menyadari akan jati dirinya, dengan semakin mendekatkan diri kepada agama atau mencari jalan spiritualitas baru.
Globalisasi lebih tepat diartikan dengan dunia yang penuh dengan persaingan, baik yang bernuasa agama, budaya, ekonomi, maupun sosial. Yang tentunya peran sumber daya manusia menjadi tuntutan sekaligus menjadi peran yang sangat sentral.
Dengan melihat kenyataan di lapangan, sikap kritis, kreatif, dan inovatif jangan disepelekan dan dilupakan begitu saja. Oleh karena itu, sikap tersebut ditanamkan dan diajarkan sejak dini, dan dipraktekkan dalam kehidupan keseharian, baik dalam pendidikan formal, informal, non-formal, maupun dalam kehidupan umat. Jika umat Islam tetap dalam kemalasan, kebodohan, statis, pasif, dan pasrah pada keadaan, maka tunggulah kehancurannya dan jangan sekali-kali menyalahkan umat lain karena dimakan oleh masa.
Marilah kita mulai dari sekarang untuk bekerja keras, berkreasi dengan penuh kesungguhan, keuletan, dan ketekunan dengan diiringi berprasangka baik terhadap Allah yang diiringi niat dan doa yang ikhlas atas takdir Allah. Dengan begitu, semoga bangsa kita menjadi negara super power yang bisa menguasai dan menaklukkan dunia, bukan lagi bangsa yang bertumpu pada hutang luar negeri karena kebodohan dan kemalasan yang telah berkarat.
Memang, kita menyadari bahwa merubah hidup tidak segampang membalikkan telapak tangan, tetapi apa salahnya kalau kita berniat untuk merubahnya dengan tindakan yang berkelanjutan dan bertahap.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar