Rahmat Karunia ALLAH SWT dan Syafaat dan Salam dari Rasulullah saw dan Keluarganya beserta para shahabatnya serta keberkahan dan karomah dari para Kekasih ALLAH (para Nabi, para Waliyullah dan para Malaikat ALLAH) tercurah tuk kita semua sebagai ummat-Nya
30 Desember, 2008
Khusu’ dalam Shalat
Sesuai dengan firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Tunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS Thaha: 14)
Dalam istilah ahli hakikat, khusu’ adalah patuh pada kebenaran. Ada yang mengatakan bahwa khusu’ adalah rasa takut yang terus menerus ada di dalam hati (Kitab At-Ta’rifat, 98).
Lebih jelas lagi, Syeikh ’Ala’udin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi mengatakan, khusu’ dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan segala yang diucapkannya, baik berupa bacaan Al-Qur’an maupun dzikir. (Tafsir Al-Khazin, juz V, hal 32)
Jadi khusu’ merupakan kondisi di mana seseorang melakukan shalat dengan memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah shalat, serta dilakukan dengan tenang, penuh konsentrasi, meresapi dan menghayati ayat juga semua dzikir yang dibaca dalam shalat.Dengan cara inilah shalat yang kita lakukan setiap hari akan menjadi khusu’ serta memberikan implikasi yang positif pada kehidupan kita. Yakni mencegah manusia dari perbuatan buruk dan kemungkaran.
Allah SWT Berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِSesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan yang buruk dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45)
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَCelakalah orang yang melakukan shalat tapi hati mereka luapa apa yang ia lakukan. (QS Al-Ma’un: 5)Melihat arti pentingnya khusu dalam shalat, Syeikh Ali Ahmad aj-Jurjani berkata bahwa ketika seorang hamba telah mampu melaksanakan shalat dengan khusu’ berrarti ia telah sampai pada tingkat keimanan yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam kitab karangan beliau, bahwa ”sesungguhnya khusu’ dan menghadirkan hati dalam shalat, serta tetangnya anggota (dan melaksanakan sesuai syarat dan rukunnya) merupakan iman yang sempurna.” (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, juz II, hal 79).
Di samping itu, khusu’ merupakan syarat diterimanya shalat di sisi Allah SWT. Dalam kitab Sullam at-Tauufiq disebutkan, ”di Samping syarat-syarat agar shalat dapat diterima di sisi Allah SWT, ... harus menghadirkan hati dalam shalat (khusu’), maka tidak ada pahala bagi seseorang dalam shalatnya kecuali pada saat hatinya datang dalam shalatnya. (Sullam at-Taufiq, 22).
Karena itu orang yang melaksanakan shalat, tapi hatinya tidak khusu, maka seakan-akan ibadah yang dilakukan sia-sia, karena tidak diterima di sisi Allah.Namun begitu, harus diakui bahwa khusu’ ini merupakan perkara yang berat sekali. Apalagi bagi kita yang masih awam. Sedikit sekali orang yang mampu khusu’ dalam shalatnya. Kalau kenyataannya seperti itu, maka minimal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana khusu’ itu bisa terwujud dalam shalat kita walaupun hanya sesaat.
Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali:”Maka tidak mungkin untuk mensyaratkan manusia agar menghadirkan hati (khusu’) dalam seluruh shalatnya. Karena sedikit sekali orang yang mampu melaksanakannya, dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah bagaimana dalam shalat itu bisa khusu’ walaupun hanya sesaat saja.” (Ihya ’Ulum ad-Din, Juz I, hal 161).
Kesimpulannya adalah khusu’ dalam shalat merupakan satu kondisi di mana kita melakukan shalat dengan tenang dan penuh konsentrasi, menghayati dan meresapi arti dan makna shalat yang sedang dikerjakan. Dan itu merupakan perkara yang sangat penting, agar ibadah yang kita laksanakan dapat dirasakan dalam kehidupan nyata, tidak semata-mata formalitas untuk menggugurkan kewajiban.
KH Muhyiddin AbdusshomadPengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Jember
Shalat dan Kesehatan
-shalat bisa mencegah serangan jantung
-menghindarkan pendarahan otak
-membantu kinerja paru-paru
-memompa efektivitas sistem kerja ginjal
-shalat juga berguna menguatkan otot-otot tubuh dan sendi
-membantu relaksasi
-meningkatkan kelenturan
-memperlancar peredaran darah, sehingga fungsi organ tubuh berjalan baik.
Ringkasnya, semua persiapan demi melaksanakan shalat, baik itu syarat shalat: mulai wudlu dan sebagainya, juga gerakan-gerakan yang ada dalam shalat, baik yang bersifat wajib, maupun yang sunah, berdampak membantu meningkatkan kualitas kerja organ-organ tubuh, tanpa terkecuali. Kesimpulan ini, salah satunya mengemuka dalam muktamar ke-7, Organisasi al’Ijaz al-Ilmi -sebuah lembaga yang mengkhususkan diri meneliti rahasia dan keajaiban ilmu pengetahuan yang ada dalam kandungan al-Qur’an dan hadis, di Dubai, Qatar. Dalam muktamar itu, misalnya, menjelaskan Kenapa sih Islam mewajibkan wudlu? Kenapa sih Islam mewajibkan shalat? Apa dampaknya bagi kesehatan?
Wudlu dan Kesehatan
Begitu air dingin membasuh anggota wudlu, maka secara otomatis pembuluh darah bereaksi untuk bekerja lebih cepat dan gesit mengalirkan darah ke seluruh tubuh sebagai reaksi alami menormalisasi suhu tubuh, akibat bertemunya suhu panas dalam tubuh dengan dinginnya guyuran air wudlu. Saat itu juga darah mengalir ke daerah seputar wajah, kedua tangan dan tepak kaki dengan sangat lancar.
Ketika aliran darah mengalir ke seluruh tubuh, termasuk pada bagian kulit, maka kelenjar peluh langsung bekerja menyedot darah-darah kotor dan membuangnya keluar tubuh melalui bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar kulit. Begitu darah kotor itu keluar, walau tidak kasat mata, maka langsung disapu air wudlu –inilah mungkin rahasianya kenapa kita disunahkan membasuh tiga kali pada setiap anggota wudlu. Dampaknya kulit sekitar wajah dan lainnya nampak cantik dan putih berseri sehingga penuaan dini bisa terhindarkan.
Biasanya, proses penyaringan dan pembuangan darah-darah kotor dilakukan oleh ginjal, kemudian dibuang bersamaan dengan air seni. Namun ketika seseorang melakukan wudlu, darah-darah kotor itu tertarik dan terkonsentrasi pada sekitar anggota-anggota wudlu yang sudah dibasuh dan kemudian disapu bersih oleh air wudlu berikutnya –basuhan kedua dan ketiga. Artinya, berwudlu ternyata mengurangi sedikit beban berat kerja ginjal dan dampaknya bisa meminimalisir kemungkinan terkena risiko sakit ginjal.
Salah tugas jantung yang paling berat adalah memompa darah supaya mengalir menuju wajah, telapak tangan, dan kaki. Kenapa? Karena posisi ketiga anggota tubuh tersebut jauh dari posisi jantung –yang berada di rongga dada. Begitu tersentuh air wudlu yang dingin, maka jantung langsung bereaksi dan kemudian memompa darah dengan kuat menuju tiga anggota badan yang berjauhan itu. Dengan demikian wudlu tak hanya semata kewajiban agama, tapi juga membantu meringankan beban berat kerja jantung. Akhirnya risiko terkena serangan jantung pun relatif bisa terhindarkan.
Wudlu dengan air dingin, juga membantu merangsang dan mengefektifkan sistem kerja syaraf. Rangsangan tadi, akan berdampak positif pada kinerja syaraf pusat yang berada di otak. Tak heran makanya kalau setelah wudlu kita selalu merasakan suasana segar, yang tak dirasakan sebelum wudlu. Dengan demikian faedah lain dari wudlu adalah sanggup mengurangi ketegangan jiwa, stress, mengurangi rasa sedih, rasa khawatir dan rasa marah. Faedah inilah mungkin yang menjelaskan kenapa Rasulullah Saw, selalu menganjurkan kita untuk segera berwudlu ketika kita sedang emosi, terutama lagi pada hakim yang sedang dalam proses mengadili sebuah perkara.
Shalat dan Kesehatan
Coba perhatikan dan renungkan gerakan-gerakan olahraga yang direkomendasikan para pakar kesehatan, hampir semuanya tercakup dalam gerakan shalat. Makanya, seperti halnya olahraga, gerakan shalat juga akan membantu memperingan kinerja jantung, memperlancar asupan oksigen ke dalam tubuh dan membuat otak menjadi segar bugar.
Shalat juga membantu kerja jantung. Ia selalu bekerja tanpa henti mengatur sirkulasi darah dan mengalirkannya kepada semua organ tubuh. Hal yang dirasa paling berat dari kinerja jantung adalah bagaimana memompa dan mengalirkan darah menuju organ tubuh yang posisinya lebih atas dari jantung. Misalnya otak, mata, hidung, lisan dan sebagainya. Karena posisi jantung sendiri ada dirongga dada. Artinya dengan fungsi harus mengalirkan darah kepada daerah yang lebih tinggi, jantung harus bekerja keras melawan gaya gravitasi bumi. Dengan melakukan sujud ketika shalat maka, sadar atau tak sadar, kerja jantung akan terbantu dalam tugasnya mengalirkan darah pada sekitar organ-organ yang posisinya lebih tinggi. Karena saat bersujud otomatis organ-organ yang tadinya di atas jantung itu, menjadilebih rendah posisinya. Maka, anjuran Islam untuk “agak memperlama” sujud dengan melakukan doa, selain bernilai ibadah juga menyehatkan tubuh karena membantu meringankan beban kerja jantung. Saat bersujud pompaan aliran darah persis seperti mobil yang ada pada posisi jalan menurun –cepat dan lancar. Dengan demikian aliran darah makin cepat mengalir dan berkumpul di pembuluh darah besar atau aorta. Ketika bangkit dari sujud, maka darah yang tadinya berkosentrasi di aorta akan mengaliri pembuluh-pembuluh darah di sekujur tubuh. Jantung pun akhirnya merasa terbantu.
Posisi sujud juga membantu kinerja paru-paru untuk melakukan asupan oksigen pada tubuh dan membuang karbondioksida. Juga membantu sirkulasi darah dari jantung ke paru-paru dan sebaliknya. Pada saat sujud, beban kerja jantung agak berkurang. Artinya jantung bisa sedikit beristirahat dan efeknya hal ini tentu akan mengurangi resiko terkena serangan jantung mendadak.
Perlu diketahui juga, bahwa shalat yang dijalankan dengan penuh kesungguhan, khusu’, dan ikhlas akan menumbuhkan persepsi, dan motivasi positif dan terhindar dari penyakit jantung koroner atau prediksi prognosis infark miokard akut. Gejala yang bisa dilihat bahwa pengamal shalat yang baik, akan menghadapi hidup secara realistis dan optimis. Dengan shalat yang baik kita akan merasakan bahwa Allah SWT, adalah segala-galanya. Dan dengan demikian kita akan terhindar dari rasa takut dan khawatir.
Namun Islam sebagai agama moderat tentu tak mewajibkan umatnya melaksanakan shalat sepanjang hari. Islam selalu memerintahkan untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, antara kebutuhan agama dan kebutuhan duniawi.
Walhasil, shalat selain bernilai ibadah juga membawa dampak positif bagi kesehatan tubuh dan pikiran. Kelebihan shalat, karena dilakukan dengan lentur dan tenang, maka cocok buat semua usia. Ia tak berisiko mencederai tubuh, bahkan menyehatkan. Hanya saja, kesimpulan tak berarti Anda disarankan untuk tidak berolahraga atau bahkan disalahfahami bahwa, Islam tak memperbolehkan olahraga. Sama sekali tidak.
28 Desember, 2008
KEUTAMAAN SEDEKAH
Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala, dan melipatgandakan rezeki; sebutir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Suatu hari datanglah dua orang akhwat yang mengaku baru kembali dari kampung halamannya di kawasan Jawa Tengah. Keduanya kemudian bercerita tentang sebuah kejadian luar biasa yang dialaminya ketika pulang kampung dengan naik bus antarkota, beberapa hari sebelumnya. Di tengah perjalanan, bus yang ditumpanginya terkena musibah, bertabrakan dengan dahsyatnya. Seluruh penumpang mengalami luka berat. Bahkan para penumpang yang duduk di dekatnya meninggal seketika dengan bersimbah darah. Dari seluruh penumpang tersebut hanya dua akhwat itulah yang selamat dengan tidak terluka sedikit pun.Mengapa mereka ditakdirkan Allah selamat? Menurut pengakuan keduanya, ada dua amalan yang dikerjakan keduanya waktu itu, yakni ketika hendak berangkat mereka sempat bersedekah terlebih dahulu dan selama dalam perjalanan selalu melafadzkan zikir.
Istighfar dan Kelapangan Rezeki
Manfaat Dzikir Berjama'ah
Assalamu'alaikum wr.wb
Bismillah hirrohman nirrohim
Kita sering melihat Ustadz Arifin Ilham membawakan Dzikir secara Berjamaah yang dilakukan secara zahar (disuarakan), demikian pula KH. A'a Gym dalam akhir ceramah beliau selalu menutupnya dengan Muhasabah dzikir secara berjamaah.
Apakah manfaat Dzikir berjamaah :
Masyaikh ad Darqawi mengatakan dari sebuah hadist Rasulullah saw, amal yang dilakukan rahasia adalah 70x lebih baik dari amal terang-terangan . Meskipun demikian majelis dzikir berjamaah yang dilakukan zahar dan terang-terangan memiliki amalan yang sama dengan amal yang tersembunyi. Karena zaman sekarang ini adalah zaman kelalaian dan kebodohan. Kelalaian telah melanda manusia dan mengambil alih kendali qolbu dan kendali atas anggota badan kita. Kelalaian telah membuat kita tuli bisu dan buta, sehingga kegairahan terhadap agama hilang dengan cara yang serupa. Maka dengan melakukan dzikir secara terang2an dan diketahui umum saat ini adalah lebih baik daripada menyembunyikannya.
Lingkaran dzikir atau majelis dzikir memiliki keutamaan yang tinggi, karena Nabi saw bersabda, "Ketika kalian melewati padang rumput surga merumputlah disana”. Beliau saw ditanya apakah padang rumput surga Ya Rasulullah?. Ialah majelis-majelis dzikir jawab Nabi saw. Nabi bersabda , Tidak ada suatu kelompok yang berkumpul bersama2 untuk berdzikir kepada Allah dan hanya mengharap rido Allah maka seorang penyeru akan memanggil mereka dari surga ,” Bangkitlah kalian dalam keadaan terampuni. Perbuatan jahat kalian telah diubah menjadi amal kebaikan".
Hadist lainnya mengatakan ,”amal ibadah yang dilakukan berkelompok atau berjamaah lebih mulia daripada ibadah yang dilakukan sendiri. Karena dengan berjamaah hati dan qolbu manusia bertemu satu sama lain dalam kasih sayang, saling tolong menolong, yang kuat membantu yang lemah, yang berada dalam kegelapan memperoleh sesuatu dari yang berada dalam cahaya Iman yang kuat, yang lemah bertemu yang kuat dan mengambil manfaat dari hikmah ilmunya.
Imam Ghazali berkata, dzikir berjamaah ibarat sebuah batu besar yang dipukul beramai-ramai, maka akan lebih mudah dipecahkan dan terbelah, begitu pula hati yang telah mengeras membatu, dengan dipukul beramai-ramai niscaya akan lebih mudah dipecahkan, api dzikir akan melalap karat2 dihati dengan cepat, hingga cermin hati kembali berkilau. Karena itulah dzikir berjamaah memiliki efek yg besar dalam menjaga kalbu seseorang untuk menyingkapkan tebalnya hijab, baik akibat tak menjaga pandangan maupun hijab oleh karena besarnya ego.
Dzikir Asmaul Husna merupakan suatu dzikir yang memperkenalkan tanda dari zat ghaib Esensi Yang Tak Terlihat yang menekankan ke Maha Unikan Allah , karena itulah sangat penting untuk selalu menjaga kehadiran hati dalam saat bernafas, untuk memahami dan bernafas secara sadar dari esensi Hakikat Sang Pencipta. Menjaga nafas dari kelalaian akan membawa kepada kehadiran hati yg sempurna, kemudian menuju Mudaharah yang sempurna akan membawa kepada Musyahadah / penglihatan yang sempurna dan penglihatan yg sempurna akan membawa kepada manifestasi tajali dari 99 nama Asmaul husna. Sedang inti nama Allah yang terdiri dari huruf alif lam , lam dan ha, Esensi ke Maha Agungan Allah. Nama Allah diungkapkan oleh huruf alif menjadi HUWA yg mencangkup 99 nama allah Syaikh Bahaudin Naqsibandy mengatakan mengenai posisi dzikir qolbu, atau sultan adz dzikir,” siapapapun yg memasuki posisi dzikir dalam hati ia akan mencapai inti dari Asmaul Husna, yaitu nama "Allah". Nama "Allah" adalah Sultan dari seluruh atribut nama2nya. Karena nama "Allah" mencangkup seluruh makna 99 nama2Nya dan kepadanyalah seluruh atribut nama2 illahi akan kembali. Untuk mencapai inti nama Allah, kita harus melalui 99 atribut Asmaul Husna. Dan nama "Allah" bagaikan kata yang berlaku untuk semua atribut ini. Itulah sebabnya nama Allah disebut sebagai "Ism al jalala", atau nama yang paling mulia, paling besar dan paling suci. Melalui pemahaman akal saja tidak mungkin manusia bisa memanen buah dari rahasia2 Asmaul Husna. Tubuh manusia tidak dapat mencangkup realitas makna mengenal Allah Azza wa Jalla. Tubuh manusia mustahil mencapai kerajaan yang tersembunyi dari Yang Maha Unik.
Jika kita rajin berdzikir Allah, Allah, bahkan hingga 5000 perhari, dimana para ahli sufi bahkan hingga 48.000 atau lebih akan menyebabkan hati mulai berjalan menuju Allah, sehingga hati akan terus berdzikir Allah tanpa perlu menggerakkan lidah. Seorang dokter ahli jantung di Jerman mengatakan bahwa terapi pengobatan jantung dengan berdzikir Allah hingga 5000 kali per hari terbukti menyembuhkan pasien jantung dengan cepat. Mengenai jumlah hitungan dzikir Syaikh Bahaudin mengatakan bahwa menjaga hitungan dzikir bukanlah untuk perhitungan itu sendiri, tetapi demi menjaga hati agar tetap khusyu dan aman dari pikiran buruk dan untuk meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai akhir dari jumlah pengulangan yang telah ditentukan. Melalui jumlah hitungan ini akan membawa hati kepada hadirat ilahi . Memperhatikan jumlah hitungan dzikir adalah langkah pertama utnuk mendapatkan pengetahuan surgawi. Seperti dzikir yang biasa kita lakukan misalnya sehabis solat melakukan dzikir Fatimah, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x, seperti ini pula sifatnya pengulangan hitungan Nama-Nama Allah dalam Asmaul Husna. Lakukanlah dzikir "Allah, Allah" sebanyak 5000 kali sehari minimal. Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa berdzikir seperti dikatakan Syaikh Effendi al-Yaraghi,” Kapankah Allah tidak senang akan hambanya? Yaitu ketika seorang hamba merasa terganggu dengan lamanya dzikir secara berjamaah. Jika cintanya pada Allah adalah cinta sejati, maka lamanya dzikir akan terasa seperti sekejap mata.." Insya Allah cinta seorang beriman , bagaikan sebuah cahaya didalam hatinya, karena cahaya Islam berarti menyerahkan hatimu hanya kepada Allah semata, dan tidak menyakiti hati orang lain, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatanmu.
Wa min Allah at Taufiq wassalam, arif hamdani
Taubat
26 Desember, 2008
SITI KHADIJAH BINTI KHUWAILID (Ummul Mu'minin Pertama)
Nama penuh beliau ialah Siti Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai dari berasal dari golongan pembesar Mekah. Berkahwin dengan Nabi Muhammad s.a.w ketika berumur 40 tahun, manakala Nabi Muhammad berumur 25 tahun. Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Beliau boleh hidup mewah dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian hidup menyendiri tanpa suami. Pada suatu hari, saat pagi buta, dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumahbapa saudaranya, iaitu Waraqah bin Naufal.
Ia berkata, “Tadi malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat kemana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu membuatku terpegun. Lalu aku terbangun dari tidurku". Waraqah mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahawa seorang lelaki agung dan mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat".Tak lama kemudian Khadijah ditakdirkan menjadi isteri Rasulullah SAW.
Ketika Nabi Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur, telah diperkenalkan untuk ikut menjualkan barang dagangan Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan jiwa Nabi Muhammad SAW. Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk menikah dengan Nabi Muhammad. Semua itu berlaku dengan usaha orang tengah iaitu Nafisah Binti Munyah dan peminangan dibuat melalui bapa saudara Nabi iaitu Abu Talib. Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan sifat-sifat istimewa Nabi Muhammad ini, sehingga beliau tidak mempedulikan segala kritikan dan kecaman dari keluarga dan kerabatnya.
Mengenang Siti Khadijah ra berarti kita mengingat sejarah perjuangannya dalam mendampingi Rasulullah. Siti Khadijah berasal dari keturunan yang terhormat, mempunyai harta kekayaan yang tidak sedikit seerta terkenal sebagai wanita yang tegas dan cerdas. Bukan sekali dua kali pemuka kaum Quraisy mencoba untuk mempersunting dirinya. Tetapi pilihannya jutru jatuh pada seorang pemuda yang bernama Muhammad, pemuda yang begitu mengenal harga dirinya, yang tidak tergiur oleh kekayaan dan kecantikan.
Sayyidatina Khadijah ra merupakan wanita pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Beliau banyak membantu dan memperteguhkan tekad Rasulullah SAW melaksanakan risalah dakwah. Beliau senantiasa berusaha meringankan kepedihan hati dan menghilangkan keletihan serta penderitaan yang dialami oleh suaminya dalam menjalankan tugas dakwah. Inilah keistimewaan dan keutamaan Khadijah dalam sejarah perjuangan Islam. Beliau adalah sumber kekuatan yang herada di belakang Rasulullah saw.
Pada suatu ketika Rasulullah saw menyatakan, yang mana pernyataan beliau ini membuat Siti Aisyah merasa cemburu:
"Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik dari dia, yang beriman kepadaku saat semua orang ingkar, yang percaya kepadaku ketika semua mendustakan, yang mengorbankan semua hartanya saat semua berusaha mempertahankannya dan ... darinyalah aku mendapatkan keturunan." Begitulah pernyataan Rasulullah saw tentang kepribadian Khadijah, istrinya. Seorang isteri sejati, muslimah yang dengan segenap kemampuan dirinya berkorban demi kejayaan Islam. Dalam majelis haul dan & zikir semacam ini banyak hikmah yang dapat kita ambil. Majelis-majelis seperti inilah yang dicintai oleh Rasulullah, karena da'am majelis seperti ini, kita bisa mengetahui perjuangan orang-orang yang berjuang bersama Rasulullah. Alangkah celakanya mereka-mereka yang sombong, congkak, yang membenci peringatan-peringatan seperti ini, karena mereka secara tidak langsung telah berpaling dari orang-orang yang dicintai Allah dan RasulNya. Kelak mereka ketika di akherat akan diubah wujudnya oleh Allah menjadi seekor semut yang kecil, mereka akan terinjak-injak oleh manusia. Dikisahkan pada zaman sahabat, ada seorang sahabat yang mempunyai anak yang masih berumur 10 tahun, ingin ikut bersama ayahnya untuk berjihad menegakkan agama Allah Sewaktu di tengah-tengah medan pertempuran sang anak berkata pada ayahnya: "Wahai ayahku doakan aku mati syahid agar bisa bertemu dengan Rasulullah", Apa jawab sang ayah: "Jika engkau syahid dalam pertem puran ini tolong sampaikan salamku pada Rasulullah SAW”. Inilah salah satu contoh mendidik anak agar anak menjadi sholeh. Sangat berbeda dengan zaman yang kita hadapi sekarang ini, di mana orang tua lebih takut jika anaknya tidak bisa matematika, tidak faham internet dan llmu-ilmu dunia lainnya, sementara tidak merasa kuatir ataupun takut jika mereka tidak mengenal Allah dan Rasul-Nya. Coba kita tengok anak-anak zaman sekarang mereka lebih faham nama-nama bintang sinetron ataupun sepak bola. Sementara nama-nama nabi, para sahabat dan para auliya'illah mereka tidak kenal. Wahai para kaum muslimin mari kita didik anak-anak kita untuk lebih mengenal Allah dan Rasul-Nya, mari kita ajak mereka untuk sholat berjama'ah membaca Al-Quran. jangan sampai mereka tidak bisa membaca Al-Quran apalagi tidak mengerjakan sholat.
Khadijah yang juga seorang yang cerdas, mengenai ketertarikannya kepada Muhammad mengatakan, “Jika segala kenikmatan hidup diserahkan kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Iran dan Romawi diberikan kepadaku, tetapi aku tidak hidup bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga daripada sebelah sayap seekor nyamuk.”Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Nabi Muhammad maka Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kenabian suaminya, dan wanita pertama yang memeluk serta menerima Islam. Sepanjang hidupnya bersama Rasulullah SAW, Khadijah begitu setia menyertai baginda dalam setiap peristiwa suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, beliau pasti menyiapkan semua bekalan dan keperluannya. Seandainya Rasulullah SAW agak lama tidak pulang, beliau akan meninjau untuk memastikan keselamatan baginda. Sekiranya baginda khusyuk bermunajat, beliau tinggal di rumah dengan sabar sehingga baginda pulang. Apabila suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, beliau cuba sedaya mungkin mententeram dan menghiburkannya sehingga suaminya benar-benar merasai ketenangan. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Malah dalam banyak kegiatan peribadatan Rasulullah SAW, Khadijah pasti bersama dan membantu baginda seperti menyediakan air untuk mengambil wudukRasulullah SAW menyebut keistimewaan terpenting Khadijah dalam salah satu sabdanya, “Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihku, ia menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.”Siti Khadijah telah hidup bersama-sama Nabi Muhammad selama 24 tahun dan wafat dalam usia 64 tahun 6 bulan.
Khadijah Mengajarkan Cinta kepada Kita
Diriwayatkan dalam sahih Bukhari dengan sanadnya, dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Az Zubair dari Aisyah, ummul mukminin menceritakan hadits tentang pemulaan turunnya wahyu, yaitu ketika Malaikat Jibril turun menemui Muhammad di gua Hira’ dan memintanya membaca ” iqra’ ” tiga kali.Tiga kali juga Muhammad saw. menjawab“Maa ana biqari’ “, menegaskan bahwa beliau tidak bisa membaca. Kata “maa” merupakan penafian atau pengingkaran bahwa memang beliau tidak sanggup membaca sama sekali. Kemudian Jibril mendekapnya dengan kuat. Peristiwa tiba-tiba itu membuat Muhammad saw. takut dan khawatir terhadap dirinya.
Muhammad saw. segera pulang menemui Khadijah binti Khuwailid ra seraya berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Dengan sigap Khadijah menyelimutinya, perlahan rasa takut mulai menghilang. Setelah merasa tenang, Muhammad saw. menceritakan kejadian yang dialaminya. “Sungguh saya takut terhadap diriku.” pungkas Muhammad saw.
“فقالت خديجة: كلا والله ما يخزيك الله أبدا إنك لتصل الرحم ، وتحمل الكل، وتُكسب المعدوم، وتُقرى الضيف، وتُعين على نوائب الحق”
Dengan sigap dan mantap Khadijah menjawab, “Tidak, sekali-kali tidak, Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya, karena engkau penyambung silaturahim, membantu yang memerlukan, meringankan orang yang tidak berpunya, memulyakan tamu dan menolong untuk kebenaran.”
****
Yang menarik untuk disebut dari periwayatan ini adalah, bahwa Aisyah istri Rasulullah saw. sangat cemburu dengan Khadijah , namun demikian, Aisyah secara amanah meriwayatkan kisah ini apa adanya, tidak dikurangi sedikit pun. Subhanallah!
****
(فدخل على خديجة بنت خويلد)
“Maka Muhammad segera pulang menemui Khadijah di rumahnya”, mengisyaratkan bahwa Muhammad saw. “betah” berkeluarga dengan Khadijah, bahkan beliau mengkhususkan curhat kepadanya atas kejadian yang dialaminya. Padahal Khadijah ra tidak sendirian di rumahnya, Khadijah bersama anak-anaknya -bukan anak Muhammad dari hasil pernikahan dengan Khadijah-.
Seandainya Muhammad saw. tidak “betah” di rumah Khadijah, pasti beliau tidak akan pulang ke rumah Khadijah di saat dirinya dihantui ketakutan seperti itu.
Muhammad saw. minta diselimuti, ketika rasa takut dalam dirinya lenyap dan rasa khawatir yang menyelimuti jiwanya hilang, Muhammad saw. baru menceritakan apa yang terjadi.
****
Rasa takut yang demikian hebat mampu menghalangi berpikir jernih dan menghambat berinisiatif secara cepat dan tepat.
(فلما ذهب عن إبراهيم الروع وجاءته البشرى يجادلنا في قوم لوط(
“Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) kami tentang kaum Luth.” Huud:74
(فزملوه حتى ذهب عنه الروع)
Penggunaan huruf ” fa’ ” dalam potongan hadits di atas menunjukkan kesigapan seorang istri, “Maka Khadijah langsung menyelimutinya, sehingga hilanglah rasa takut darinya.”
Muhammad saw. terkenal sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatan dan kepribadian dirinya, sehingga tidak mungkin beliau meminta diselimuti, kalau bukan karena kondisi yang menimpa dirinya sedemikian hebat.
Namun, rasa takut dan khawatir yang dialami Muhammad saw. adalah hal yang wajar, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga demikian,
“Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: “Jangan kamu takut, Sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” Huud:70
“Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” Thaaha:67
“(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Adz Dzariat:28
Muhammad menceritakan kejadian yang dialaminya setelah beliau benar-benar merasakan ketenangan. Muhammad memilih Khadijah sebagai tempat curhat beliau. Kenapa? Karena Khadijah orang yang paling tahu tentang dirinya, orang yang paling dekat dengannya, Khadijah tahu, bahwa apa yang diceritakan suaminya adalah benar.
Sekaligus Muhammad saw. juga paham bahwa istrinya mampu memberi jalan keluar dari peristiwa yang hadapinya.
Khadijah seorang yang cerdas, mengetahu solusi jitu atas apa yang dialami suaminya, termasuk perihal yang belum pernah terjadi sekalipun.
****
Permulaan turunnya wahyu merupakan tahapan baru bagi kehidupan Muhammad saw. turunnya wahyu dengan tiba-tiba menjadikan diri beliau berubah statusnya. Turunya permulaan wahyu ini sebagai deklarasi tersambungnya kembali antara langit (risalah Ilahiyah) dengan bumi (tugas penyampaian dan sikap optimisme hidup).
Tersambungnya kembali jalinan langit dan bumi, setelah sebelumnya terputus beberapa abad. Inilah proses penguatan jiwa Muhammad saw. sebagai seorang manusia untuk menerima risalah Ilahiyah.
****
Karena itu, Muhammad saw. berkata, “Saya takut terhadap diriku sendiri” rasa takut terhadap apa yang ia lihat dan di dengar itu bagian dari tipu daya jin atau dukun, sebagaimana yang dipaparkan dalam buku-buku sirah tentang ketakutan Muhammad saw. terhadap dirinya.
Khadijah menjawab dengan mantap, karena dilatar belakangi pengenalan panjangnya terhadap pribadi Muhammad saw. sejak menjadi pedagang.
Pengenalan panjang Khadijah sebelum menikah dengan Muhammad, yaitu informasi di dapat dari pembantunya yang bernama Maisaroh -seorang laki-laki- yang menemani Muhammad saw. berdagang ke Syam, di mana Maisaroh melihat awan dengan mata kepala sendiri berjalan menaungi Muhammad saw. di suasana terik matahari. Dalam riwayat lain dua malaikat menaungi Muhammad saw. kemana saja ia berjalan dari terik matahari.
Atau berteduhnya Muhammad saw. di bawah sebuah pohon. Seorang Rahib yang melihat kejadian itu berkomentar, “Tidak ada orang yang berteduh di pohon ini kecuali ia adalah seorang nabi, sebagaimana diterangkan dalam kitab asli kami.” Dan ketika diceritakan ciri-ciri Muhammad, maka itu persis tertulis dalam kitab mereka.
Kisah ini ditulis di banyak buku sirah, seperti sirah Ibnu Ishaq, sirah Ibnu Hisyam, sirah As Suyuthi, sirah As Suhaili dan lain-lain.
****
Makanya, ketika Khadijah menjawab dengan mantap, “Tidak, sekali-kali tidak” adalah berdasarkan data-data panjang yang ia ketahui sebelumnya. Jawaban yang juga tidak diduga Muhammad saw. sendiri. Jawaban tegas, memancar dari aliran cintanya kepada suaminya. Kenapa tidak? Karena Khadijah yakin bahwa beliau adalah utusan Allah swt. untuk umat ini.
Khadijah segera mencarikan informasi kepada tokoh agama, Waraqah bin Naufal, atau kepada pendeta Buhaira tentang kejadian yang dialami Muhammad saw. Keduanya berkomentar, bahwa Muhammad seorang nabi akhir zaman untuk umat ini.
****
Proses nikahnya Khadijah dengan Muhammad pun unik, dimana Khadijah meminta salah seorang wanita Quraisy untuk mempengaruhi Muhammad dengan menceritakan keistimewaan dan kelebihan Khadijah. Di akhir lobi, wanita itu menawarkan kepada Muhammad, bahwa Khadijah layak menjadi Istrinya, dan Muhammad cocok menjadi suaminya.
Dengan ditemani pamannya, Abu Thalib dan paman-paman yang lain, Muhammad saw. melamar Khadijah. Sejarah sirah mencatat, bahwa Khadijah ketika itu sebagai seorang pebisnis ulung yang sangat kaya raya.
****
Kisah lain yang menguatkan bahwa Muhammad saw. seorang Rasul adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Baihaqi dari Ibnu Ishaq, bahwa Khadijah bersanding dengan Muhamamd saw. di dalam rumahnya. Khadijah berkata, “Apakah engkau melihat Malaikat Jibril? Muhammad menjawab, “Ya”. Maka Khadijah masuk kebilik kamarnya dan bersanding dengan Muhammad seraya membuka tutup kepala dan cadar yang dipakainya. Khadijah kembali bertanya, “Apakah engkau masih melihatnya? Tidak, jawab Muhamamd saw. Khadijah berkomentar, Ia bukanlah setan, ia adalah malaikat wahai putra pamanku. Khadijah yakin dan bersaksi bahwa apa yang dibawa Muhammad saw. adalah kebenaran.
Demikian, kita melihat sikap bijak ummul mukminin, Khadijah ra. Dirinya menjadi dewasa dan matang bersamaan dengan kejadian-kejadian yang dialaminya. Khadijah menjadi mudah menyelesaikan persoalan bersamaan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Khadijah tidak sekedar menggembirakan dan membela Muhammad saw. berdasarkan dugaan atau kamuflase belaka. Akan tetapi Khadijah mempersembahkan pembelaan dan menyenangkan hati suaminya karena berdasarkan data-data panjang yang ia hadapi selama ini.
Dengan sigap dan penuh cinta, Khadijah mendampingi suaminya menghadapi persoalan hidup. Allahu a’lam.
Sumber http://www.dakwatuna.com/2008/khadijah-mengajarkan-cinta-kepada-kita/
STUDI LITERATUR FIQH ISLAM MADZAB SYAFI'I
Mengkaji literature Fiqh bukan saja membutuhkan kesabaran, akan tetapi juga kemampuan dan keuletan. Mengapa? Ya, karena seorang bahis di samping harus mengetahui buku-buku primer fiqh yang sedang dikajinya, juga terlebih dahulu ia harus memahami dan menguasai paling tidak seluk beluk dasar dari madzhab fiqh yang sedang dibahasnya. Belum lagi ia harus mengetahui buku-buku yang termasuk kategori awwalun, mutawasithun, dan muta'akhirun. Hal ini penting, mengingat umumnya buku-buku literature fiqh satu sama lain saling berkaitan erat. Ketika anda mendapatkan sebuah syarah atau hasyiyah atau mukhtashar dari salah satu buku, tidak berarti bahwa itu semua tidak berarti dan tidak penting. Banyaknya hasyiyah dan syarah, hakikatnya semakin menambah beban seorang bahis, lantaran satu syarah dan hasyiyah dengan yang lainnya tentu sangat berbeda dan mempunyai penekanan tersendiri. Semua ini hanya bisa dipahami tentunya oleh mereka yang telah lama 'bersentuhan' dengan literature dimaksud. Karena banyaknya hal yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang bahis inilah, banyak kalangan fiqh sendiri mengatakan bahwa hakikatnya mengkaji literature turats tidaklah gampang. Masih lebih mudah mengkaji buku-buku kontemporer ketimbang buku-buku turats.
Pendapat ini tentu tidak berlebihan sekaligus tidak berarti tidak dapat diobati. Kita semua tentu dapat mengkajinya dengan baik selama ada kerja keras dan kemauan serta kesabaran. Dalam rangka upaya memahami literature inilah, makalah ini sengaja penulis sodorkan ke hadapan pembaca. Makalah ini tentu bukan satu-satunya rujukan yang sudah disegel kebenarannya. Sekali lagi tidak. Masih banyak kekurangan dan boleh jadi kekeliruan di dalamnya. Hanya saja, paling tidak, semoga makalah ini menjadi jembatan pertama yang menghubungkan anda dengan dunia literature fiqh, khususnya madzhab Syafi'i.Pada awalnya, tema yang disodorkan kepada penulis bersifat umum yakni turats fiqh. Akan tetapi penulis melihat, bagaimana dapat menyodorkan literature fiqh yang bejibun, dalam beberapa madzhab, hanya dalam waktu dua setengah jam. Oleh karena itu, penulis berinisiatif untuk membatasi diri pada kajian fiqh Madzhab Syafi'i, mengingat madzhab inilah yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Untuk bahasan madzhab-madzhab fiqh lainnya semoga dapat kita bahas bersama dalam kesempatan yang lain.Paling tidak, hemat penulis, untuk mengkaji fiqh satu madzhab, baik Hanafi, Maliki, Syafi'i maupun Hanbali dibutuhakan tiga kali pertemuan (satu paket) masing-masing dengan durasi minimal 2 jam. Ketiga pertemuan dimaksud pertama, untuk mengkaji seputar perkembangan awal sekaligus pendiri dari madzhab bersangkutan (tingkat dasar), dilanjutkan dengan mengkaji buku-buku primer sekaligus takhrij masail fiqhiyyah antara pendapat Syafi'i dengan Syafi'iyyah, misalnya. Dan terakhir, mengkaji ushul, metode istinbat hokum serta qawaid-qawaid istinbath yang digunakan madzhab tersebut ditambah dengan analisa. Analisa ini sangat diperlukan agar terhindar dari pengelu-eluan turats yang berlebihan sehingga, dalam istilah Ali Jum'ah tidak qabul wujdany, menerima secara membabi buta, juga sebaliknya tidak rafdh wujdany, menolak mentah-mentah.Makalah kali ini, tentu tidak akan dapat menjawab ketiga hal di atas. Paling tidak, makalah ini mencoba menjawab salah satunya—disesuaikan dengan tema dari workshop ini—yakni untuk mengetahui buku-buku primer apa yang harus dipakai dan dijadikan maraji' oleh mereka yang hendak mengkaji madzhab Syafi'i. Itu saja, tujuan utama dari penulisan makalah ini. Hal ini penting, mengingat belakangan ini seringkali para bahis mengkaji dan menulis fiqh Syafi'i akan tetapi bukan dari sumber primernya. Yang terjadi, tentu hasil dari penelitian dimaksud tidak dapat diterima dan tidak dapat dipandang sah secara ilmiah. Bagaimana mengatakan itu adalah pendapat Imam Syafi'i apabila yang dijadikan maraji'nya adalah buku Mughnil Muhtaj karya al-Khatib Syarbiny, misalnya. Atau bagaimana dipandang sah apabila mengatakan bahwa pendapat ashhab Syafi'i begini atau begitu sementara buku yang dijadikan pegangannya adalah buku Safinatun Najah. Untuk itu, semoga tulisan ini dapat menjadi bekal bagi para pembaca dalam rangka studi literature primer fiqh Madzhab Syafi'i. Semoga dalam dua tema lainnya yang belum dibahas serta studi literature madzhab-madzhab fiqh lainnya dapat kita bahas bersama dalam lain waktu dan lain kesempatan. Sebelum lebih lanjut penulis mengajak pembaca pada bahasan inti, perlu penulis kemukakan terlebih dahulu bahwa untuk biografi singkat pendiri Madzhab Syafi'i yaitu Imam Syafi'i dan sejarah tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi'i, dapat dilihat dalam kerangka atau bagan yang sengaja penulis lampirkan. Hal ini dilakukan, mengingat keterbatasan waktu dan makalah. Apabila dicantumkan, tentu akan merepotkan paniti, mengingat kemungkinan besar makalah akan menjadi sangat tebal. Akhirnya, semoga tulisan kecil ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca semua. Semua kesalahan dan kekurangan tentu datang dari penulis sendiri, sementara kebenaran datang dari Allah dan RasulNya. Hanya kepada Allah kita bergantung dan mengabdi, dan hanya kepadaNya jualah kita akan kembali. Selamat mengikuti.Literatur buku-buku Fiqh dalam Madzhab Syafi'i Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Syafi'i tentu merupakan madzhab yang paling banyak buku-buku fiqhnya. Saking banyaknya buku-buku fiqh Syafi'i ini, tidak ada seorang ulama pun yang dapat menghitungnya termasuk anda sendiri. Tidak percaya? Coba sesekali anda main ke maktabah-maktabah dan minta dikumpulkan buku-buku fiqh Syafi'i, kemungkinan besar buku-buku dimaksud akan menghabiskan setengahnya bahkan lebih dari isi maktabah tersebut. Banyaknya buku-buku ini, tentu disamping berkat kejuhudan murid-murid dan ulama Syafi'iyyah, juga hemat penulis, karena buku-buku fiqh Madzhab Syafi'i ini satu sama lain saling berkaitan dan bersambung.
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan keterkaitan dan kebersambungan buku-buku dimaksud. Buku pertama dalam madzhab Syafi'i adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi'i (w 150H) sendiri. Pada masa berikutnya, buku al-Umm ini diringkas oleh muridnya yang bernama Imam al-Muzani (w 264 H) dalam bukunya berjudul Mukhtashar al-Muzani. Tidak lama kemudian, buku Mukhtashar al-Muzani ini disyarah oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Selang beberapa lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh muridnya Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam bukunya al-Basith. Tidak puas dengan al-Basith, Imam Ghazali meringkasnya menjadi al-Wasith, kemudian al-Wasith diringkas juga dalam bukunya yang lain berjudul al-Wajiz dan terakhir, buku al-Wajiz ini diringkas lagi dalam bukunya al-Khulashah. Setelah itu datang Imam ar-Raf'i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-Ghazali tadi menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, datang Imam Nawawi (w 676 H), meringkas buku al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian menjadi pegangan utama para ulama Syafi'iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Tidak lama kemudian, buku Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-Jauhari menjadi an-Nahj. Imam ar-Rafi'i kemudian mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, namun tidak diberi nama dan dalam asy-Syarh al-Kabir yang diberi nama dengan al-'Aziz. Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi'i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-Asna. Setelah itu, datang Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul an-Na'im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin Umar al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-'Ibab, kemudian Ibn Hajar al-Haitami mensyarahnya menjadi al-Ii'ab hanya saja tidak sampai akhir. Imam Suyuthi juga meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-Gunyah, dan mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-Khulashah, akan tetapi tidak sampai selesai. Imam al-Qazuwaini kemudian meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi'i dalam karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya tidak disebutkan nama syarah ini). Kemudian datang Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad, lalu al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan buku-buku berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.Dari penjelasan di atas, nampak sangat jelas bagaimana keterkaitan dan ketersambungan buku-buku fiqh madzhab Syafi'i ini antara satu dengan yang lainnya. Inilah yang kemudian menyebabkan buku-buku fiqh Madzhab Syafi'i ini lebih banyak bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Dengan saling keterkaitannya antara satu kitab dengan yang lainnya juga menyebabkan cara penempatan bab-bab fiqh dalam buku-buku fiqh Syafi'i menjadi sangat berdekatan dan hampir sama. Coba anda perhatikan bagaimana bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm hampir sama penempatannya dengan buku Minhajut Thalibin atau syarahnya. Apabila melihat kitab-kitab Madzhab Syafi'i sebagaimana telah penulis tuturkan di atas, tentu anda akan sangat sulit dan bingung dalam mendudukan kitab-kitab tersebut. Nah, untuk lebih memudahkan, berikut ini penulis mencoba membagi kitab-kitab madzhab Syafi'i ini dalam beberapa kelompok sesuai dengan apa yang telah penulis jelaskan dalam bahasan periodisasi perkembangan madzhab Syafi'i .Dengan dasar periodisasi perkembangan madzhab Syafi'i, penulis mencoba membagi buku-buk fiqh madzhab Syafi'i ini ke dalam tujuh kelompok. Pengelompokan ini diawali dari sejak awal berdirinya madzhab tersebut sampai masa paling akhir dan modern belakangan ini. Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:1. Karya-karya Imam Syafi'i 2. Karya-karya Ulama Syafi'iyyah generasi pertama3. Karya-karya ulama Syafi'iyyah generasi kedua4. Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran5. Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus6. Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas7. Karya-karya Madzhab Syafi'i belakanganUntuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan ketujuh kelompok dimaksud:1. Karya-karya Imam Syafi'i .Berikut ini karya-karya Imam Syafi'i yang disusun ketika beliau berada di Mesir:1. Kitab al-Umm2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila3. Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas'ud4. Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi'i 5. Kitab Jima'il 'Ilm6. Kitab Bayan Faraidhillah7. Kitab Shifati Nahyi Rasulillah8. Kitab Ibthalil Istihsan9. Kitab ar-Radd 'Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany10. Kitab Siyaril Auzai. Semua karya-karya Imam Syafi'i sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, telah ditahkik dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan judul Mausu'ah al-Imam asy-Syafi'i . Buku tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah beliau yang diajukan ke Jami'ah Islamiyyah di Karachi Pakistan. Buku ini dicetak pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Hemat penulis, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin Hasun terhadap kitab al-Umm ini adalah yang paling baik dan paling lengkap dalam segi tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya apabila dibandingkan dengan tahkikan lainnya. Buku-buku karya Imam Syafi'i di atas sangatlah penting dan merupakan marja' primer bagi mereka yang hendak mengkaji fiqh madzhab Syafi'i. Ketika anda hendak mengetahui bagaiman pendapat Imam Syafi'i dalam suatu hal masalah fiqh, maka anda harus kembali kepada kitab-kitab karya Imam Syafi'i di atas yang sudah dirangkum oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dalam karyanya berjudul Mausu'ah al-Imam asy-Syafi'i . Apabila anda kaji, seringkali terjadi kesalahan dalam menisbatkan sebuah hokum kepada madzhab Syafi'i. Seringkali ulama Syafi'iyyah mengatakan bahwa demikian menurut Imam Syafi'i, padahal sesungguhnya tidak seperti itu. Untuk mengambil salah satu contoh, berikut ini penulis kemukakan apa yang dituturkan oleh DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya Masail min Fiqh al-Kitab was Sunnah. Dalam buku ini Sulaiman al-Asyqar mengatakan bahwa sebagian ulama Syafi'iyyah telah salah dalam menisbahkan pendapat hokum kepada Imam Syafi'i, di mana mereka mengatakan bahwa menurut Imam Syafi'i, orang yang mengetahui letak Ka'bah (kiblat) maupun yang tidak mengetahui, harus beribadah tepat menghadap Ka'bah. Padahal dalam kitab al-Umm, dengan tegas-tegas Imam Syafi'i berkata bahwa bagi yang tidak mengetahui di mana letak Ka'bah cukup dengan keyakinannya saja terhadap letak Ka'bah tersebut. Seandainya tidak tepat sekalipun, tidak mengapa. Oleh karena itu, sekali lagi, apabila anda hendak mengkaji bagaimana pendapat Imam Syaf'i dalam satu hal, anda tidak boleh melirik buku lain, tapi kembalikan kepada buku primernya berupa karya-karya Imam Syafi'i sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun, satu hal yang perlu penulis tambahkan di sini, bahwa untuk membantu pengkajian anda terhadap kitab al-Umm ini, anda perlu juga membaca buku lainnya yakni buku Ma'rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaki. Buku ini sangat berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi'i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Hal ini dikarenakan, dalam kitab al-Umm, tidak ada perincian seperti di atas. Terkadang, dalam kitab al-Umm tidak disebutkan dalilnya, tapi langsung hukumnya. Nah, untuk mengetahui apa dalil Imam Syafi'i dalam menetapkan hokum tersebut, atau bagaimana kedudukan hadits yang disebutkan Imam Syafi'i dalam al-Umm ini, serta bagaimana sanad hadits yang dituturkan Imam Syafi'i dalam al-Umm, anda dapat melihat buku Ma'rifatus Sunan wal Atsar karya Imam Baihaki tersebut. Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan, dan tahkikan ini hemat penulis yang paling bagus apabila dibandingkan dengan tahkikan lainnya.2. Karya-karya Tokoh Ulama Syafi'iyyah generasi pertama setelah Imam Syafi'i Yang dimaksud dengan tokoh Syafi'iyyah generasi pertama di sini adalah untuk menyebut dua imam besar madzhab Syafi'i yakni Imam Rafi'i (557-623H) dan Imam Nawawi (631-676 H).Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi'i mempunyai kedudukan sangat penting. Bahkan, boleh dikatakan kedua terpenting dalam madzhab Syafi'i setelah karya-karya Imam Syafi'i. Artinya, ketika anda hendak mengetahui bagaimana pendapat Madzhab Syafi'i (bukan pendapat Imam Syafi'i ) tentang sebuah masalah, maka hendaknya ia melihat karya-karya dua imam ini. Dengan melihat karya-karya dua imam ini, anda tidak perlu melihat buku-buku fiqh lainnya. Mengapa karya kedua imam ini begitu penting? Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kedua imam inilah yang mempunyai peranan sangat besar dalam pengembangan madzhab Syafi'i . Jadi, sekali lagi ketika anda hendak melihat bagaimana pendapat madzhab Syafi'i tentang satu masalah, anda cukup melihat karya-karya kedua imam tersebut.Apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak berbeda pendapat dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai madzhab Syafi'i . Namun, apabila antara Imam Rafi'i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, atau keduanya tidak dapat dicari mana yang paling rajih, atau dapat diketahui mana yang paling rajih akan tetapi kedua pendapat tersebut sama, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi.
