Oleh: Al Habib M. Lutfi bin Ali Yahya.
Sahabat di ciptakan Allah Taala, dan Allah menjadikan para sahabat sebagai manusia pilihan (Mukhtar kuluhum). Walaupun adakalanya diantara sahabat terjadi perselisihan, setelah Rasulullah Saw. tidak ada. Untuk menunjukan para sahabat itu pilihan Allah Taala, dan mereka mempunyai kedudukan yang istimewa disisi Allah; orang-orang yang pernah bermuwajahah, bertatap muka dengan Rasulullah Saw., diberi keistimewaan. Apa diantaranya? Untuk menjawabnya saya akan mengambil analogi dari peristiwa Isra mi’raj. Keterangan ini mungkin agak musykil, sukar, mungkin karena anda jarang mendengar.
Analogi keistimewaan sahabat dalam peristiwa Mi’raj
Nabiyullah Musa as., diantara Nabi-nabi yang mendapatkan nurnya Rasulullah Saw. Kemungkinan, sedikit banyak, Nabi Musa As. mendapat ‘Nur 'min amalil ubudiah', pancaran cahaya karena kesalehan, bukan 'nur' pertama kali nabi di ciptakan oleh Allah Swt. Dasarnya apa? Ketika Rasulullah menghadap Allah Swt., pada waktu Mi’raj.
Pada waktu Mi’raj, Rasulullah Saw bertemu kepada Allah, dan langsung diberi tugas sholat lima puluh waktu. Yang minta, mengusulkan dikurangi, karena alasan umatmu tidak kuat, lima kali-lima kali, siapa? Nabiyullah Musa. Permasalahannya disini, ketika Nabiyullah Musa bertemu dengan Rasulullah Saw., setelah menerima tugas lima puluh waktu, Rasulullah Saw. baru kembali dari bertemu dengan Allah.
Pada kesempatan itu Rasulullah Saw. membawa Nur atsar nadzor ila wajhil karim, cahaya bekas melihat Allah secara langsung. Begitu ketemu dengan Nabiyullah Musa As., yang terpantul dari cahaya, barokah nadzor ila wajhil karim yang pertama kali mendapat siapa? Nabiyullah Musa. Begitu Nabiyullah Musa As mengusulkan lagi; umatmu tidak kuat, balik lagi, menghadap kepada Allah Taala. Begitu ketemu, Rasulullah Saw. membawa tambah nurnya. Yang pertama mendapat berkah lagi dari pertemuan Rasulullah Saw. dengan Allah Taala siapa? Nabi Musa As. Itu hebatnya.
Walaupun Nabiyullah Musa As. di gunung Turisina ingin melihat Allah tidak bisa, karena ketika munajat saja melihat wibawanya Allah ‘kâna shaiqan’, pingsan. Tapi mendapat ganti karena melihat Rasulullah Saw. pada waktu Mi’raj. Mendapat nur min Rasulullah, atsaran kamilah, mendapat cahaya Rasulullah Saw. secara sempurna, itu hebatnya.
Setelah Nabi Saw. turun dari langit bertemu dengan para Sahabat, setelah Nabiyullah Musa, yang kedua yang mendapat barakah 'nur nadzor ila wajhil karim' siapa? Sahabat. Ini hebatnya. Keterangan ini mungkin baru anda dengar.
Dengan dasar ini, para sahabat mendapat dua nur, nur atsar minadzor ila wajhil karim, yang kedua mendapatkan cahaya Rasulullah Saw. Saban hari, mereka duduk, ruku, sujud dan sebagainya, bersama-sama dengan Rasulullah. Walaupun antara sahabat ada kontroversi, seperti Muawiyah contohnya.
Secara pandangan Ahlu Sunah wal Jamah, apapun ijtihad Muawiyah adalah salah, tapi Ahlu Sunah tetap dalam pendirian; tidak ada hak untuk mengakfirkan kepada Muawiyah. Atau mengecap sebagai kafir. Tetap memuliakan kedudukan Muawiyah sebagai sahabat. Wajar, karena sahabat adalah bukan maksum sebagaimana para nabi. Para sahabat hanya mendapatkan mahfudz minallah, penjagaan dari Allah Taala. Dan mahfudz dari Allah Taala itu bertingkat, tidak sekaligus semua mendapatkan mahfudz. Bertingkat, sebagaimana ubudiahnya para sahabat-sahabat itu sendiri.
Walaupun demikian, untuk menutupi kekurangan sahabat yang pada waktu itu terkadang melakukan kekhilapan. Keturunananya itu diangakat menjadi wali Quthbil Gaust, itu banyak. Diantaranya siapa? Umar bin Abdul Aziz masih ada darah dari Muawiyah. Cucunya sendiri menjabat Quthbil Gaust; Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah. Beliau seorang Quthbil Gaust di jamannya. Luar biasa kan! Ini membuktikan kemuliaan Maqomah (kedudukan) sahabat. Makanya jangan sembarangan, dewe melu-melu nyacat sahabat, kita jangan sembarangan kita ikut-ikutan mencela sahabat.
Sahabat itu, tadi, disamping Mukhtar minallah, pilihan dan diangkat oleh Allah. Dalam pengangkatan sahabat juga disaksikan baginda Nabi. Yaitu dengan pengikraran keimanan mereka yang disaksikan oleh Nabi Saw. Kesaksian Rasulullah Saw. ini di kuatkan oleh Allah, dalam surat Fatah ayat 29: “Muhammad Rasulullah walladzina maahu assyida’u ala al Kuffar, ruhama’u bainahum, tarâhum rukkaan, sujjadan, yabtaghuna fadzla minallah waridhwana, simahum fi wujuhihim min atsari sujud”, Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. ‘Yatal’la’ nuruhum min atsari sujud’, mukanya semakin bercahaya karena sujudnya kepada Allah. Bukan karena jidat nempel terus pada tempat sujud. Allah taala memberikan atsar, atsari sujud yatala’la minnuri sujud, dari tawadhu-nya, dari tauhidnya, dari keyakinnanya, dari makrifatnya, dari sujudnya, bukan min atasril karpet, bukan bekas karpet.
Dari orang-orang yang demikian, sahabat dibagi beberapa macam, ada yang tingkatan aulia, ada yang hanya tingkatan ulama. Jadi setiap sahabat pada jaman sahabat pasti ulama, setiap ulama pasti sahabat. Tapi setelah sahabat, at Tabiin, tidak pasti ulama. Walaupun dalam tingkatnya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar