12 Agustus, 2009

Masa Kelam Perempuan Masa Pra-Islam

Topik pembahasan tentang kaum perempuan sejak zaman dulu hingga kini masih masih ramai diperbincangkan. Utamanya adalah tentang relasi (hubungan) antara laki-laki dan perempuan, persamaan hak dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain sebagainya).

Nasib perempuan sebelum datangnya agama Islam, bagaikan sebuah benda yang bebas diperlakukan apa saja oleh pihak lelaki. Dan posisinya pun menjadi menjadi kelompok kelas dua. Perempuan tugasnya hanya melayani lelaki dan harus siap kapanpun saat diperlukan. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Bahkan, kesan misogynist (kebencian terhadap perempuan) begitu kental mewarnai kehidupan manusia di zaman jahiliyah.

Seperti diungkapkan Khalifah Umar Ibn Khattab RA. Sebelum dirinya memeluk agama Islam, lahirnya seorang anak perempuan dalam sebuah keluarganya, bagaikan 'aib' bagi keluarga. Apalagi bila mereka mempunyai kedudukan terhormat dalam kelompok masyarakat. Karena itu, demi menutupi aib-nya, anak perempuan yang baru dilahirkan harus dibunuh.

Kalau diselamatkan (tidak dibunuh), anak perempuan di zaman pra-Islam ini hanyalah menjadi pemuas kaum pria. Ia wajib melayani kehendak pria, termasuk bapaknya sekalipun. Dan anak-anak perempuan tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah. Mereka cukup untuk memasak di dapur, melayani suami (pria) saat malam hari dan mencuci pakaian. Tak heran bila kemudian muncul adagium bahwa perempuan itu tugasnya hanya di dapur, di sumur dan di kasur.

Pada zaman Yunani kuno, martabat perempuan sungguh sangat rendah. Perempuan hanya dipandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki. Filosof Demosthenes berpendapat istri hanya berfungsi melahirkan anak, Aristotales menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya. Filosof lainnya, Plato menilai, kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah, sedangkan 'kehormatan' perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan hina sambil terdiam tanpa bicara.

Kondisi yang sama terjadi di Eropa. Pada tahun 586 M (sebelum datangnya Islam), agamawan di Perancis masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak? Apakah mereka juga dapat masuk ke surga? Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan: perempuan memiliki jiwa, tapi tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki yang bebas diperjualbelikan.

Sepanjang zaman pra-Islam, posisi perempuan tak pernah berubah, tugas utamanya hanya menjadi 'pelayan' kaum lelaki. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Aziziyah, Denanyar, Jombang, KH Aziz Mayshuri menjelaskan, sedikitnya ada empat tahapan kaum perempuan, yaitu perempuan sebagai anak, sebagai isteri, ibu dan anggota masyarakat yang di zaman pra-Islam diperlakukan dengan semena-mena.

Pada fase pertama saat menjadi anak. Pada zaman Jahiliyyah (kebodohan), para orang tua yang memiliki anak perempuan akan menguburnya hidup-hidup. ''Anak perempuan yang lahir pada masa itu, dianggap sebagai aib (hina) bagi keluarganya. Sebab, anak perempuan dianggap tidak berguna dan jika kelak dewasa, ia hanya dijadikan sebagai nafsu pemuas para lelaki,'' ujarnya.

Karena itu, mereka pun kemudian dibunuh. Sebelum masuk Islam, khalifah Umar Ibn Khattab RA juga pernah melakukan hal serupa dan mengubur anak perempuannya hidup-hidup.''Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah. Lalu dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang diterimanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan.'' (QS An-Nahl [16] : 58-59)

Hal ini berbeda dengan anak lelaki. Mereka menjadikan anak lelaki sebagai seorang calon pemimpin yang memberikan kehormatan bagi anggota keluarga. Karena itu, masyarakat Arab di zaman jahiliyyah ini, begitu bangga bila mendapatkan anak laki-laki.

Fase kedua, saat anak perempuan menjadi isteri. Pada zaman jahiliyah ini, kaum perempuan bisa diwariskan baik secara sukarela atau dipaksa. ''Seorang suami yang sudah tidak senang kepada isterinya, dapat memberikan isterinya kepada orang lain, baik isterinya mau ataupun tidak. Dan jika suaminya ingin menikah lagi, maka isterinya dituduh berbuat serong (selingkuh),'' kata Aziz.

Seperti diketahui, menurut Adat Arab Jahiliyah, seorang wali (pria) berkuasa penuh atas perempuan yang berada dalam asuhannya serta harta yang dimilikinya. Jika perempuan itu cantik, maka akan dinikahi dan diambil hartanya, jika buruk rupa, maka dihalangi nikahnya dengan laki-laki lain. Tujuannya agar walinya dapat menguasai seluruh hartanya. Hal seperti ini ditentang oleh Alquran seperti tercantum dalam surah An-Nisaa' ayat 127).

Fase ketiga, ketika perempuan menjadi seorang ibu. Pada masa jahiliyah, seorang ibu tidak bisa mendapatkan harta warisan apabila anaknya meninggal dunia. Dalam Islam, jika anak meninggal dunia dan ia memiliki harta warisan, maka ibunya dapat mewarisinya sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan Alquran.