Dalam hal ini Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) pernah mengatakan dalam mukaddimah bukunya Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj:الذى أطبق عليه المحققون أن المعتمد ما اتفقا الشيخان عليه, فإن اختلفا ولم يوجد لهما مرجح أو وجد ولكن على السواء, فالمعتمد ما قاله النووى وإن وجد لأحدهما دون الأخر فالمعتمد ذو الترجيح.Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini penulis ketengahkan karya-karya keduanya.A. Karya-karya Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi'i1) Kitab al-Muharrar. Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat, manuskrip dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum ditahkik dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut. Dan sebagaimana telah penulis tuturkan di atas, bahwa buku al-Minhaj ini sangat masyhur di kalangan para ulama Syafi'iyyah dan sangat banyak syarahnya. Untuk itulah kitab al-Muharrar belum dicetak dan belum ditahkik sampai saat ini.2) Kitab asy-Syarhus Shagir. Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam al-Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister Jami'ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.3) Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Buku ini merupakan buku terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi'i. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan panjang. Dalam penjabarannya, Imam Rafi'i dalam buku ini terlebih dahulu menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi'i serta pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang dipandang sebagai madzhab Syafi'i. Buku ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu'awwad serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah pada tahun 1997.Mengingat pentingnya buku ini, Imam Nawawi dalam mukaddimah bukunya Raudhah ath-Thalibin (I/47) pernah berkata:ونقح المذهب أحسن التنقيح, وجمع منتشره بعبارات وجيزات, وحوى جميع ما وقع له من الكتب المشهورات...فأتى فى كتابه شرح الوجيز بما لا كبير مزيد عليه من الاستيعاب, مع الإيجاز والإتقان وإيضاح العبارات, فشكر الله الكريم له سعيه, وأعظم له المثوبات...B. Karya-karya Imam NawawiImam Nawawi mengarang banyak buku fiqh dalam Madzhab Syafi'i . Di antara karyanya itu ada yang hilang ada juga yang masih ada sampai sekarang. Di antara yang sudah hilang adalah karyanya berjudul Ruhul Masail fil Furu' dan 'Uyun al-Masail al-Muhimmah. Sementara buku-bukunya yang masih ada yang dipandang sangat penting, adalah:1) Kitab Minhajut Thalibin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Muharrar karya Imam Rafi'i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang sangat penting bahkan terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab Syafi'i. Umumnya, buku ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi'iyyah dalam menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah Mughnil Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul Muhtaj karya Imam ar-Ramli. 2) Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi'i. Buku ini lebih tebal dari pada buku Minhajut Thalibin di atas.3) Al-Majmu' Syarh al-Muhadzab. Buku ini merupakan buku terbesar dan terpenting dari karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Muhadzab karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling terkenal dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini sangat tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih. Dalam buku ini Imam Nawawi bukan semata mengungkapkan pendapat Madzhab Syafi'i, akan tetapi juga membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang tentunya disertai dengan munaqasyah dan rad-rad tajam. Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari Kitab al-Buyu'. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba melengkapinya, hanya saja belum sampai selesai buku al-Majmu' tersebut, ajal lebih dahulu merenggutnya. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja. Setelah Taqiyuddin al-Subuki meninggal, baru para ulama Syafi'iyyah bangkit mencoba melengkapinya. Di antara para ulama yang melengkapi buku al-Majmu' ini adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-Muthi'i (w 1406 H). Buku al-Majmu' ini adalah buku terakhir Imam Nawawi. Meski demikian, para ulama Syafi'iyyah berikutnya, ketika mereka hendak menetapkan sebuah persoalan berdasarkan Madzhab Syafi'i dari karya-karya Imam Nawawi, mereka lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan Raudhatut Thalibin dari pada kepada al-Majmu'. Hal ini barangkali di antaranya disebabkan bahwa kitab al-Majmu' ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas. Oleh karenanya, mereka menilai, kitab al-Majmu' bukan karya asli Imam Nawawi dan karenanya kurang mendapatkan perhatian dari para ulama Syafi'iyyah berikutnya. 4) Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Buku ini dicetak beberapa kali cetakan dan oleh beberapa penerbit. Hanya saja, yang penulis pandang lebih baik tahkikannya adalah yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi', ditahkik oleh Syaikh Irfan Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar'isyli. Hanya saja buku ini lebih tepat disebut sebagai buku hadits bukan sebagai buku fiqh. Namun demikian, buku ini juga dipandang penting manakala hadits-hadits tersebut berkaitan dengan masalah fiqh.Bagaimana cara mentarjih antara aqwal dalam madzhab Syafi'i .Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pendapat Imam Syafi'i (al-aqwal) terkadang lebih dari satu demikian juga dengan pendapat para ulama Syafi'iyyah generasi awal (al-aujuh). Untuk itu, dibutuhkan upaya tarjih di antara pendapat-pendapat tersebut. Upaya untuk mentarjih aqwal tersebut telah dilakukan oleh dua Imam besar yakni Imam Rafi'i dan Imam Nawawi. Artinya, kini kita lebih mudah dan sedikit gampang. Apabila hendak melihat pendapat mana yang lebih dipandang sebagai pendapat madzhab Syafi'i, anda tinggal melihat hasil tarjih dari Imam Rafi'i dan Imam Nawawi. Apabila antara Imam Rafi'i dan Imam Nawawi terjadi pertentangan dan tidak dapat digabungkan juga tidak dapat ditarjih, maka apa yang diungkapkan oleh Imam Nawawi lebih didahulukan daripada hasil tarjih Imam Rafi'i. Lantas apa yang dipakai oleh Imam Nawawi dalam mentarjih aqwal tersebut?Berikut ini ringkasan penuturan Imam Nawawi dalam mukaddimah kitab al-Majmu' Syarah al-Muhadzab, mengenai metode tarjih yang dipakainya apabila terjadi perbedaan di antara aqwal tersebut:1. Pendapat Imam Syafi'i yang tidak bertentangan dengan dalil baik pendapat lama (al-qaul al-qadim) maupun pendapat baru (al-qaul al-jadid) adalah yang diambil sebagai pendapat Madzhab Syafi'i . Hal ini dikarenakan Imam Syafi'i pernah berkata:إذا وجدتم فى كتابى خلاف سنة رسول الله فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا قولى2. Qaul Jadid Imam Syafi'i dipandang sebagai Madzhab Syafi'i apabila secara terang-terangan bertentangan dengan qaul qadim. Namun, apabila qaul jaded tidak bertentangan dengan qaul qadim, atau tidak diketemukan pendapat Imam Syafi'i dalam qaul jaded, hanya ada dalam qaul qadim, maka qaul qadim itulah yang dipandang sebagai madzhab Syafi'i dan itulah yang harus dijadikan pijakan dalam berfatwa.3. Apabila ada dua pendapat Imam Syafi'i yang sama baik dari segi baru, lama atau dalilnya, maka ambillah pendapat yang paling akhir dari kedua pendapat tersebut, apabila diketahui pendapat mana yang paling akhir. Namun, apabila tidak diketahui pendapat yang paling akhir, maka ambil pendapat yang ditarjih sendiri oleh Imam Syafi'i .4. Apabila pendapat-pendapat Imam Syafi'i tersebut tidak diketahui mana yang murajjah dan mana yang murajjihnya, baik dari segi qadim jadidnya atau dari sisi tidak ada tarjih sama sekali dari Imam Syafi'i , maka harus dicari mana yang paling rajih dengan jalan disesuaikan dengan nash-nash dari Imam Syafi'i lainnya, metode dan kaidah pengambilan hukumnya serta ushul-ushul yang biasa dipakai oleh Imam Syafi'i . Untuk lebih memudahkan ketika anda hendak mengkaji bagaimana pendapat tentang satu masalah menurut Madzhab Syafi'i, berikut ini penulis ringkaskan dalam bentuk table yang mana hemat penulis masalah tersebut tidak akan lepas dari lima keadaan berikut ini:No Masalah yang dicari ketetapan hukumnya dalam Madzhab Syafi'i Buku apa yang harus anda jadikan rujukan (tautsiq marja')1 Pendapat Imam Rafi'i Karya-karya Imam Rafi'i2 Pendapat Imam Nawawi Karya-karya Imam Nawawi3 Antara Imam Nawawi dan Imam Rafi'i sepakat mengenai hukumnya Karya-karya Imam Rafi'i dan Imam Nawawi dan keduanya dipandang mempunyai kekuatan dan tingkatan yang sama4 Antara Imam Rafi'i dan Imam Nawawi berbeda pendapat Karya-karya fiqh Imam Nawawi harus lebih didahulukan5 Baik Imam Rafi'i maupun Imam Nawawi tidak membahas persoalan tersebut, atau membahasnya namun terlalu ringkas dan sedikit Karya-karya para ulama Syafi'iyyah generasi kedua sebagaimana akan dibahas di bawah ini3. Karya-karya para ulama Syafi'iyyah generasi keduaSebelum menjelaskan lebih jauh tentang karya-karya pada generasi ini, terlebih dahulu perlu penulis kemukakan apa yang dimaksud dengan karya-karya para ulama Syafi'iyyah generasi kedua dalam tulisan ini. Dimaksudkan dengan karya-karya para ulama Syafi'iyyah generasi kedua ini adalah masa munculnya dua Imam besar yakni Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H) dan Syamsud Din Muhammad ar-Ramli (w 1004 H). Kedua imam ini penulis jadikan sub tersendiri mengingat penting dan besarnya sumbangsih keduanya dalam meneruskan pengembangan dan perluasan madzhab Syafi'i setelah sebelumnya dipelopori oleh Imam Rafi'i dan Imam Nawawi. Besarnya sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Untuk tidak memperbanyak kalam, berikut ini di antara karya kedua imam dimaksud.1. Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-Haitami sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Buku ini dicetak beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah al-Allamah Ahmad bin Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul Hamid asy-Syarwany. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dengan muhaqiq Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau hemat penulis lebih bagus dan lebih lengkap.2. Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj. Buku ini juga merupakan syarah dari buku Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din ar-Ramly. Buku ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni Hasyiyah al-Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan Hasyiyah al-Allamah Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby ar-Rasyidy (w 1096 H)Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah buku yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi'iyyah dalam menetapkan hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi. Apabila buku-buku karya al-Haitami dan ar-Ramli tidak membahas satu persoalan atau membahasnya tapi terlalu singkat, maka yang banyak diambil oleh ulama Syafi'iyyah generasi akhir adalah karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-Wardiyyah—kedua buku tersebut telah dicetak. Setelah buku-buku Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, buku berikutnya yang dipandang primer dalam madzhab Syafi'i adalah Mughnil Muhtaj Ila Ma'rifati Ma'ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi'i, termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-Azhar fakultas Syariah Islamiyyah. Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji' fiqh Syafi'i berikutnya adalah buku-buku hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya hawasyi yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari syarah Imam Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.Persoalan berikutnya, bagaimana apabila antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Syamsuddin ar-Ramli terjadi pertentangan pendapat? Sebagaimana antara Imam Rafi'i dan Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Syamsuddin ar-Ramli juga terkadang terjadi perbedaan pendapat, hanya saja perbedaan tersebut tidak sebanyak perbedaan antara Imam Nawawi dengan Imam Rafi'i. Apabila terjadi perbedaan, mana yang harus didahulukan? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara ulama Mesir dengan ulama Hijaj. Bagi ulama Mesir, maka pendapat ar-Ramli yang harus didahulukan khususnya apa yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena buku tersebut telah disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh pengarangnya sendiri kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan buku tersebut dapat dikatakan mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari pada yang lainnya.Sedangkan bagi ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus diambil manakala terjadi pertentangan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul Muhtaj. Hal ini dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-Haramain al-Juwaini. Meski demikian, apa yang diungkapakan oleh al-Allamah Umar al-Bashri dalam al-Fawaid al-Makkiyyah (hal 38) berikut ini, hemat penulis lebih tepat untuk dijadikan pegangan, bahwa apabila antara ar-Ramli dengan al-Haitami terjadi pertentangan pendapat, apabila mufti tersebut termasuk ulama yang dapat mentarjih, maka ambillah pendapat yang menurutnya lebih kuat. Namun, apabila bukan termasuk ulama tarjih, maka ia boleh mengambil pendapat mana saja menurut kehendaknya, atau mengambil kedua-duanya, atau mengambil hasil tarjih dari ulama muta'akhir. Umar al-Bashri juga melanjutkan, seorang mufti juga perlu memperhatikan mustaftinya. Apabila mustaftinya (yang meminta fatwa) adalah orang-orang yang kuat, maka ambil pendapat yang sedikit memberatkan. Namun, apabila mustaftinya orang yang lemah, maka ambil pendapat yang paling ringan dan memudahkan. Soal berikutnya, apabila hendak mencari bagaimana pendapat yang mu'tamad menurut ulama Syafi'iyyah terhadap satu persoalan, apakah cukup dan dipandang sah apabila hanya merujuk kepada dua buah buku Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj atau salah satunya saja jika persoalan yang dicari memang dibahas dalam dua buah kitab tersebut tanpa melihat dan merujuk kepada karya-karya Imam Rafi'i dan Imam Nawawi? Untuk menjawab persoalan ini, hemat penulis, anda boleh dan cukup hanya berpegang kepada dua buah buku tersebut. Hanya saja, ketika anda mau melihat buku karya Imam Nawawi dan Imam ar-Rafi'i, tentu itu lebih baik karena akan menambah wawasan dan dalil serta penguat lainnya. Bahkan dengan mengkaji karya Imam Nawawi dan Rafi'i juga, besar kemungkinan akan dapat menghindari kesalahan dan kekeliruan. Mengapa merujuk dua kitab di atas dipandang cukup? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan sodorkan dua hal penting:1. Banyak para ulama Syafi'iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-Tuhfah dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi'iyyah menjadikannya sebagai pegangan utama ketika mereka berfatwa. Salah satu ulama Syafi'iyyah yang memuji tersebut adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi'i (w 1194 H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi'iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i karya Imam al-Baghawi (I/50-51). Untuk lebih jelasnya berikut ungkapan beliau:ذهب علماء مصر—أو أكثرهم—إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملى فى كتبه خصوصا فى نهايته, لأنها قرئت على المؤلف إلى آخرها فى أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها, فبلغت صحتها إلى حد التواتر, وأكثر علماء اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ ابن حجر فى كتبه بل فى تحفته, لما فيها من إحاطة بنصوص الإمام مع مزيد تتبع المؤلف فيها, ولقراءة الحققين لها عليه, الذين لا يحصون كثرة....هذا ما كان فى السالف من علماء الحجاز, ثم وردت علماء مصر إلى الحرمين وقرروا فى دروسهم معتمد الشيخ الرملي, إلى أن فشا قوله فيها, حتى صار من له إحاطة بقولهما يقررها من غير ترجيح...وعندى لا تجوز الفتوى بما يخالفها, بل بما يخالف التحفة والنهاية, إلا إذا لم يتعرضا له, فيفتى بكلام شيخ الإسلام (يقصد الشيخ زكريا الانصارى—توفى سنة 926هـ), ثم بكلام الخطيب (يقصد الخطيب الشربينى توفى سنة 977هـ).2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi'i dan Imam Nawawi. Disamping karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi'i tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, karya keduanya dipandang lumayan mewakili karya Imam Nawawi dan Rafi'i. Hanya saja, memang sekali lagi, mengkaji dan melihat ulang ke buku-buku Imam Nawawi dan Imam Rafi'i jauh lebih baik dan lebih menambah pengembangan dalil. Kini perhatikan ringkasan bahasan kelompok nomor tiga iniNo Persoalan yang Dicari Buku Yang Harus Dijadikan Marja' Keterangan1 Mencari ketetapan hokum suatu persoalan menurut Madzhab Syafi'i Buku Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj karya Ibnu Hajar al-Haitami dan buku Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj karya Imam ar-Ramli Merujuk juga kepada karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi'i lebih bagus, tapi tidak pun tidak mengapa2 Apabila terjadi pertentangan antara Imam al-Haitami dengan Imam ar-Ramli Tarjih, kalau hal itu memungkinkan, kalau tidak, boleh diambil yang mana saja dengan memperhatikan mustaftinya (orang yang meminta fatwanya) 3 Apabila dalam buku-buku Imam al-Haitami dan ar-Ramli tidak membahas persoalan yang dicari atau bahasannya sangat singkat Lihat karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari 4 Apabila bahasannya juga kurang lengkap atau tidak dibahas sama sekali Lihat Mughnil Muhtaj Ila Ma'rifati Ma'ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini 5 Bila kurang lengkap juga atau bahasannya sedikit Lihat buku-buku Hawasyi dari semua Syarah Minhajut Thalibin 4. Karya-karya fiqh perbandingan (al-fiqh al-muqaran)Apabila pada buku-buku fiqh sebelumnya berkaitan dengan bagaimana untuk mengetahui hokum atau pendapat suatu masalah dari sisi Madzhab Syafi'i, kini persoalannya, bagaimana kalau hendak mengetahui pendapat Madzhab Syafi'i juga pendapat madzhab lainnya dalam satu persoalan akan tetapi buku-buku tersebut dikarang oleh ulama Syafi'iyyah? Dengan bahasa lebih mudah, bagaimana kalau hendak mengetahui argument-argumen ulama Syafi'iyyah ketika dihadapkan dengan pendapat-pendapat para ulama madzhab lainnya? Apa yang menjadi alasan dan dalil sehingga pendapat Syafi'iyyah lebih 'dimenangkan' dari pada madzhab lainnya? Untuk menjawab pertanyaan di atas, anda jangan melihat buku-buku sebelumnya. Boleh jadi anda akan mendapatkannya, hanya sedikit. Apabila anda ingin mendapatkannya secara gamblang dan lengkap, maka anda kini harus melirik buku-buku bermadzhab Syafi'i yang di dalamnya bukan semata mengungkapakan pendapat Syafi'iyyah akan tetapi juga madzhab fiqh lainnya. Buku-buku yang membandingkan juga me-rad dan mentarjih buku-buku fiqh madzhab lainnya, pada masa lalu disebut dengan buku yang berbicara tentang ilmul khilaf atau dalam istilah sekarang, al-fiqh al-muqaran, fiqh perbandingan. Jadi, kelebihan buku ini, anda akan mendapatkan argument dan pendapat suatu persoalan yang bukan hanya bermadzhab Syafi'i, akan tetapi juga bermadzhab lainnya, selain Syafi'i . Untuk lebih mempesingkat kalam, berikut ini buku-buku fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama madzhab Syafi'i yang dapat anda jadikan rujukan. Buku-buku ini karena jelas ditulis oleh ulama bermadzhab Syafi'i , hamper semua persoalan "dimenangkan" oleh madzhab Syafi'i . Buku-buku dimaksud adalah:a. Al-Hawi al-Kabir. Buku ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam Muzani. Buku ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang sangat panjang. Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Syafi'i, juga pendapat ashshab Imam Syafi'i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Di akhir pembahasan, semua persoalan "dimenangkan" oleh madzhab Syafi'i. Buku ini pertama kali dicetak, sepengetahuan penulis, oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam 18 jilid besar dengan muhakkik Ali Muhammad Mu'awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud. b. Al-Majmu' Syarh al-Muhadzab. Untuk maklumat mengenai buku ini telah penulis bahas di atas, silahkan merujuk ke bahasan sebelumnya. c. Hilyatul Ulama fi Ma'rifati Madzahib al-Fuqaha. Buku ini ditulis oleh Imam Saifud Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H). Buku ini bukan merupakan syarah atau ringkasan dari buku-buku sebelumnya. Buku ini berdiri sendiri, dan sesuai dengan namanya, mencoba menjelaskan argument dan pendapat para ahli fiqh yang bukan semata dalam madzhab Syafi'i akan tetapi juga dalam madzhab-madzhab lainnya. Hanya saja, dalam buku ini sedikit sekali menyantumkan dalil. Buku ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada tahun (cetakan pertama) 1988 yang terdiri dari delapan jilid besar-besar. 5. Buku-buku Fiqh Madzhab Syafi'i yang berbicara tentang bab-bab / tema-tema tertentu.Buku-buku ini adalah buku-buku madzhab Syafi'i akan tetapi hanya membahas tema-tema tertentu dan terbatas. Namun, buku-buku ini juga dipandang penting, terutama ketika anda hendak membahas dan hendak mengetahui lebih dalam tema yang dibahas oleh kitab tersebut. Misalnya, ketika anda hendak mengetahui tentang persoalan-persoalan yang menyangkut ilmu warits menurut madzhab Syafi'i, maka anda harus membaca buku Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Faraid. Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku bermadzhab Syafi'i yang membahas tema-tema tertentu.1) Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah. Buku ini dikarang oleh Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H). Buku ini merupakan buku madzhab Syafi'i paling popular yang berbicara tentang siyasah syar'iyyah. Dalam menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam buku ini mencoba mengetengahkan dengan model perbandingan (muqaranah). Buku ini terdiri dari dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang hokum khilafah, wizarah, wilayah al-madhalim, qadha, hokum-hukum yang berkaitan dengan fai, jizyah, kharaj dan lainnya.2) Giyas al-Umam fit Tiyas adh-Dhulam. Buku ini sering disingkat dengan nama al-Giyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang dipersembahkan untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Giyas ad-Daulah Nidham al-Mulk (w 485 H). Buku ini hamper sama dengan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam Mawardi dari segi tema-tema yang dibahasnya, hanya saja buku ini lebih menekankan pada pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah dan kejadian-kejadian masa silam. Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit, di antaranya pernah dicetak oleh Kuliyyah Syari'ah Jami'ah Qatar. 3) Adabul Qadha. Buku ini seringkali disebut juga dengan nama ad-Durar al-Munadhamat fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi Syihabuddin Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abid Dam al-Hamawi (w 642 H). Buku ini merupakan buku terpenting dalam madzhab Syafi'i yang berbicara tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan dakwaan, bukti, saksi atau yang sering kita kenal sekarang dengan Ilmu Beracara di pengadilan. Buku ini pernah ditahkik oleh DR. Muhyiud Din Hilal Sarhan al-Iraqi untuk mengambil gelar duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari'ah dan dicetak di Beirut dalam dua jilid lumayan tebal. 4) Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara'id. Buku ini ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Buku ini sesuai dengan namanya merupakan buku yang berbicara tentang hokum warits Islam bermadzhab Syafi'i. Dan buku ini, hemat penulis, merupakan buku yang sangat penting dalam mengkaji Ilmu Warits. Buku ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaemah Riyad, tahun 1420 H. 6. Buku-buku Madzhab Syafi'i yang tidak termasuk salah satu bagian dari lima kelompok sebelumnya.Buku-buku ini adalah buku-buku bermadzhab Syafi'i juga, hanya saja bukan termasuk atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi'i atau Imam al-Haitami dan Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf. Buku-buku ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting buku-buku sebelumnya. Buku-buku ini juga pernting dibaca sebagai bahan pengayaan dan penambahan wawasan serta hujjah. Buku-buku yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian, yakni buku-buku yang dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi'iyyah generasi kedua dan setelah generasi kedua. Pertama, buku-buku yang dikarang sebelum masa ulama Syafi'iyyah generasi kedua (sekitar setelah wafatnya Imam Syafi'i sampai abad ke-10 Hijriyyah) adalah:1. Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i. Buku ini dikarang oleh Imam Abu Ishak asy-Syairazi (w 476 H). Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit yang salah satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam jilid tebal-tebal dan ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.2. Al-Wasith fil Madzhab. Buku ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H) yang merupakan ringkasan dari bukunya yang berjudul al-Basith dan al-Basith ini juga merupakan ringkasan dari buku karya Imam al-Haramain al-Juwaini yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu'un al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993 yang ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din al-Qurrah Dagi. Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi'iyyah dalam memberikan fatwa sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Setelah muncul dua imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya, karena dipandang lebih lengkap dan lebih mendalam. 3. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i . Buku ini juga dikarang oleh Imam Ghazali sebagai ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu'awwad. 4. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi'i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu'awwad.5. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Buku ini juga merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul Kitab Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul Karim al-Badrany pada tahun 2001.6. Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah al-Muhalla 'Alal Minhaj. Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan rujukan oleh para ulama Syafi'iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang dua syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling kepada dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami. Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah ini ditulis. Buku ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini beberapa kali dicetak dan yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar. Dicetak pertama kali pada tahun 1997. Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi'iyyah generasi kedua (dari tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:1. Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh al-Allamah Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-Jamal (w 1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab. Dan kitab Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj. Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal. Buku ini dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-Syarqawi 'ala Syarh at-Tahrir. Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi'i dan kemudian buku tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir Tanqih al-Lubab maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi dalam empat jilid besar. 3. I'anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun kewafatannya). Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu'in yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul 'Ain bi Muhimmatid Din. Buku Qurratul 'Ain bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi'i . Syarah dari buku Qurratul 'Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu'in, dan keduanya merupakan karya al-Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H). Buku I'anatut Thalibin dicetak beberapa kali dan salah satunya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam empat jilid besar. 4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas yang ditulis oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w 1335 H). Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu'in karya al-Mullibary—penjelasan mengenai buku Fathul Mu'in ini lihat di nomor tiga. Buku ini dicetak oleh Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.7. Karya-karya madzhab Syafi'i belakangan.Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang buku-buku yang ditulis seputar fiqh Syafi'i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H. Buku-buku yang berbicara tentang madzhab Syafi'i pada abad belakangan ini akan penulis kemukakan, tentunya sepengetahuan penulis yang sangat sederhana. Namun sebelumnya, perlu penulis kemukakan, bahwa buku-buku fiqh Syafi'i yang ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan susunanya mudah dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua, bahasan dan persoalan yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang tidak terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang perbudakan dan atau yang sejenisnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku yang termasuk kelompok terakhir, abad belakangan, masa kini, di antaranya:1) Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Hasan Ali Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang dalam penyusunannya berpegang kepada kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma'rifat Ma'ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H). Buku ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah al-Ashriyyah Beirut dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.2) Al-Fiqh al-Manhaji 'Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi'i . buku ini ditulis oleh tiga ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa Sa'id al-Khinn, DR. Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji. Buku ini selesai ditulis pada tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya oleh Darul Qalam Damasykus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga jilid. 3) Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi'iyyah. Buku ini ditulis oleh Syaikh Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas umum al-Azhar asy-Syarif Mesir. Buku ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat Aliyah di Ma'had-ma'had al-Azhar. Buku ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari empat jilid ukuran kecil. 4) Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary an-Najib fi Shurah Sail wa Mujib. Buku ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir saat ini yakni oleh DR. Nashr Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah Mesir sebelum Prof. DR. Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-Azhar dan DR. Abdul Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma'had I'dad ad-Du'ah di propinsi Qana, Mesir. Buku ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa siswi Tsanawiyyah (menengah) di seluruh ma'had al-Azhar. Buku ini dicetak oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari tiga jilid kecil. Istilah-Istilah dalam madzhab Syafi'i iyahPara ulama Syafi'iyyah dalam buku-bukunya seringkali menggunakan beberapa istilah khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab Syafi'i yang makna dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain. Untuk mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat membacanya pada pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana terdapat petunjuk praktis untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di awal ini, misalnya anda dapat temukan dalam buku al-Majmu' Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi. Namun, demikian, berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua buku fiqh Syafi'iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara istilah-istialah dimaksud adalah:
1. Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku Syafi'iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi'i, baik dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.
2. Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi'i sebelum pindah ke Mesir baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah Imam az-Za'farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda mendapatkan pendapat Imam Syafi'i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam Syafi'i (qaul qadim).
3. Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi'i ketika di Mesir, baik berupa karya buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi'i yang seringkali meriwayatkan qaul jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi' al-Muradi.
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi'iyyah berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi'i . Menurut Imam Nawawi, bahwa al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi'i , lantaran ia hanya pendapat ulama Syafi'i yyah saja.
5. At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi'iyyah dalam meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu ulama Syafi'iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.
6. Al-Adhhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam Syafi'i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam Syafi'i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah satunya dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya. Pendapat Imam Syafi'i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar, sedangkan pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dhahir.
7. Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari Imam Syafi'i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-gharib.
8. Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi'iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi'i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
9. Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi'i yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha'if atau al-fasid.
10. Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi'iyyah dalam meriwayatkan madzhab Syafi'i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-madzhab.
11. Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan kepada Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.
12. An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi'i. Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang bukan dari Imam Syafi'i akan tetapi dari ulama Syafi'iyyah.
13. Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi'iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap berpegang kepada ushul Imam Syafi'i . Beberapa istilah ulama Syafi'i yyahDalam buku-buku Syafi'iyyah, selain istilah-istilah fiqh, juga seringkali didapatkan laqab bagi para ulamanya. Hal ini tentu dimaksudkan selain untuk memudahkan, juga untuk menunjukkan penghormatan dan kedudukan ulama tersebut di kalangan madzhab Syafi'i .
Di antara istilah-istilah ulama Syafi'i yyah dimaksud adalah:
1. Al-Imam. Apabila didapatkan kata al-Imam, maka maksudnya adalah Imam Haramain al-Juwaini (w 478 H)
2. Al-Qadhi, maksudnya adalah al-Qadhi Husain (w 462 H)
3. Al-Qadiyain maksudnya adalah Imam ar-Ruwiyani (w 502 H) dan Al-Mawardi (w 450).
4. Ar-Rabi', maksudnya adalah ar-Rabi' bin Sulaiman al-Muradi, murid Imam Syafi'i (w 270 H).
5. Asy-Syarih al-Muhaqiq, maksudnya adalah Jalaluddin al-Mahally (w 864 H)
6. Asy-Syaikhaini, maksudnya adalah Imam an-Nawawi (w 676 H) dan Imam ar-Rafi'i (w 623 H)7. Asy-Syuyukh, maksudnya adalah Imam Nawawi, Imam Rafi'i dan Taqiyuddin as-Subuki (w 756)
8. Apabila al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H) dan Syamsuddin ar-Ramli (w 1004 H) dalam karya-karyanya mengatakan Syaikhul Islam, maka maksudnya adalah Imam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Namun, apabila al-Khatib asy-Syarbini berkata Syaikhii, maksudnya adalah Syihabuddin ar-Ramli (w 957)
9. Apabila Imam Nawawi dalam bukunya al-Majmu' berkata al-Qaffal, maksudnya adalah Imam al-Maruzi (w 417 H).
10. Apabila dalam kitab al-Muhadzab disebutkan istilah Abu Hamid, maka maksudnya adalah dua orang ulama yakni al-Qadhi Abu Hamid al-Maruzi Ahmad bin Basyar bin Amir (w 362 H) dan asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayaini Ahmad bin Muhammad (w 406 H). Buku-buku yang membahas istilah-istilah fiqh Syafi'i dan laqab, kunyah ulama Syafi'iyyah
Di antara buku-buku yang merupakan ma'ajim al-musthalahat al-fiqhiyyah dalam madzhab Syafi'i adalah:
1. Kitab Gharib al-Alfadz Allatis Ta'malaha al-Fuqaha karya asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad bin al-Azhar al-Hirawy Abi Mansur (w 370 H). Buku ini membahas maksud dari istilah-istilah sulit yang sering digunakan oleh para Fuqaha.
2. Tahdzib al-Asma wal Lughat, karya Imam Abu Zakariya Muhyiyud Din bin Syaraf an-Nawawi (w 676 H). Buku ini menjelaskan istilah-istilah fiqh Syafi'i yang terdapat dalam enam buku fiqh Madzhab Syafi'i yakni Mukhtashar al-Muzani, al-Muhadzab, at-Tanbih, al-Wasith, al-Wajiz dan ar-Raudhah.
3. Al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir lir-Rafi'i, karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi (w 770 H).
PenutupDi penghujung tulisan ini, penulis hendak menuturkan satu pengalaman penulis ketika menyusun tulisan ini. Tulisan ini sengaja penulis susun di Mesjid Imam Syafi'i, tepatnya di depan makam Imam Syafi'i dengan maksud sebagai penghormatan dan rasa takjub penulis untuk beliau. Di penghujung penyusunan tulisan ini, tepatnya hari Jum'at 8 Juli 2005, saat itu menjelang Isya, karena lelah, saya tertidur persis di samping makam Imam Syafi'i sambil buku berceceran nggak karuan. Dalam tidur itu saya bermimpi ditemui oleh seorang laki-laki setengah tua dengan sorban putih dan perawakan segar sembari datang menghampiri. Tanpa panjang kalam, saya lalu sodorkan tulisan tersebut dengan maksud untuk dikoreksi; apakah yang ditulis itu sudah benar atau salah atau ada kekurangan. Laki-laki tua itu lalu mengambil tulisan saya, dan dengan teliti beliau melihat-lihat. Tidak berapa lama, tulisan saya itu diserahkan kembali. Dengan penuh penasaran saya bertanya: "Bagaimana syaikh, apakah yang saya tulis salah dan ada kekurangan?". Laki-laki tua itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan pergi kembali entah kemana. Saking penasaran, saya hendak mencoba mengejarnya, namun sayang saya segera terbangun seiring dikumandangkannya adzan Isya.Saya tidak terlalu mempercayai mimpi tersebut. Tapi senyuman laki-laki tua yang hadir dalam mimpi saya, sampai saat ini masih membekas. Senyumannya penuh makna. Tentu yang tahu makna itu hanyalah laki-laki tua itu. Namun, hati ini begitu yakin bahwa senyuman laki-laki tua itu berarti bahwa tulisan saya banyak kekurangannya. Hanya saja, layaknya laki-laki tua bijak yang tidak mau mematahkan semangat thalib ilmu, ia tidak menjawabnya secara togmol (sunda). Senyuman itulah yang hendak saya sampaikan kepada para pembaca. Artinya, tulisan ini jelas banyak kekurangan bahkan boleh jadi ada kekeliruan. Namun demikian, paling tidak tulisan ini dapat anda jadikan sebagai pijakan dasar dan pertama dalam mengkaji lebih dalam fiqh Syafi'i. Kekurangan dan kesalahan tentu datang dari penulis sendiri dan kebenaran dari Allah serta RasulNya. Kini kita mempunyai tugas bersama untuk "mengejar" laki-laki tua itu agar ketika kembali mengoreksi tulisan ini, ia tidak lagi "tersenyum", tapi paling tidak berkata: "inta wa ma katabta kuwais wa mmtaz". Wallahu 'alam bis shawab.
***Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas al-Azhar asy-Syarif Fakultas Syari'ah wal Qanun Jurusan Ushul Fiqh Kairo, alumni madrasah Thibrisiyyah li Tahfidz al-Qur'an masjid al-Azhar Kairo, anak bimbing Dompet Dhuafa Republika dan pembimbing pengajian remaja rutin Sabtuan Siswa Siswi Sekolah Indonesia Cairo (SIC). Makalah ini dipresentasikan pada acara diskusi di Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat (KPMJB) pada tanggal 30 September. Makalah ini juga pernah disampaikan pada acara Workshop Telaah Literatur yang diselenggarakan oleh PMIK dan ICMI Orsat Kairo, pada hari Selasa, 12 Juli 2005.