01 Februari, 2009

SEJARAH AHLUL BAIT(Keturunan) NABI MUHAMMAD SAW DI INDONESIA

Padahal, 143 tahun silam seorang anggota keluarga AlHabsyi dan seorang keluarga Baharun tercatat dalam sejarah menjadi orang-orang penting di Dewan Pengadilan/Kehakiman-1 di Banjarmasin.

Mereka adalah wakil komunitas Arab yang terpilih duduk dalam lembaga pemerintahan pusat bentukan penguasa Belanda, pasca penghapusan kerajaan Banjar tahun 1860. Saat itu, Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi-2 dan Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun-3 merupakan dua tokoh terkemuka dari kalangan warga masyarakat keturunan Arab.Sajid Iderus AlHabsyi adalah orang Arab kelahiran Hadramaut yang masuk ke Banjarmasin melalui Sambas-4. Di sana, Sajid Iderus berhasil menyunting seorang perempuan bernama Nur-5, kerabat kesultanan Sambas dan mengajaknya pindah ke Banjarmasin. Dari pernikahan mereka lahir Sajid Hasan, yang kelak menjadi kapten Arab pertama. Sedang Pangeran Sjarif Husin, menurut catatan Belanda, adalah pendatang dari keturunan Arab di Pekalongan, yang juga menantu Sultan Adam (raja Banjar periode 1825-1857). Ia menikah dengan salah satu putri Sultan Adam yang bernama Ratu Aminah.Jejak-jejak sayyid di Tanah Banjar pernah semarak dengan kedatangan keluarga Muhammad bin Alwi AlHabsyi langsung dari Hadramaut, sekitar permulaan abad ke-20. Muhammad mempunyai 7 putra. Husin, putra sulung, pernah singgah ke Banjar tapi kemudian balik lagi ke Hadramaut. Abdillah putra kedua mendarat di Aceh dan selanjutnya bermukim hingga akhir hayat di negeri serambi Mekkah itu. Putra Muhammad lainnya Ahmad berdiam di Pal 1 (Jl. A. Yani Km 1), Zen dari Banjarmasin kemudian memilih bertempat tinggal di Martapura (40 km dari ibukota Banjarmasin), Ali menetap di Lawang (daerah perbatasan Malang-Pasuruan), Salim (tinngal di sekitar Pasar Rambai, kampung Telawang Banjarmasin), serta Umar juga di wilayah Pal 1. Muhammad bin Alwi yang sudah sepuh suatu ketika menengok putra-putranya ke Banjarmasin. Karena sakit tua, ia akhirnya berpulang ke rahmatullah di salah satu kediaman putranya di Banjamasin dan dimakamkan di Turbah (pemakaman orang Arab) Kampung Sungai Jingah. Muhammad mempunyai tiga saudara yakni Abdullah, Syekh dan Hasan-6. Putra Abdullah yang bernama Alwi menjadi Kapten Arab kedua menggantikan Sajid Hasan bin Iderus AlHabsyi. Tak lama memegang jabatan itu, Alwi bin Abdullah AlHabsyi belakangan pindah mukim ke Barabai, karena menikah dengan perempuan campuran Nagara-Banua Kupang bernama H. Masrah. Hasan, tinggal di Martapura dan mempunyai putra bernama Ali (Martapura). Sementara Syekh mempunyai putri bernama Fetum yang kemudian kawin dengan Ahmad Pal 1.Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi, Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun dan empat keluarga AlHabsyi (Muhammad, Abdullah, Syekh dan Hasan) sebenarnya bukan pendatang yang pertama di tanah Banjar. Menengok kebelakang, keluarga Ba’bud, Assegaf, Alaydrus dan Bahasyim tercatat lebih dulu menjejakkan kakinya di pulau Kalimantan bagian tenggara ini. Seorang dari keluarga Assegaf bernama Alwi bin Abdillah bin Saleh bin Abubakar (w.1842) dilaporkan melalui perjalanan panjang dari Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi Banjarmasin dan sempat bermukim di Kampung Sungai Mesa. Alwi kemudian menetap di Martapura (Kampung Melayu) dan mendapat hadiah tanah dari Sultan Adam di daerah Karang Putih. Kelak ia dan anak cucunya bermakam di tanah pemberian sultan tersebut (makam Karang Putih Jl Menteri Empat Martapura). Dari keluarga Ba’bud tercatat nama Ahmad bin Abdurrahman (wafat 1884 M) yang juga menjadi menantu Sultan Adam lewat perkawinanannya dengan Putri Qamarul Zaman. Ahmad datang dari Pekalongan dan bekerja di kerajaan Banjar sebagai guru agama. Ia mengajar mengaji para pangeran dan kerbat dalam istana lainnya, di samping sebagai penasihat pribadi sultan. Dari perkawinan tersebut Ahmad memiliki 3 putra yakni Muksin, Abdullah dan Muhammad.Jejak Alaydrus dikenal dari Pangeran Syarif Ali yang mendirikan kerajaan kecil di Angsana-Sebamban (Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel). Satu keterangan dari pihak keluarga, menyebut bahwa Pangeran Syarif Ali sezaman dengan Pangeran Diponegoro. Jika Diponegoro berjuang di Jawa, Pangeran Syarif Ali berjuang di pedalaman Kalimantan. Pangeran Syarif Ali bin Abdurrahman adalah cucu Sultan Kubu Idrus bin Abdurrahman. Idrus Sultan Kubu (w. 1795 M) adalah paman dari Sajid Besar Abdurrahman Panotogomo yang mengabdi di Kraton Yogyakarta pada zaman Hamengku Bowono I (1755-1792). Ali, ayah Abdurrahman Panotogomo, adalah saudara Idrus Sultan Kubu.Salah satu tokoh sayyid yang sangat popular adalah Hamid bin Abas-7. Ia dari keluarga Bahasyim. Habib Basirih, demikian masyarakat menyebut sosok Hamid bin Abas, merupakan sosok kharismatik yang tetap ramai diziarahi masyarakat --baik sewaktu ia masih hidup maupun setelah ia meninggal dunia. Keluarbiasaan jalan hidup Habib Basirih “berumah di atas pohon kelapa” menjadi cerita sambung menyambung di tengah masyarakat. Leluhur Hamid bin Abas yang bernama Awad diyakini sebagai Bahasyim “pertama” (paling tua) di bumi Kalimantan (Banjar)-8. Awad bin Umar mempunyai seorang saudara lelaki yang menetap dan menurunkan Bahasyim di Bima, NTB. Menurut cerita, Awad masuk ke Banjar dari Sampit, (salah satu kabupaten di Kalteng)-9. Buyut Awad adalah Abas (ayah Habib Basirih) yang dikenal sebagai orang kaya yang memiliki tanah luas dan kapal dagang. Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka berpetualang menjelajahi sepanjang lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam. (lihat Sejed Alwi bin Tahir Al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, terjemah Dzija Shahab, Almaktab-AlDaimi, 1957, hal 15). Lihat pula buku kisah perjalanan ke dunia timur Al-Mas’udi, Murujuzzahab. Kapan persisnya periode waktu kedatangan mereka ke Nusantara, tiada keterangan yang cukup jelas. Beberapa penulis sejarah Islam di Indonesia menyatakan para pedagang Arab kemungkinan pernah menyinggahi Pelabuhan Sunda Kelapa yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Di masanya, Sunda Kelapa merupakan jalur sutra yang dikunjungi pedagang pelbagai penjuru (Lihat M. Dien Majid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII dalam Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, kumpulan makalah, 1995).

Keterangan lain menyebutkan, kedatangan orang Arab di Indonesia makin jelas setelah agama Islam lahir (abad VII M). Pada masa ini mereka sedang mengemban dua tugas yaitu berniaga dan menyiarkan agama Islam. (Lihat Ismail Yacob, Sejarah Islam di Indonesia, tanpa tahun, hal 14-15).Jauh sebelum Belanda datang pertama kali ke Nusantara (1596), sudah ada orang Arab yang datang dari Hadramaut ke Jawa termasuk ke Jakarta seperti kelompok Alaydrus dan kelompok Al-Bafaqih, berada di kampung Jawa (sekarang berada dalam kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung). Lihat RB Serjeant, The Saiyids of Haadramawt, School of Oriental and African Studies, University of London, 1957, hal 25). Selain itu, para Wali Sanga (pada zaman kerajaan Demak) datang dari Arab ke Nusantara untuk keperluan dakwah menyebarkan Islam.

Leluhur Wali Sanga adalah Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath yang hijrah dari Hadramaut ke India. Buyut Abdul Malik bernama Jamaludin Husin adalah datuk dari Syarif Hidayatullah (Sunang Gunung Jati di Cirebon). Garis silsilah para wali lainnya seperti Maulana Malik Ibrahim (Gresik), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat dan Sunan Bonang tersambung ke nama Jamaludin Husin. Sedangkan buyut Abdul Malik lainnya (saudara Jamaludin Husin) yang bernama Ali Nurudin merupakan leluhur Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Saat ini kebanyakan keturunan wali sanga yang keturunan Nabi Muhammad saw, mereka menikah dengan pribumi sehingga tidak terlihat berwajah arab.Ada juga yang melahirkan kerajaan islam seperti kerajaan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati Sumber dari catatan keluarga Aidid menyebutkan, bahwa moyang mereka yang bernama Jalaluddin Aidid --keturunan dari Muhammad Maula Aidid (Muhammad bib Ali Shahib Al-Hauthoh/1334-1442 M)-- dari Aceh pernah datang ke Banjar (Kalimantan Selatan) pada penghujung abad ke-16. Jalaluddin adalah anak sayyid Muhammad Wahid (Aceh) dan Syarifah Halisyah. Jalaluddin beristri Tamami putri Sultan Abdul Kadir Alaudin di Banjar (di kerajaan Pagatan?). Istri Jalaluddin adalah kerabat kerajaan Gowa Tallo. Karena mempunyai istri yang berasal dari keluarga kerajaan tersebut, Jalaluddin datang ke Gowa Tallo. Sayang, di sana ulama keramat yang merupakan keturunan ke-27 dari Rasulullah ini kurang dipedulikan. Jalaludin kemudian pindah ke Cikoang (Kecamatan Marbo, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang kini menjadi basis keluarga Aidid di Makassar).Salah satu putranya yang bernama Jamaluddin Aidid balik ke Banjar. Anak cucu keturunan Aidid hingga kini tersebar di Makassar, Banjarmasin, Sungai Danau (Tanah Bumbu), Jakarta (di Tebet) dan Johor (Malaysia). Keberadaan keluarga Aidid di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan bukan sesuatu yang mustahil dari sisi lalu lintas laut. Sebab, Tanah Bumbu, yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru, terletak di pesisir pantai selatan provinsi Kalsel dan berbatasan dengan Laut Sulawesi. Sebagian penduduk Kotabaru selain terdiri dari suku Banjar juga berasal dari pendatang asal Suku Bugis Makassar. Sebuah nama yang disebut terlibat dalam Perang Banjar bersama-sama Pangeran Antasari, P Hidayatullah, Demang Leman dan H Buyasin adakah Said Sambas. Said (Sayyid?) Sambas ketika meletus Perang Banjar merupakan salah satu pimpinan penyerangan terhadap benteng Pengaron, dan bergerilya di wilayah Riam Kanan, Riam Kiwa, Martapura dan Rantau. Tidak diperoleh keterangan jelas tentang siapa sesungguhnya sosok ini. Identikkah ia dengan Sajid Iderus bin Hassan bin Agil AlHabsyi yang menurut keterangan juga datang dari Sambas bersama seorang Arab bernama Nasar bin Yusuf Ganam ? Ataukah Said Sambas ini merupakan pribadi dan sosok berbeda? Satu sosok bernama Sayyid Zen yang mengawini cucu Sultan Sulaiman juga belum diketahui asal usulnya. Sayyid diperkirakan lahir awal 1800-an. Syarif Umar putra hasil perkawinan mereka gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Paringin (kini Kabupaten Balangan, Kalsel) tahun 1860. Syarif Umar mempunyai seorang putra bernama Syarif Abubakar. Syarif Abubakar dan putrinya Syarifah Intan (4 tahun) ikut dalam rombongan Pangeran Hidayatullah yang diasingkan Belanda Cianjur, 3 Maret 1862.Jejak jejak sayyid di wilayah Hulu Sungai dapat ditemui di sebuah tempat bernama Lorong Said Alwi di Kota Barabai. Alwi Kapten Arab kerap menaiki kereta kuda dari Barabai ke Pantai Hambawang. Di sana ia turun, beristirahat dan kemudian berganti kuda dengan penduduk setempat untuk menuju sebuah pangkalan perahu menjemput kerabat-kerabatnya sejumlah Habib asal Nagara. Alwi berjasa mengembangkan penanaman karet di wilayah Hulu Sungai. Sewaktu Soekarno ke Barabai ia berjumpa dengan tokoh ini. Sebelum kedatangan Said Alwi di Barabai, lebih dulu bermukim di wilayah Hulu Sungai ini seorang bernama Muhdhor bin Salim bin Agil bin Ahmad BSA (Keramat Manjang). Muhdhor datang langsung dari Tarim (Hadramaut) ke Barabai. Pada suatu ketika Muhdhor berkunjung ke Martapurta menemui kerabatnya Abubakar AlHabsyi. Mereka sama-sama berasal dari Tarim. Oleh Habib Abubakar, Habib Muhdhor akhirnya diambil sebagai menantu. Muhdhor kawin dengan Syarifah Noor binti Abubakar bin Husin bin Ahmad bin Abdullah bin Ali AlHabsyi. Ayah Abubakar yang bernama Husin AlHabsyi semula tinggal di Ma’la (Mekah) pindah ke Tarim. Dari Tarim Abubakar datang ke Martapura dan kemudian menikah dengan Syarifah Muzenah binti Alwi bin Abdillah Assegaf (Kampung Melayu, Martapura). Alwi Assegaf, yang merupakan mertua Abubakar AlHabsyi, menurut catatan yang diperoleh penulis merupakan salah satu pendatang Hadramaut paling awal datang ke Martapura.Ali putra Alwi memiliki cerita khusus tentang perkawinannya. Adalah seorang perempuan Bugis yang asalnya merupakan pelarian dari kerajaan Bone tinggal di Kampung Bugis di Banjarmasin. Perempuan yang tidak diketahui namanya ini kawin dengan seorang lelaki bernama Dapat (Sudapat). Dapat berasal dari Kampung Kalampayan yang masih terhitiung cucu dari Datu Kalampayan Syekh Muhammad Arsyad. Perkawinan Dapat dengan perempuan Bugis melahirkan perempuan bernama Ratubah. Ratubah dipelihara oleh keluarga Arab dari marga Alkatiri di Kampong Arab Banjarmasin (sekarang Jalan Antasan Kecil Barat). Suatu ketika Ali bin Alwi Assegaf dari Kampung Melayu Martapura mampir ke rumah keluarga Alklatiri tersebut. Saat bersamaan, di rumah keluarga Arab itu, Ratubah tengah mencucuki marjan. Dari perjumpaan menyaksikan seorang perempuan campuran Bugis-Banjar di rumah keluarga Arab itu, Ali akhirnya tinggal di Kampung Bugis karena menikah dengan Ratubah. Untuk tempat tinggalnya Ali membeli sebuah rumah kecil di Kampung Bugis (Jalan Sulawesi), membangunnya kembali, dan menyulapnya menjadi rumah Baanjung (rumah adat Banjar).Putra Ali dengan Ratubah adalah Zen. Zen kawin dengan Syarifah dari keluarga Bahasyim berputra Alwi [seorang pedagang asam kamal yang berjualan dari Kuin Utara ke Aluh-aluh, Kabupaten Banjar dan merupakan ayah dari Ibu Galuh (Syarifah Fatimah) di Kampung Melayu dan Abdul Kadir Jailani di Sungai Mesa] Perkawinan Zen dengan perempuan dari bangsa Banakmah berputra Ali, Sy Zainab, Sy Fetum (ibu Segaf bin Abubakar AlHabsyi), Sy Noor dan Sy Fedlon (masih hidup tinggal di Kampung Bugis ).Jika kita berkunjung ke Komplek Makan Sultan Suriansyah, di sana terdapat makam Sayid Muhammad (atau Sayyid Ahmad Idrus?) dan Khatib Dayyan. Nama terakhir adalah tokoh yang dikirim Sultan Demak Tranggono untuk mengislamkan Raden Samudera (kelak bernama menjadi Sultan Suriansyah) dan rakyat Banjar pada tahun 1526 M. Khatib Dayyan yang menjabat panotogomo (penghulu) ini mempunyai nama asli Abdurrahman. Ia merupakan keturunan keluarga kesultanan Cirebon yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Menurut keterangan juru kunci makam, Sayyid Muhammad adalah leluhur dari Habib Abdurrahman Alhabsyi (Ketua Islamic Center Kwitang Jakarta dan cucu Habib Ali Kwitang).Satu lagi sosok yang perlu penelitian adalah seorang figur bernama Datu Khayyan (bermakam di Alalak Berangas). Ia diketahui mempunyai nama asli Abdurrahman Sidik bin Said Husin Bin Syekh Abubakar bin Salim. Menurut cerita, tokoh ini berasal dari Banten dan mengembara ke Kalimantan Barat. Setelah cukup lama bermukim di Kalbar, Datu Khayyan kemudian meneruskan perjalanan menelusuri sungai Kahayan dan Barito. Sempat berdiam di Kotawaringan Barat, Datu Khayyan kemudian menetap dan menghabiskan masa tuanya di Alalak Berangas, Kabupaten Batola. Datu Khayyan dikenal sebagai pendakwah dan pejuang melawan Belanda di abad ke-18. Di generasi abad ke-20 terdapat nama Abdul Kadir Ba’bud, pimpinan pasukan Tengkorak Putih pada tahun 1949. Belum lagi sejumlah seniman, budayawan yang pernah memperkaya batin masyarakat dengan karya-karya mereka.Jejak jejak para sayyid yang menghilang dan tenggelam sekian masa waktu kini mulai bangun seiring tumbuhnya majelis-majelis ta’lim yang diasuh sejumlah keturunanan sayyid. Jika para leluhur telah meninggalkan sesuatu yang bermakna dan kenangan di hati umat, kita menanti generasi sayyid masa kini membuat sejarahnya.Note:1. Dewan Pengadilan/Kehakiman di Banjarmasin dibentuk tahun 1863. 2. Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi bermakam di Turbah, Kampung Sungai Jingah3. Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun dulu tinggal di Kampung Melayu Banjarmasin. Makamnya hingga kini tidak diketahui tempatnya. Anak keturunan tokoh ini masih bisa yang tinggal di Kampung Melayu.4. Sambas kini merupakan sebuah kabupaten di provinsi Kalimantan Barat. 5. Nur belakangan diambil sebagai nama mushala sederhana keluarga di wilayah Ujung Murung yang dibangun oleh Sajid Hasan. Karena jumlah jemaahnya berkembang, mushalla tersebut lalu berpindah ke wilayah Masjid Noor sekarang di antara pertemuan Jalan Samudera dan Simpang Sudimampir. Makam Nur terdapat di dalam mesjid ini. Rumah Hasan Kapten Arab pertama di tanah Banjar berada di lokasi bangunan Plaza Metro sekarang. 6. Silsilah empat keluarga AlHabsyi ini (Muhammad, Abdullah, Syekh dan Hasan) bersambung ke Alwi bin Syekh bin Zen bin Ahmad bin Hasyim bin Ahmad bin Muhammad Ashgar bin Alwi bin Abubakar AlHabsyi.7. Hamid bin Abas bermakam di Basirih. Gampang mencapai makam Habib karena ada angkutan kota yang melayani rute Pasar Hanyar – Basirih. 8. Syarifah Khadijah Bahasyim, cucu Habib Basirih. 9. Makam Awad tak diketahui, namun ia mempunyai putra bernama Husin yang menurut seorang keluarga Bahasyim bermakam di Kompleks Makam Sultan Adam Martapura.

KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW DI NUSANTARA
Kata ‘Nusantara’, berasal dari kata-kata Mahapatih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, dalam sumpahnya yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Bahwa dia tidak akan menikmati kesenangan dunia sebelum seluruh nusantara bersatu. Gajah Mada sendiri adalah sosok yang misterius, tidak diketahui dari mana asal-usulnya, kemudian tampil menjadi orang yang paling berpengaruh dari zaman ke zaman dengan konsep Nusantara-nya dan kemudian menghilang entah ke mana.

Wilayah Nusantara mengacu kepada kepada kawasan kepulauan Asia Tenggara, yang saat ini berada dalam wilayah negara Indonesia, Malaysia dan sekitarnya. Menurut pembagian kawasan dunia, wilayah ini terletak paling timur dalam peta dunia. Orang Eropa menyebut wilayah ini Timur Jauh. Pada abad-abad penjajahan bangsa Eropa, Nusantara biasa disebut Hindia Timur (East Indies). Begitu juga dengan orang Arab dan Timur Tengah, bila dikatakan ‘Timur’ maka dalam maksud lokal bisa bermaksud kawasan di sebelah timur Hijaz (kawasan Mekah dan Madinah), tapi dalam maksud yang lain berarti wilayah di arah timur di luar Jazirah Arab dan Teluk Persia: Nusantara.
Wilayah ini didiami oleh rumpun bangsa Melayu (Jawi). Saat ini terdapat sekitar setengah milyar penduduk mendiami wilayah ini. Dengan 300 juta orang diantaranya beragama Islam, menjadikan rumpun bangsa Melayu adalah bangsa Muslim terbesar di dunia. Bahkan lebih besar dibandingkan seluruh bangsa Arab yang merupakan menjadi bangsa Muslim pertama. Suatu fenomena yang tidak dijumpai pada bangsa manapun di dunia.

Sejarah keislaman Nusantara dan Bangsa Melayu bermula sangat awal sekali. Telah ditemukan beberapa makam Sahabat Nabi Muhammad SAW di Nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah makam Syeikh Rukunuddin di Barus (Fansur), Sumatera Utara. Pada makamnya tertulis bahwa beliau wafat pada tahun 48 H. Tidak diketahui siapa nama Syeikh Rukunuddin sebenarnya, tapi dari tanggal wafatnya kita bisa mengatakan bahwa kemungkinan beliau adalah salah sorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu orang yang hidup sezaman dan berjumpa dengan beliau. Para sahabat dan tabiin telah memulai gelombang awal sejarah Islam di Bumi Nusantara.

Pada periode berikutnya, Islam semakin deras mengalir khususnya ke Pulau Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Kamboja (Campa). Sekitar abad ke 13 M, banyak cabang-cabang keluarga keturunan Nabi Muhammad SAW (Ahlul Bait) mulai meninggalkan Hadramaut (Yaman) di wilayah selatan Jazirah Arab, terutama setelah serbuan Bangsa Mongol ke Baghdad. Tersebutlah Sayyid Ahmad Jalal Syah yang menjadi gubernur di India Barat. Salah seorang puteranya yang bernama Sayyid Jamaluddin Al Hussein berpindah ke Campa dan kemudian lebih terkenal dengan nama Syeikh Jumadil Kubra.
Seorang putera Syeikh Jumadil Kubra yang bernama Sayyid Ali Nurul Alam mengasaskan berbagai kesultanan di Campa, Semenanjung Malaya, Pattani (Thailand Selatan), Sumatera, Kalimantan dan Brunei (Borneo) serta di kawasan Filipina. Tercatat raja pertama dinasti Islam Campa adalah anak dari Sayyid Ali Nurul Alam, yaitu Raja Wan Bo (Sayid Abdullah ibn Ali Nurul Alam).

Puteranya yang lain adalah Syeikh Ibrahim Al Akbar As Samarkand (Sunan Maulana Malik Ibrahim/ Sunan Maghribi/ Syeikh Asmarakandi). Inilah cikal bakal Wali Songo di tanah Jawa. Dari keluarga Syeikh Asmarakandi lahir Sunan Ampel, Sunan Drajad dan Jaka Tarub yang keturunannya menjadi ulama-ulama dan raja-raja Jawa (Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, Banten dst). Keluarga Ahlul Bait ini kemudian dengan cepat membaur dan segera mencorak Nusantara dengan Islam.

Pada waktu itu keluarga ini datang ke Jawa Timur, pusat pemerintahan Majapahit, kerajaan yang mengalami kemunduruan setelah sebelumnya menjadi pemimpin Nusantara. Kehadiran Sunan Ampel diterima dengan baik oleh penguasa Majapahit saat itu. Walaupun Majapahit masih tetat kerajaan Hindu tapi tidak sedikit warganya yang telah memeluk Islam. Bahkan akhirnya Raja Majapahit, Brawijaya V (Bhre Kertabumi) kemudian memeluk Islam. Anak-anaknya dididik langsung oleh Sunan Ampel. Salah satunya adalah Raden Patah (Fatah) yang kemudian menjadi menantu Sunan Ampel dan selanjutnya mengasaskan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa: Kesultanan Demak. Raden Patah menjadi raja Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah.

Hampir bersamaan dengan itu, salah seorang ahlul bait keturunan ke-31 dari Sayidina Hussain (cucu Nabi Muhammad SAW) yang lahir dan dibesarkan di daratan Cina, mengadakan ekpedisi pelayaran ke berbagai tempat di dunia, dan secara satah satunya khusus datang ke Nusantara dengan puluhan kapal bersama hampir 30.000 orang anggota armadanya. Inilah satu ekpedisi pelayaran terbesar dalam sejarah. Dia bernama Zheng He, dan lebih terkenal dengan nama Laksamana Ceng Ho. ‘Show force’ Laksamana Ceng Ho dengan armadanya yang luar biasa besar namun membawa misi perdamaian, membantu menstabilkan kondisi politik kerajaan-kerajaan di Nusantara setelah memudarnya kejayaan Majapahit pasca Gajah Mada dan juga membantu memperkenalkan Islam sebagai agama yang damai dan universal. Dengan demikian perkembangan Islam menjadi semakin pesat dan berwibawa.

Maka kemudian datang gelombang Ahlul Bait pada abad ke-18 M. Hal ini juga didorong oleh terjadinya serangan di Hijaz oleh Muhammad ibn Saud (Bani Saud) dan Muhammad ibn Abdul Wahhab yang di kemudian hari lebih banyak disebut sebagai gerakan Wahabi (Wahhabism). Serangan ini didukung oleh Inggris yang berkepentingan untuk menjatuhkan Turki Utsmani dan kemudian memicu konflik antara Turki Utsmani dan dinasti Saud (Ottoman-Saudi War) setelah sebelumnya mengakibatkan terusirnya kalangan Ahlul Bait dari Hijaz. Sebagian ada yang berpindah ke utara dan mendirikan kerajaan Bani Hasyim/Al Hasyimi di Yordania (The Hashemite Kingdom of Jordan) dan sebagian bergerak ke timur menuju Nusantara.

Berbeda dengan para pendahulunya yang telah berbaur dengan ras Melayu, mereka yang datang pada periode ini lebih mudah dikenali secara fisik sebagai sebagai keturunan Arab. Dan umumnya mereka juga mengekalkan marga-marga ahlul bait hingga ke saat ini. Juga lazim dikenal sebagai panggilan Sayyid, Syarif, Habib, Wan, Tok, Tengku dan lain sebagainya.

Inilah salah satu keajaiban bangsa Melayu, darah Rasul telah mengalir dalam darah mereka dan mengalirkan keberkahan tersendiri. Rupanya orang-orang muslim terdahulu, khususnya dari kalangan Ahlul Bait terdahulu dengan sangat serius dan terarah menyiarkan dakwahnya ke Bumi Nusantara. Menjadikan bangsa Melayu menjadi bagian dari keluarga besar Nabi Muhammad SAW, seolah-olah Bumi Nusantara di Timur ini adalah tanah air kedua bagi Islam dan keluarga yang mulia ini. Terlebih setelah mereka terusir dari tanah airnya sendiri. Bahkan ada sumber sejarah yang mengatakan bahwa Mahapatih Gajah Mada, ‘pendiri’ Nusantara yang misterius itu, tidak lain adalah salah seorang muslim dari kalangan Ahlul Bait. Wallahu ‘alam.

“Kami Ahlul Bait telah Allah pilih untuk kami akhirat lebih daripada dunia. Kaum kerabatku akan menerima bencana dan penyingkiran selepasku kelak hingga datanglah Panji-panji Hitam dari Timur. Mereka meminta kebaikan tetapi tidak diberikan. Maka mereka pun berjuang dan memperoleh kejayaan. Siapa di antara kamu atau keturunanmu yang hidup pada masa itu, datangilah Imam dari ahli keluargaku itu walaupun terpaksa merangkak di atas salju. Sesungguhnya, mereka adalah pembawa Panji-panji Al Mahdi. Mereka akan menyerahkannya kepada seorang lelaki dari ahli keluargaku yang namanya seperti namaku, dan nama ayahnya seperti nama ayahku. Dia akan memenuhi dunia ini dengan keadilan dan kesaksamaan..” (H.R. Abu Daud, At-Tarmizi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Abus Syeikh, Ibnu Adi, Abu Dhabi, Ibnu Asakir & Abu Nuaim)

Abu Salam Jumad gelar SUSUHUNAN ATAS ANGIN, bin Makhdum Kubra bin Jumad al-Kubra bin Abdallah bin Tajaddin bin Sinanaddin bin Hasanaddin bin Hasan bin Samaim Bin Nadmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

Na’im gelar SUSUHUNAN WALI ALLAH, bin Abdul-Malik Asafrani bin Husain Asfarani bin Muhammad Asfarani bin Abibakar Asfarani bin Ahmad bin Ibrahim Asfarani bin Tuskara, imam Yamen, bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Jasmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zaid al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

SUSUHUNAN TEMBAJAT bin Muhammad Mawla al-Islam bin Ishaq gelar WALI LANANG DARI BALAMBANGAN, bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jamad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahnul al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdad bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Wahid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

SUSUHUNAN GIRI bin Islam gelar WALI LANANG DARI BELAMBANGAN, bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abudrahman bin Abdullah al-Baghdad bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmadin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Zali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

Hasanuddin gelar PANGERAN SABAKINKING bin Ibrahim gelar SUSUHUNAN GUNUNG JATI bin Ya’qub gelar Sutomo Rojo bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

KIAHI AGENG LURUNG TENGAH bin Syihabuddin bin Nuradin Ali bin Ahmad al-Kubra al-Madani bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

SUSUHUNAN DRAJAT bin SUSUHUNAN AMPEL bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghadadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin Al-Imam Ali k.w.

SUSUHUNAN BONANG bin SUSUHUNAN AMPEL bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

SUSUHUNAN KALINYAMAT bin Haji Usman bin Ali gelar RAJA PENDETA GERSIK, bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zainal-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alimbin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
Ibrahim gelar SUSUHUNAN PUGER bin askhian bin Malik bin Ja’far al-Sadiq bin Hamdan al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

SUSUHUNAN PAKALA NANGKA dari Banten bin Makhdum Jati, Pangeran Banten, bin Abrar bin Ahmad Jumad al-Kubra bin Abid al-Kubra bin Wahid al-Kubra bin Muzakir Zain al-Kubra bin Ali Zain al-Kubra bin Muhammad Zain al-Kabir bin Muhammad al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-husain bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.

SUSUHUNAN KUDUS bin SUSUHUNAN NGUDUNG bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husain bin Askib bin Muhammad Wahid bin Hasan bin Asir bin Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husein bin al-Imam Ali k.w.SUSUHUNAN GESENG bin Husain bin Al-Wahdi,etc. lihat diatas.SUSUHUNAN PAKUAN bin al-Ghaibi bin al-Wahdi,etc. lihat diatas.

SUSUHUNAN KALIJOGO bin TUMENGGUNG WILO TIRTO, Gubernur Jepara, bin ARIO TEJO KUSUMO, Gubernur Tuban, bin Ario Nembi bin Lembu Suro, Gubernur Surabaya, bin Tejo Laku, Gubernur Majapahit, bin Abdurrahman gelar ARIO TEJO Gubernur Tuban, bin Khurames bin Abdallah bin Abbas bin Abdallah bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin bin Arifin bin Ma’ruf bin Abdallah bin Mubarak bin Kharmis bin Abdallah bin Muzakir bin Wakhis bin Abdallah Azhar bin ABBAS r.a. bin Abdulmuttalib.

5 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, wah warnanya kok biru diatas hitam. Sukar dibaca. Apa tidak bisa ganti warna ?

    BalasHapus
  2. Apa yg diuraikan tulisan di atas, mengingatkan saya pada sejarah kaum Yahudi dengan kaum Nasrani, dimana kedua kelompok ini, saling klaim tentang keberadaan Nabi Ibrahim As. Kaum Yahudi mengklaim, bahwa Nabi Ibrahim As. itu adalah termasuk ke dalam golongan Yahudi, lalu yang kaum Nasraninya juga mengklaim bahwa Nabi Ibrahim itu adalah golongannya, kaum Nasrani.

    Dengan adanya perseteruan kedua belah pihak tersebut, maka datanglah Al Quran, lalu Allah SWT berfirman: “Ibrahim bukan Yahudi dan bukan (pula) Nasrani,………(QS. 3:67)

    Begitu juga halnya dengan masalah keberadaan ‘ahlul bait’, disatu pihak ada kaum yang mengklaim bahwa merekalah yang satu-satunya berhak ‘mewarisi’ mahkota atau tahta keturunan ‘ahlul bait’. Ee pihak kaum yang satunya juga tak mau kalah bahwa merekalah yang pihak pewaris tahta keturunan ‘ahlul bait’. Dalil kedua pihak ini, sama-sama merujuk pada peran dan keberadaan dari Bunda Fatimah, anak Saidina Muhammad SAW bin Abdullah, sebagai ‘ahlul bait’ yang sesungguhnya dan sering dianggap oleh sebagian besar umat Muslim sebagai pewaris ‘keturunan nabi atau rasul’.

    Jika kita merujuk pada Al Quran, yakni S. 11:73, 28:12 dan 33:33 maka Bunda Fatimah ini tinggal ‘satu-satu’-nya dari beberapa saudara kandungnya. Benar, jika beliau inilah, salah satu pewaris dari tahta ahlul bait. Sementara saudara kandungnya yang lainnya, tidak ada yang hidup dan berkeluarga yang berumur panjang.

    Begitu juga, terhadap saudara kandung Saidina Muhammad SAW juga berhak sebagai ‘ahlul bait’, tapi sayang saudara kandungnya juga tidak ada karena beliau adalah ‘anak tunggal’. Apalagi kedua orangtua Saidina Muhammad SAW, yang juga berhak sebagai ‘ahlul bait’, tetapi sayangnya kedua orangtuanya ini tak ada yang hidup sampai pada pengangkatan Saidina Muhammad SAW bin Abdullah sebagai nabi dan rasul Allah SWT.

    Kembali ke masalah Bunda Fatimah, karena tinggal satu-satunya sebagai pewaris tahta ‘ahlul bait’, maka timbullah masalah baru, bagaimana pula status dari anak-anak dari Bunda Fatimah yang bersuamikan Saidina Ali bin Abi Thalib, keponakan dari Saidina Muhammad SAW, apakah anak-anaknya juga berhak sebagai ‘pewaris’ tahta ahlul bait?.

    Dengan meruju pada ketiga ayat di atas, maka karena Bunda Fatimah adalah berstatus sebagai ‘anak perempuan’ dari Saidina Muhammad SAW, dan dilihat dari sistim jalur nasab dengan dalil QS. 33:4-5, maka perempuan tidak mempunyai kewenangan untuk menurunkan nasabnya. Kewenangan menurunkan nasab tetap saja pada kaum ‘laki-laki’, kecuali terhadap Nabi Isa As. yang bernasab pada bundanya, Maryam.

    Dari uraian tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa menurut konsep Al Quran, bahwa kita tidak mengenal sistim pewaris nasab dari pihak perempuan, artinya sistim nasab tetap dari jalur laki-laki. Otomatis Bunda Fatimah walaupun beliau adalah ‘ahlul bait’, tidak bisa menurunkan nasabnya pada anak-anaknya dengan Saidina Ali bin Abi Thalib. Anak-anak dari Bunda Fatimah dengan Saidina Ali, ya tetap saja bernasab pada nasab Saidina Ali saja.

    Kesimpulan akhir, bahwa tidak ada pewaris tahta atau mahkota dari AHLUL BAIT, mahkota ini hanya sampai pada Bunda Fatimah anak kandung dari Saidina Muhammad SAW. Karena itu, kepada para pihak yang memperebutkan mahkota ahlul bait ini kembali menyelesaikan perselisihan fahamnya. Inilah mukjizat dari Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, sehingga tidak ada pihak hamba-Nya, manusia yang mempunyai status istimewa dihadapan Allah SWT, selain hamba pilihan-Nya, nabi, rasul dan hamba-Nya yang takwa, muttaqin.

    semoga Allah SWT mengampuni saya.

    BalasHapus
  3. Assalami'alaikum wr.wb. Bapak administrator, apa bisa ganti warna dari situs ini ? Agar mudah dibaca. terimakasih.

    BalasHapus
  4. gak tau ahh bro gelap bgt sejarahnya, referensinya juga gak mendukung dengan kenyataan,

    BalasHapus