Fase keempat, lanjut Aziz, adalah saat perempuan menjadi anggota masyarakat. Di masa jahiliyah, seorang perempuan memiliki gerak langkah yang terbatas. Ia diposisikan hanya menjadi pengurus suaminya dan tidak diperkenankan melakukan hal-hal lain. Karena diskriminasi yang berlebihan inilah, maka Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin), menentang setiap perlakuan tidak adil kepada perempuan.

Misalnya, seperti yang disebutkan dalam Alquran surah Al-Hujurat ayat 11 yang menegaskan, kemuliaan seseorang tidak diukur dengan besarnya tanggung jawab atau pangkat dan kedudukannya, tetapi dikarenakan oleh ketaqwaannya kepada Allah SWT. Begitu juga pada surah An-Nisaa' ayat 124, siapa yang mengerjakan amal kebajikan baik laki-laki atau perempuan dan dia beriman kepada Allah SWT, maka mereka akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.

Ketidaksederajatan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan ini, sangat dikecam oleh Islam. Selama ribuan tahun, kaum perempuan diposisikan sebagai makhluk kelas dua yang bertugas hanya melayani suami. Maka hadirnya Islam, semua sistem perbudakan, pembunuhan terhadap anak perempuan dihapuskan. Pandangan Islam yang berkeadilan ini, kemudian memantik semangat baik gerakan-gerakan di dunia Barat untuk menuntut perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan. sya/dia



Kedudukan Perempuan dalam Islam

''Wahai seluruh manusia (lelaki dan perempuan) sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari (sepasang) lelaki dan perempuan.'' (QS Alhujuraat ayat 13 ). Dalam kaitan ini Nabi Muhammad SAW bersabda: '' Perempuan adalah saudara kandung laki-laki.'' (HR Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi).

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar." (QS Al Ahzab [33]: 35).

Ayat di atas menyiratkan kesetaraan dalam Islam. Bahwa di hadapan Allah, tak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Amal ibadahnyalah yang membedakan kedudukan mereka di hadapan-Nya.

Koordinator Bidang Dakwah PP Fatayat NU, Badriyah Fayumi mengungkapkan, sebelum Islam datang (zaman jahiliah) kedudukan kaum perempuan sangat direndahkan. Setelah agama Islam datang, diseimbangkan (dinaikkan) derajatnya.

''Kalau Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi pria maupun perempuan ada yang sama dan ada yang berbeda, itu tidak mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan tugasnya,'' jelasnya.

Menurut ajaran Islam, pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia, baik pria maupun perempuan, semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarmabaktikan dirinya untuk mengabdi kepada-Nya. Firman Allah SWT dalam Alquran, ''Dan, tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.'' (QS Adz-Dzaariyat [51]: 56).

Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna yang dibawa Rasulullah SAW untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Maka, kedudukan, hak, dan kewajiban perempuan ada yang sama dan ada pula yang berbeda dengan pria.

DR Mashitoh Chusnan, Ketua PP Aisyiah mengungkapkan sejak awal kehadirannya, Islam tidak membeda-bedakan antara lelaki dan perempuan. Baik dalam segi ibadah, berkarya dan sebagainya. Banyak ayat suci Alquran yang menjelaskan kedudukan tersebut. Salah satunya ayat suci Alquran yang artinya: ''Sesungguhnya Aku (Allah) tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik seorang lelaki maupun perempuan.'' (QS Ali Imran [3] ayat 195).

Yang membedakan, kata Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini adalah fisik dan psikologisnya. Secara fisik, perempuan diberikan kelebihan untuk melahirkan dan menyusui anaknya, sebuah kegiatan yang tidak bisa dilakukan laki-laki. Dan secara psikologis, anak dilahirkan dan disusui oleh perempuan (ibu), memiliki kedekatan dengan ibu (perempuan). ''Tapi peran yang dilakukan perempuan sama pentingnya dengan peran yang dilakukan laki-laki. Islam tidak memasung kreativitas dan aktivitas perempuan.''

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Hj Nabilah Lubis menegaskan, Islam tidak pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hak-hak apa yang diberikan kepada laki-laki, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun yang lainnya, hak-hak tersebut diberikan juga kepada perempuan.

Prof Nabilah juga membantah tudingan yang menyebutkan Islam 'kejam' terhadap perempuan. ''Tuduhan itu diungkapkan oleh mereka yang tidak mengerti tentang Islam yang sebenarnya. Tuduhan itu jelas sangat tidak adil, karena justru Islam sangat sangat sayang dan melindungi kaum perempuan,'' tegasnya.

Nabilah kemudian mencontohkan kasus jilbab yang oleh sebagian pihak disebut sebagai upaya penindasan bagi kaum perempuan Islam. ''Justru buat muslimah, jilbab sangat melindungi kaum perempuan. Karena kita menghormati diri sendiri sehingga orang lain pun menghormati kita,'' jelasnya. Sementara itu cendekiawan Muslim Dr Muslimin Abdurrahman menyebutkan ada dua sistem yang menyebabkan masih adanya penindasan terhadap perempuan yakni sistem patriarki dan kapitalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar